"Shaka! Nimas sedang hamil anakku. Tolong nikahi dia, jaga dia seperti kau jaga orang yang kau cintai. Ada darahku yang mengalir di janin yang sedang di kandung. Terima kasih."
Itu adalah amanah terakhir dari Bryan, Kakak dari Shaka. Sejak saat itu Shaka benar-benar menjalankan amanah dari sang Kakak meskipun ia sendiri sudah memiliki kekasih yang ia pacari selama dua tahun.
Tidak mudah bagi Shaka saat sedang menjalani apa yang sudah di amanahkan oleh Bryan. Berbagai tentangan dari sang kekasih dan juga kedua orang tuanya tak bisa ia hindari.
Mampukah Shaka menjalani bahtera rumah tangga dengan wanita yang bahkan belum ia kenal? Sampai kapan Shaka kuat menjalankan amanah yang di limpahkan padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Shaka Dimata Nimas
Jantung Nimas semakin tidak baik-baik saja ketika mendengar suara Shaka yang sedikit berbeda dari biasanya. Memang aroma apa yang keluar dari tubuhnya sampai pria itu rileks, pikir Nimas bertanya-tanya.
"Mas, masih di sini atau masuk?" tanya Nimas yang merasa merinding karena Shaka betingkah sedikit lain dari biasanya.
Bukannya tidak nyaman, tapi rasanya geli saja jika tengkuknya sejak tadi diendus-endus meskipun dengan suaminya sendiri. Sungguh Nimas merasa aneh dengan tingkahnya ini.
Entahlah, Shaka nampaknya sangat terbawa oleh suasana. Keadaan malam yang dingin, kondisi berpelukan seperti ini tidak normal jika birahi Shaka tidak muncul ke permukaan.
"Mas, anginnya mulai terasa lebih kencang, bisa kita masuk?" ulang Nimas karena pertanyaannya yang tadinya dihiraukan.
"Masih marah nggak?" tanya Shaka yang tiba-tiba suaranya menjadi serak.
"Udah nggak. Ya udah yuk masuk!" ajak Nimas yang mulai ngeri melihat perubahan Shaka.
Shaka melepas pelukannya, Nimas dengan segera masuk ke dalam kamar lebih dulu. Gelagat Shaka yang aneh membuat Nimas sedikit was-was, jujur saja Nimas masih belum siap jika harus memberikan hak Shaka soal ranjang dalam waktu dekat.
Nimas bersiap tidur dengan menutupi seluruh tubuhnya hingga batas leher, memegang erat ujung selimut yang berada dibawah lehernya. Kegugupannya semakin tidak terkendali ketika Shaka memasukkan tubuhnya di bawah selimut yang sama. Nimas berdoa kepada Tuhan agar ia diselamatkan dari suaminya sendiri.
"Kamu kenapa, sih? Kok kayak takut begitu, kayak tidur sama hantu aja kamu."
"Nggak kok." Nimas sedikit menggeser tubuhnya ketepian ranjang. Ia takut dekat-dekat dengan Shaka.
Pergerakan dari Nimas membuat Shaka menyadari satu hal. Apa yang ia lakukan di balkon tadi membuatnya takut.
"Nimas, apa kamu takut aku minta hakku? Apakah yang aku lakukan tadi membuatmu takut? Nimas, aku ini laki-laki, aku laki-laki yang normal. Aku hanya terbawa suasana saja tadi. kalaupun aku mau minta, Bukankah itu hal yang wajar? Aku dan kamu sudah menjadi suami istri. Nggak ada yang salah kalau kita melakukan itu."
"Iya, memang nggak ada yang salah. Aku hanya ... Hanya belum siap. Itu saja." Keringat Nimas semakin terlihat jelas di mata Saka. Ketakutan dan was-was tercetak adalah di wajah wanita itu, hal itu juga didukung dengan semakin kuatnya cengkraman tangannya diselimut.
"Aku nggak minta, Nimas. Aku juga nggak mau maksa, kamu jangan minggir-minggir ke situ nanti jatuh. Deketan sini, geser."
"Nggak, Mas. Aku nggak akan jatuh."
Sudah diberitahu untuk tidak terlalu menjauh darinya, justru Nimas semakin menggeser tubuhnya ke pinggir. Hal itu membuat Shaka sedikit kesal-kesal gemas. Akhirnya Shaka meraih tangan yang mencengkeram selimut tebal itu dan menariknya sedikit kencang.
Mau tak mau tubuh mereka akhirnya bertubrukan. Sedetik berikutnya, Shaka mengunci tubuh Nimas dengan tangannya. Memeluknya dengan erat dan menenggelamkan kepala istrinya di dada yang mendadak bergemuruh seperti saat di balkon tadi.
"Udah jangan bergerak, tutup matamu dan tidur!" titah Shaka yang mengabaikan detak jantungnya. Biarkan saja jika Nimas mendengar detakan jantung sialan itu, ia yakin detak jantung Nimas juga sama dengannya. Sama-sama berdetak dengan kencang seakan menunjukkan bahwa sang pemilik sedang merasa gugup.
Dan apa yang dipikirkan Shaka memang benar adanya. Tangan Nimas meraba dadanya karena merasa detakan di jantungnya tidak baik-baik saja.
Entah berapa lama dan sejak kapan di tengah kegugupan yang sedang menyelinap masuk di antara mereka, mata sepasang suami istri itu semakin lama semakin meredup.
Tidak sampai lima menit, mereka berbaring dalam posisi pelukan seperti itu membuat Nimas tiba-tiba terdengar mendengkur dengan sangat halus dan samar. Shaka yang sempat hampir tertidur itu seketika kembali membuka mata. Melepas pelukan dengan sangat pelan agar tak mengganggu tidur istrinya.
Kepala Shaka lalu ia letakkan sejajar dengan kepala Nimas. Kedua bola matanya menatap Nimas dengan dekat dan lekat. Meneliti setiap inci kulit wajah yang nampak mulus dan bersih meskipun tidak terlalu putih.
Nimas memang tak terlalu putih, wajahnya juga masih polos dari sentuhan macam make up yang mahal atau berbagai macam perawatan di salon. Meski tidak putih, wajah Nimas cantik dan menarik di mata Shaka. Dari pertama kali ia lihat, memang wajah Nimas punya daya tarik tersendiri, hanya saja Shaka baru mengakuinya akhir-akhir ini.
Entah ada apa, Shaka tiba-tiba mengulum senyumnya. Apa hanya melihat Nimas tertidur saja membuat ia bahagia?
"Aku nggak tahu ini apa. Ini iba atau ini perasaan yang lain, aku hanya tidak mau kamu di perlakukan tidak baik oleh siapapun. Aku rela makan sayuran hijau agar orang-orang yang melihat tahu, bahwa aku menikah denganmu tidak hanya karena amanah, tapi karena janjiku pada Tuhan juga. Aku mau membuktikan ke orang-orang kalau siapapun yang aku nikahi akan aku perlakukan seperti istri pilihanku sendiri. Kamu bukan wanita yang aku pilih untuk menjadi istri. Tapi takdir yang memiliki kita untuk menjadi suami istri. Itu artinya takdir juga yang akan mendatangkan cinta untuk kita. Mungkin sekarang cintaku belum ada buat kamu, tapi biarkan aku memperlakukan kamu seperti wanita yang aku cinta. Biar kamu juga merasa bahwa kamu tidak kekurangan cinta meskipun menikah dengan orang yang belum mencintai kamu atau kamu cintai."
Shaka mengangkat tangannya lalu ia Letakkan di pipi gemuk Nimas. Mengelus-elusnya dengan pelan dan lembut. Matanya berkaca-kaca ketika melihat wajah polos Nimas yang sedang tertidur dan di saat terbangun, ia menanggung beban yang tidak ringan.
Shaka menghilangkan senyum di bibirnya ketika melihat air mata Nimas tiba-tiba menetes di saat ia tertidur. Di detik berikutnya, wanita itu membuka mata, sudah banyak genangan air di kedua bola matanya.
"Aku mengganggu tidurmu?" tangan Shaka masih berada di wajah Nimas, bahkan sekarang tangan itu sudah bergerak menghapus lelehan air mata istrinya.
"Aku tidak tahu apa maksud Tuhan mengambil Bryan dariku ketika aku mengandung anaknya. Aku merasa takdir terlalu jahat padaku, tapi di waktu bersamaan takdir memperlihatkan bahwa pikiranku ini tidak benar. Tuhan mengirimkan satu malaikatnya untukku. Malaikat yang rela meninggalkan orang yang dia cintai untuk menikahiku. Aku tidak tahu apakah aku patut bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan, tapi rasanya tidak tahu diri jika aku bersyukur di atas sakit hati sesama kaumku." Air mata Nimas mengucur semakin deras.
"Ssst. Nggak boleh ngomong gitu. Semua yang terjadi ini sudah dituliskan oleh Tuhan. Apapun yang terjadi antara kita juga atas izin Tuhan. Kamu nggak merebut aku dari siapapun, cara Tuhan menyatukan kita memang berbeda Nimas. Jangan terus berpikir seperti itu atau aku akan marah sama kamu."
Shaka kemudian menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan istrinya, lalu kembali memberikan pelukan tanpa kata.