NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:996
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemberontak

Yudha merasa puas melihat Malik, tidak dapat berkutik di persidangan setelah bukti video tersebar luas di dunia maya. Anggaplah itu sebagai balasan karena Malik berani mengusiknya saat di kereta. Meskipun bukti tersebut diperoleh secara ilegal dan tidak diterima di pengadilan pemuda itu memiliki cara lain, yaitu dengan melakukan serangan masa. Yudha meminta Rizal, seorang pekerja di stasiun berita, untuk mengunggah video itu. Akibatnya, opini publik terbentuk dan mempengaruhi jalannya persidangan.

Namun, kegembiraan Yudha tidak berlangsung lama. Ia menerima telepon dari ayah angkatnya yang murka karena rencananya gagal. Yudha menyadari bahwa tindakannya telah mengusik pria tua itu, dan ia harus menghadapi konsekuensinya.

Dalam hukum Indonesia, prinsip "exclusionary rules" mengharuskan hakim mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum dalam persidangan. Meskipun demikian, penyebaran bukti ilegal melalui media massa atau media sosial dapat mempengaruhi opini publik dan, secara tidak langsung, proses peradilan. Karena itu meskipun bukti ilegal tidak diterima di pengadilan, dampaknya terhadap persepsi masyarakat dan jalannya persidangan tetap signifikan.

Selain itu, media sosial memainkan peran penting dalam membentuk opini publik terkait proses peradilan. Partisipasi aktif masyarakat melalui media sosial dapat menjadi kontrol terhadap penegakan hukum, namun juga berpotensi menimbulkan opini yang tidak akurat jika informasi yang disebarkan tidak tepat.

Yudha tahu tindakan yang dia lakukan untuk menyebarkan bukti ilegal melalui media massa tidak hanya melanggar prinsip hukum, tetapi juga berisiko mempengaruhi opini publik secara negatif dan mengganggu integritas proses peradilan. Tapi siapa peduli, selama dia tahu bahwa itu benar tidak masalah caranya seperti apa.

Seorang pelayan menghampiri Yudha dengan langkah tergesa saat pria itu baru saja sampai di kediaman sang ayah angkat. Pelayan menundukkan badan dengan hormat, seperti sudah terbiasa melayani kehadiran tuannya.

“Dimana Ayah?” tanya Yudha dengan nada datar, meski sorot matanya menyiratkan ketegangan yang sulit disembunyikan.

“Bapak ada di ruang kerjanya, Den,” jawab sang pelayan dengan suara sopan namun hati-hati.

Yudha mengangguk singkat, tanpa sepatah kata lagi melangkah melewati lorong menuju ruang kerja ayah angkatnya. Langkahnya mantap, meski ada beban yang terasa semakin berat menghantam pikirannya. Ia tahu, ayahnya pasti sudah mendengar jalannya persidangan hari ini. Tidak ada yang bisa luput dari pantauan pria itu. Entah ada berapa banyak kaki tangannya yang tersebar di seluruh pemerintahan—mengawasi, melapor, dan mengendalikan dari balik bayangan.

Yudha berjalan menyusuri lorong rumah megah itu, langkahnya mantap namun berat. Aroma kayu jati bercampur wangi teh melati samar-samar tercium, menambah kesan angkuh yang selalu ia rasakan setiap kali kembali ke rumah ini. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, pikirannya bergelut dengan berbagai kemungkinan.

Dia berhenti di depan pintu besar berukir yang mengarah ke ruang kerja ayah angkatnya. Pintu itu tampak kokoh, nyaris seperti sebuah gerbang ke dunia lain—dunia yang penuh intrik dan kekuasaan yang selama ini Yudha coba jauhi. Dengan napas yang tertahan, dia mengetuk dua kali sebelum pintu itu terbuka.

“Masuk,” suara berat dan tegas terdengar dari dalam.

Yudha membuka pintu dan melangkah masuk. Di sana, di balik meja kayu besar yang dipenuhi dokumen dan laptop, duduk seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya. Wajahnya tegas, sorot matanya dingin, namun ada aura kewibawaan yang tak terbantahkan. Dia adalah sosok yang pernah Yudha hormati, tapi juga yang kini membuatnya merasa terkurung.

"Yudha," pria itu akhirnya berbicara, suaranya berat dan tegas, nyaris seperti perintah. Ia bangkit dari kursi kerja, tangannya meraih pemukul golf yang bersandar di dekat pintu. Gerakannya lambat namun penuh arti, seperti sedang memperlihatkan kekuasaan yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata.

Tanpa banyak basa-basi, pemukul itu diayunkan. Suara pukulan menggema, menghantam udara dengan keras sebelum mengenai sasaran. Pelayan-pelayan yang hilir-mudik di dekat ruang kerja majikan mereka pasti mendengar suara itu, namun mereka tetap diam. Mereka tahu aturan di rumah ini—tidak ada yang boleh mencampuri urusan majikan, apalagi menyuarakan keberatan.

Yudha tidak mengeluarkan suara. Tidak ada teriakan, tidak ada keluhan. Ia berdiri diam, tubuhnya menerima setiap pukulan tanpa reaksi berlebihan. Ini bukan pertama kalinya. Ia sudah terbiasa dengan rasa sakit yang datang tanpa alasan jelas, terbiasa dengan kekerasan yang seolah menjadi bahasa kasih satu-satunya dari ayah angkatnya.

Pemukul golf itu terus terayun, ritmenya hanya terhenti saat pria itu memutuskan sudah cukup. Yudha tahu, tidak ada yang bisa menghentikan ini selain kehendak sang ayah. Dan seperti biasanya, Yudha hanya menunggu, membiarkan waktu berjalan, hingga akhirnya pemukul itu berhenti bergerak.

Ketika pria itu selesai, ia meletakkan pemukul kembali ke tempatnya. Napasnya teratur, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Sementara itu, Yudha tetap berdiri di tempatnya, punggungnya terasa perih, namun wajahnya tanpa ekspresi.

"Apa kamu bersenang senang?” ucap pria itu dingin, sebelum kembali duduk di kursinya. “Lakukan apapun yang kamu mau tapi jangan mengusik ayah. Seharusnya kau mengerti itu”

Yudha menatap lantai, rahangnya mengeras, menahan segala emosi yang bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya diam yang berbicara. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang kini terasa lebih sesak daripada sebelumnya.

Dia tidak menjawab. Baginya, larangan adalah keharusan. Dia sudah paham aturan tak tertulis itu—tidak ada gunanya melawan. Toh, meskipun ayah angkatnya sewenang-wenang, Yudha tahu dia adalah kelemahan pria itu. Hubungan mereka terlalu rumit untuk dihancurkan begitu saja.

Sebab itu, sekalipun amarah dan kebencian seringkali mendidih di dalam dirinya, Yudha tetap memilih bersabar. Dia menyimpan semua itu dalam-dalam, menunggu waktu yang tepat.

Langkahnya berat, namun tetap mantap meninggalkan ruang kerja itu. Di luar, para pelayan hanya bisa menundukkan pandangan, pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak ada satu pun yang berani menatapnya langsung, apalagi bertanya.

Yudha tahu mereka mendengar semuanya—suara pukulan, desakan napas tertahan, dan percakapan singkat tadi. Tapi, seperti dirinya, mereka pun hanya bagian dari roda besar yang terus bergerak sesuai kehendak sang pemilik rumah.

***

“Apa susahnya nurut sama Ayah,”

Yudha mendengus pelan, tanpa memedulikan kehadirannya. Dia melangkah melewati Yasmin yang berdiri di lorong, bersandar santai dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan gadis itu penuh dengan penghinaan, seperti sedang memandang sesuatu yang tidak berharga.

Tentu saja, pikir Yudha. Bagi Yasmin, dia hanyalah anak angkat yang tidak tahu diri.

“Kamu pikir siapa yang bikin kamu bisa berdiri di sini, hah?” tambah Yasmin, nada suaranya semakin menusuk. “Kamu cuma anak angkat. Kalau bukan karena Ayah, kamu nggak lebih dari anak panti yang menyedihkan.”

Yudha berhenti sejenak, bahunya sedikit tegang, tapi dia tidak menoleh. Dia tahu persis seperti apa Yasmin—anak kandung ayah angkatnya, sedangkan dia hanya seorang pengganggu yang kebetulan mendapat tempat di keluarga ini.

Tanpa berkata apa-apa, Yudha melanjutkan langkahnya. Baginya, Yasmin hanya suara latar yang tidak perlu dihiraukan.

Namun, Yasmin tidak menyerah. “Yudha,” panggilnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menantang. “Apa ini karena cewek lacur itu?”

Yudha berhenti di ujung lorong, punggungnya masih menghadap Yasmin. Dia menarik napas dalam, “Untuk orang yang ga tau apapun, Lo terlalu banyak omong, Yasmin.”

Yudha kembali melangkah, meninggalkan Yasmin sendirian dengan tatapan penuh cemoohan di wajahnya. Baginya, diam adalah balasan terbaik.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!