“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 26 ~Terungkap (1)
“Ajeng, aku antar kamu pulang.”
Aku menatap tanganku yang dicengkeram oleh Fabian. Sepanjang mengenal pria ini, aku tidak pernah melihat tatapannya seserius saat ini.
Apalagi saat dia merayu, sudah jelas tatapannya dusta. Tentu saja aku ingin menolak bahkan rasanya ingin berteriak, ke laut aja sono bareng Natasha. Namun, aku tidak ada alasan yang masuk akal untuk menolaknya.
“Maaf Pak, saya ….”
“Pak Gentala nggak akan tahu, dia keluar kota tadi siang.”
“Saya bawa motor,” jawabku singkat, padat dan jelas.
Sepertinya rencana pernikahan memang harus dikaji ulang, karena sebagai calon istri aku tidak tahu apapun tentang Gentala Radika Yasa. Mana ada dua orang yang akan terikat dalam rumah tangga, tapi tidak saling memberi kabar seperti ini.
Jangan-jangan Pak Gentala pergi bersama Natasha, tapi nggak mungkin dong. Urusan kerja Pak Gentala nggak ada hubungannya dengan wanita itu.
“Ajeng, kita harus bicara.”
“Ya bicara aja Pak, serius amat sih,” ujarku sambil menepuk lengannya dan terkekeh, padahal dalam hati aku ingin teriak lalu menghubungi Pak GM dan memakinya. Ngomong-ngomong, aku belum punya nomor ponsel pria itu.
Aku pun kembali duduk di kursi kerjaku sambil menunjukan wajah biasa saja. Sedangkan Fabian, duduk ragu-ragu seakan di kursinya ada bom waktu yang siap meledak.
“Mau ngomong apa sih Pak?” tanyaku sambil memutar kursi ke kiri dan kanan.
“Katakan alasan kamu menikah dengan Pak Gentala!”
“Hm, apa ya?”
Aku mencoba berpikir alasan apa sehingga menerima keputusan itu. selain karena dipaksa situasi, Pak Gentala bukan hanya menjadi penolong untukku tapi juga keluargaku.
“Apa di dunia ini tidak ada laki-laki lajang yang buat kamu tertarik?”
Fabian bertanya lagi, ingin rasanya aku mengatakan kalau dua laki-laki lajang yang aku temui sudah jadi playboy kampret. Aku menghela nafas agar lebih sabar menghadapi pria di hadapanku ini.
“Ajeng.”
“Pak Fabian, saya pernah kecewa karena laki-laki lajang yang Bapak maksud ternyata malah menjadi kakak ipar saya. Masalahnya di sini adalah, saya dikhianati. Saat hati saya terketuk dengan laki-laki lajang lainnya, ternyata dia buaya. Lalu saya harus mencari lajang mana lagi? Dari pada nanti saya jadi jal4ng jadi saya terima saja takdir untuk menikah dengan Pak Gentala. Sepertinya kalian bersaudara ya, kita juga akan jadi saudara dong,” tuturku lalu terbahak dan memukul lengan Fabian.
Sedangkan pria itu hanya menatap tajam ke arahku. Tidak lama aku pun pamit pulang dan tetap menolak tawarannya.
...***...
Aku memilin jemariku yang berada di bawah meja. Di sampingku ada Ayah dan Ibu, kami memenuhi undangan Pak Krisna untuk bicara ‘kan melanjutkan rencana pernikahan aku dan Gentala. Sedangkan Pak Gentala tidak kelihatan dan sudah tiga hari ini aku tidak melihatnya di kantor, terakhir saat ada Natasha menemuinya.
Pak Krisna sudah menjelaskan kalau urusan pernikahanku dengan Gentala akan ada WO yang mengurus dan akan dilakukan layaknya pernikahan pada umumnya. Bukan pernikahan sembunyi-sembunyi dan tidak ada resepsi.
“Jadi, tolong dimaklumi kalau nanti agak sedikit merepotkan Pak Javas dan istri,” tutur Pak Krisna.
Aku semakin terkejut saat mendengar tanggal pernikahan hanya tiga minggu dari sekarang. Artinya aku akan segera resign dari Go TV.
“Tapi Pak Krisna, saya penasaran,” ujar Ibu membuka suaranya, bahkan aku sampai menoleh. “Kami tidak pernah melihat Nak Gentala ke rumah atau ada hubungan dengan Ajeng, kenapa tiba-tiba mereka akan menikah? Kamu tidak hamil duluan ‘kan?” tanya Ibu menatapku sinis seakan aku sudah melakukan hal yang memalukan.
“Sebenarnya yang bisa menjelaskan itu hanya Gentala, tapi saya bisa pastikan untuk saat ini Ajeng tidak seperti yang Ibu duga.” Ada keraguan dari penutupan Pak Krisna kali ini.
“Bu, aku bukan Vina,” ujarku dan sukses membuat raut wajah Ibu semakin kesal.
Kalau tidak ada pasangan yang akan menjadi besannya, sudah pasti dia akan melakukan sesuatu kepadaku. Aku tidak peduli dengan penilaian Ayah atau Ibu tentang alasan kenapa pernikahan ini berkesan mendadak, tapi yang aku pikirkan adalah Pak Krisna.
Pria itu pasti menduga terjadi sesuatu diantara aku dan putranya malam itu dan itu yang membuatnya khawatir atas pertanyaan Ibu, makanya pernikahan dilakukan segera.
Obrolan masih berlanjut, bahkan ada perwakilan dari WO yang akan menindak lanjuti rencana ini. Aku hanya menyimak dan manggut-manggut ketika mendengarkan jadwal yang harus aku lakukan bersama Gentala, mulai dari foto prewed, fitting dan embel-embel lainnya.
Akhirnya pertemuan pun usai dan kami sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang. Ternyata Ayah dan Ibu diantar oleh Gio dan mau tidak mau aku ikut pulang bersama mereka. Aku datang dari kantor jadi tidak tahu bagaimana orang tuaku bisa sampai di tempat pertemuan.
“Ajeng, kamu jangan sombong ya. Mentang-mentang calon mertua kamu orang penting,” sindir Ibu. “Mana tahu apa yang terjadi besok, ternyata kamu gagal menikah dengan putra Pak Krisna.”
Aku hanya menghela nafas mendengar ucapan yang keluar dari wanita ini. Sebenarnya dia ibuku atau bukan, kenapa tidak ada sayang-sayangnya denganku bahkan ucapannya sering kali mengiris hati. Dari pada meladeni dan akan berakhir caci maki, aku memilih diam.
Gio menurunkan aku di rumah sekaligus menjemput Vina, setelah itu mobil kembali jalan karena mereka akan menghadiri undangan dari kerabat Gio.
Aku berada di depan lemari es mengambil air mineral dingin saat ponselku bergetar. ternyata ada pesan masuk dan sebelumnya ada panggilan tidak terjawab dari nomor baru.
081xxx
[Simpan nomorku dan jangan pernah abaikan panggilanku]
“Siapa lo,” gumamku membaca isi pesan tersebut. Aku pikir kalau salah sambung, karena penasaran aku membuka profil dan melihat foto pemilik nomor tersebut.
“Hah, Pak Genta! Kirim pesan juga isinya intimidasi, boro-boro romantis biar aku klepek-klepek.”
Aku menyimpan kontak Pak Gentala dengan nama Pahlawan bertopeng, kemudian terkekeh geli.
“Tumben ada di rumah jam segini, mana di rumah sepi. Pas banget ya.”
Deg.
Aku berusaha tetap tenang, jelas itu suara Tony dan yang sebenarnya membuat aku ketar ketir adalah makna ucapannya.
“Tumben nggak nongkrong di pengkolan sambil berharap dapat rejeki nomplok,” ujarku menyindirnya. Dia malah terkekeh.
Aku menghabiskan sisa air mineral dalam botol untuk menghilangkan gugup dan rasa takut, sempat melirik sekilas ternyata Tony berdiri menghalangi arah untuk menuju keluar, karena saat ini kami berada di ruang makan. Satu-satunya peluang adalah menaiki tangga dan ke kamar.
“Udah ngapain aja sama om-om yang akan menikahi kamu?”
“Bukan urusan lo,” ujarku sambil berjalan ke arah tangga dan sudah menaiki undakan pertama.
“Jelas urusan gue dong, gimana kalau kita main-main dulu sebelum lo nikah.”
Memang nggak waras si Tony. Inilah yang membuat aku takut dekat dengan dia, tatapannya itu aneh. Tatapan mes*m dan kali ini aku berada dalam … BAHAYA.
“Mau kemana lo?” teriak Tony karena aku langsung berlari menaiki tangga dan aku yakin dia mengejarku
Brak.
Aku menutup pintu kamar dan menguncinya dan ternyata kuncinya tidak ada, aku hanya berhasil mengunci dengan slot.
“Ajeng, buka!” teriak Tony sambil menggedor pintu kamarku. Aku membuka ponsel dan berusaha menghubungi Gentala.
“Ajeng!”
“Angkat Pak, please!”
Dua kali dering akhirnya terdengar suara di ujung sana.
“Aku sedang ….”
“Tolong saya, Pak!”
Brak.
“Pergi!” teriakku melepaskan ponsel yang masih terhubung, lalu mendorong meja rias untuk menahan pintu kamar. “Jangan macam-macam, kamu akan berakhir di penjara. Aku akan pastikan itu,” ujarku mengancam Tony.
Sepertinya meja rias ini tidak terlalu berat untuk menahan pintu, karena Tony berhasil mendorongnya dan aku terjungkal.
“Nggak usah jual mahal, gue tahu lo biasa jual diri. Main-main bentar dengan gue nggak masalah ‘kan?”
Cuih.
Aku meludahi wajah Tony dan dia melayangkan tamparannya ke pipiku.
“Dasar anak nggak tahu diri, lo tuh Cuma anak pelakor. Jangan-jangan lo ikut jejak nyokap lo dengan merebut Om itu dari istrinya.”
Aku tidak mengerti maksud Tony.
“Aaaa.”
Pria ini seperti kesetanan, berteriak mengatakan hal yang tidak aku mengerti sama sekali dan mencengkram leherku. Dahiku yang sebelumnya lebam terasa perih karena terbentur lagi.
“Nggak akan ada yang nolong lo kali ini.”
Aku menendang bawah tubuhnya dan dia tersungkur sambil terus memaki dan ini aku gunakan untuk kabur dan bugh.
Aku menabrak seseorang saat melewati ruang tamu.
“Mbak Ajeng, mbak tidak apa-apa?” tanya pria itu.
“Ajeng, kemari lo!” teriak Tony.
ato jangan-jangan .....