Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGAIMAN MUNGKIN?
Ethan menatap ke lapangan saat tim basket SMA Harapan sedang berlatih. Pergelangan kakinya mulai membaik, namun tidak ada yang tahu apakah dia akan bisa bermain lagi.
Ethan memperhatikan tim yang mulai latihan lay-up, bahunya merosot saat dia melihat tongkat penyangganya. Bagaimana mungkin dia sudah sejauh ini hanya untuk kehilangan segala hal yang sudah dia perjuangkan? Apakah sisa hidupnya akan dihabiskan dengan hanya menonton permainan dari bangku penonton? Tidak pernah lagi merasakan bola di tangannya dan mendengar sorakan penonton saat dia berlari melintasi lapangan. Keringat yang menetes saat dia mencari rekan yang bebas untuk mengoper bola sebelum terlambat.
“Kamu suka membuat dirimu sendiri menderita, ya?” Kevin berkata sambil duduk di bangku di sebelah Ethan.
“Hmm,” Ethan menatap temannya, “Kenapa kamu tidak masuk ke liga profesional?” tanyanya, mengalihkan perhatian ke Kevin.
“Aku menyukai basket, tapi aku tidak ingin itu menjadi satu-satunya prioritas hidupku,” jawab Kevin sambil mengangkat bahu. “Aku bermain basket hanya untuk bersenang-senang. Selain itu aku punya pekerjaan yang kusukai dan calon istri yang pandai memasak.”
“Kamu sudah melamarnya?”
“Besok,” Kevin menjawab dengan senyum kecil.
“Kenapa besok?”
“Besok anniversary pertama kami,” Kevin berkata agak malu. “Dia pasti akan menyukainya.”
“Dia mencintaimu,” kata Ethan sambil menyenggol Kevin sedikit. Kedua pria itu terdiam, memperhatikan anak-anak itu mengoper bola.
“Kevin?” Ethan berkata dengan suara cemas.
"Apa?"
Ethan menatap Kevin dan menarik napas dalam-dalam.
"Aku punya seorang anak laki-laki."
Kevin terdiam seketika, tapi Ethan bisa melihat ekspresi keterkejutan di wajah temannya. Tubuh Kevin menegang, dan tangannya mencengkeram lututnya.
"Apa-apaan ini?" Kevin menoleh ke Ethan, "Apa yang sudah kamu lakukan?"
"Celia," jawab Ethan sambil mengalihkan pandangan dari ekspresi tubuh Kevin, berusaha mengendalikan perasaannya sendiri.
"Aku pikir dia tidak ingin bertemu ataupun berbicara denganmu. Bagaimana kalian bisa—"
"Sembilan tahun yang lalu," potong Ethan, merasa bodoh karena tidak menjelaskan lebih awal. "Aku dipasangkan dengannya untuk proyek sejarah, dan kami memiliki semacam… hubungan singkat."
"Aku tahu ada yang aneh dengan wanita itu," Kevin mendengus sambil memutar matanya. "Seharusnya aku sadar ada sesuatu yang dia sembunyikan." Kevin mengusap dahinya lalu menatap Ethan lagi.
"Kamu udah memberitahu Dewi? Dina pasti akan sangat senang dengan berita ini."
Ethan menggeleng dan menelan ludah dengan susah payah. Rion, anaknya, akan mendengar banyak hal buruk tentang dirinya yang tidak benar. Anak itu mungkin akan mengira Ethan adalah orang jahat. Ethan mengusap pangkal hidungnya dengan jari-jarinya. Dia punya anak laki-laki berusia sembilan tahun.
Setelah beberapa saat hening di antara mereka, Kevin akhirnya bicara lagi.
"Kamu punya anak laki-laki berusia sembilan tahun?" kata Kevin, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Ethan.
"Kapan tepatnya kamu tahu itu?"
"Tadi malam," jawab Ethan, kembali mengalihkan perhatianya ke pertandingan di lapangan.
"Wow," Kevin menyandarkan tubuhnya dan meletakkan siku di bangku di belakang mereka. "Kamu punya anak laki-laki berusia sembilan tahun."
"Dia memiliki warna mata dan rambutku," Ethan menambahkan sambil menyandarkan tubuhnya. Entah apa lagi kesamaan yang mereka miliki. Dia bertanya-tanya apakah Rion populer, pemalu, atau apakah dia suka membantu orang dengan hati yang jujur dan baik. Rion adalah campuran antara dirinya dan Celia, ibu dari anaknya. Rambut cokelat lembut Celia, lidah tajamnya, mungkin dipadukan dengan mata abu-abu gelap Ethan dan pesonanya.
Ethan tiba-tiba terdiam; anaknya baru saja kehilangan kakeknya, satu-satunya figur ayah yang dia kenal selama ini sudah tiada. Tapi mungkin saja Celia memiliki seseorang di hidupnya yang cukup sering hadir untuk menjadi figur ayah bagi Rion.
Kevin memandang ke arah permainan di lapangan, lalu kembali menatap Ethan.
"Jadi, sekarang, apa yang akan kamu lakukan?"
Ethan menggeleng pelan.
"Aku tidak tahu. Di satu sisi, aku bisa kembali ke Jakarta, melanjutkan posisiku di tim, dan mencari cara agar Rion bisa datang berkunjung. Lagipula, Celia tidak ingin aku ada di sini."
"Itu jika pergelangan kakimu sudah sembuh."
"Di sisi lain," Ethan menimpali sambil menatap Kevin, "Aku mencintainya, dan meskipun dia tidak menginginkanku, aku merasa harus ada di sini. Aku ingin bersama Celia. Aku ingin membesarkan anak kami bersama. Aku ingin kehidupan yang tenang—membangun keluarga sempurnaku sendiri." Dia terkejut mendengar kata-katanya sendiri.
"Terdengar seperti masalah yang rumit, masalah yang sepenuhnya tergantung pada keinginan Celia."
Ethan menghela napas panjang lalu mengangkat bahu. "Jika aku pergi ke satu arah, aku akan kehilangan segalanya. Kalau aku pergi ke arah lain, hasilnya akan tetap sama."
"Ini mungkin aneh, tapi... apa Celia masih menyukaimu?"
Ethan tertawa kecil. "Dia mengatakan, aku harus membiusnya dulu sebelum dia ingin disentuh lagi olehku." Ethan memandang para pemain di lapangan lalu bersandar ke depan.
"Jadi sekarang apa?"
Ethan menggeleng.
"Aku tidak tahu. Bagaimana caranya agar bisa mempertahankan Celia dan mengelilingi dunia disaat bersamaan?" Dia mengangkat bahu. "Aku ingin dapat pencapaianku sendiri, tapi aku juga ingin bersamanya."
"Mungkin kamu harus mencoba membuat dia lebih menyukaimu dulu sebelum kamu memutuskan," kata Kevin.
"Aku tidak bisa. Bagaimana kalau aku memilih kembali ke Jakarta? Apa aku harus meninggalkannya lagi?" Ethan menggeleng. "Aku tidak bisa melakukannya lagi."
"Bawa dia ke Jakarta bersamamu," Kevin mengangkat bahu santai.
"Disini rumahnya. Dia bisa pergi ke mana saja, tapi dia memilih untuk tetap di sini. Dia ingin membesarkan Rion di sini." Ethan menggigit bibirnya, merasa air mata mulai menggenang di matanya.
"Toko ayahnya ada di sini. Satu-satunya rumah yang pernah dia kenal ada di sini," Ethan berhenti sejenak dan menatap Kevin. "Dia lebih baik tetap disini apapun yang terjadi daripada meninggalkan itu semua."
"Baiklah, ayo kita bicarakan dengan Dewi dan mencari solusinya, sembari tetap menyelamatkan karirmu dan semoga tidak menghabiskan lebih banyak uang," kata Kevin sambil mengeluarkan ponselnya. "Bagaimanapun juga, semuanya harus ada jalan keluarnya."