Bagaimana rasanya menjadi istri yang diselingkuhi? Terlebih wanita itu adalah wanita yang sangat cantik, memiliki bentuk tubuh ideal, berprestasi, dan juga lemah lembut?
Iya! Disana lah posisiku sebagai seorang istri yang menyedihkan. Penampilan berantakan, bentuk tubuh tambun tak terurus, setiap hari yang aku kenalan hanyalah daster tanpa polesan make up sedikitpun, dan sekalinya aku berdandan, orang hanya akan mengaggapku sebagai badut.
Benar, aku adalah putri dari orang berada yang dijodohkan karena bisnis orang tua. Tapi menjadi putri dari pasangan berada juga tak membuatku menjadi manja. Aku melakukan segala yang aku bisa untuk menyenangkan anak, mertua, dan terutama suami. Tapi apa yang aku dapat? Adik ipar yang sama sekali tidak menyukaiku malah membuatku semakin dibenci oleh suamiku. Dengan bodohnya aku mengikuti segala yang dia katakan. Mulai dari menggunakan gaun berwarna merah terang,kuning, bahkan juga hijau stabilo.
Aku tidak rela! Aku tidak ingin kehilangan suamiku, aku tidak ingin kehilangan statusku sebagai istri yang sah, aku juga tidak ingin anakku kehilangan Ayahnya.
Bagaiamana caranya aku bisa mempertahankan rumah tanggaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi wahyuningsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Hari demi hari telah terlewati, selama itu juga Mona menjalani harinya dengan begitu pasif. Sudah berlalu beberapa hari, tapi Arnold sama sekali tak datang mencarinya, padahal dia sangat berharap, dan selalu menanti kedatangan pria itu.
" Mona, Ibu membawakan makan malam untukmu. Bagaimana kalau Ibu yamg menyuapkan untukmu? " Bujuk sang Ibu yamg tidak tahu bagaimana caranya lagi agar Mona mau memakan makanan yamg hampir setiap kali dia acuhkan.
" Ibu, bawa pergi saja makanan itu, aku sedang tidak ingin makan. " Jawab Mona yang menatap kearah luar dari jendela kamarnya yang terbuka lebar. Entah kemana pikiran Mona, karena matanya selalu saja kosong.
" Mona, tapi pagi tadi juga kau hanya makan sedikit, ini sudah malam, nak. Makanlah agar kau tidak sakit. " Bujuk lagi sang Ibu seraya berjalan pelan mendekati Mona.
" Taruh saja di meja, aku akan memakannya nanti. " Jawab Mona.
" Bagaimana kalau Ibu saja yang menyuapi mu? "
" Tidak perlu, aku bisa makan sendiri. "
Tak bisa lagi membujuk, Ibu hanya bisa menuruti saja apa yang diinginkan Mona, baru nanti dia datang lagi untuk memastikan sudah atau belum makanannya di makan.
" Bagaimana? Apa dia mau makan? " Tanya sang ayah yang sedari tadi menunggu di depan pintu kamar Mona.
Ibu menggeleng lemah, dan dari situlah Ayah tahu apa maksudnya.
" Marisa sudah pulang? " Tanya Ibu.
" Belum, kata-katamu waktu itu memang sangat keterlaluan, jadi wajar saja kalau dia marah. Untuk sementara biarkan saja dia sendiri dulu, nanti kalau sudah tenang, dia pasti akan kembali seperti biasanya. " Ujar sang Ayah sembari memijat pelipisnya yang terasa sakit dan pusing.
Ibu mencengkram kain baju bagian dadanya. Iya, dia tahu kalau sudah keterlaluan, tapi sungguh kata-kata itu keluar begitu saja saat dia marah. Sebagai seorang Ibu tentu dia khawatir, dia juga sudah mencoba mengubungi Marisa, dan juga sudah mengirim nya pesan, tapi anak keduanya itu sama sekali tak merespon barang sekalipun.
***
Disebuah Club malam, Marisa kini tengah menangis sembari menunduk menahan kepalanya yang mulai pusing karena mabuk. Sudah delapan hari dia tidak pulang, selama itu juga dia menahan kesedihannya, berpura-pura kuat dan ceria di hadapan teman-temannya, tapi hari ini dia sudah tidak tahan lagi. Dan kebetulan ada salah satu sahabat dekat yang mengajaknya untuk datang ke Bar, lalu minum sampai mabuk agar bisa menghilangkan kesedihan yang tengah ia rasakan.
Sementara tak jauh dari Marisa dan sahabatnya itu, sepasang mata rupanya telah mengintai Marisa dari pertama mereka datang. Dengan senyum menyeringai dia mulai merasa bahwa akan segera tiba waktunya, maka dia mulai berjalan mendekati Marisa yang masih saja menunduk sembari terisak.
Tok Tok
Pria itu mengetuk meja di dekat kepala Marisa, lalu tersenyum setelahnya.
" Kamu? " Ucap Marisa seraya mengeryit menatap pria yang kini tengah tersenyum padanya. Masih kurang jelas, Marisa menggerakan kepala semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah pria itu.
" Kau adalah, adalah, kakaknya Shenina? "
Iya, adalah Digo. Pria yang sudah mengintai Marisa dari beberapa hari terakhir ini.
" Apa kabar, gadis cantik? "
Marisa mulai menjauhkan wajahnya karena sudah tahu siapa pria itu. Dia menghela nafas, lalu menatap kembali Digo.
" Aku ini sedang sedih, makanya aku datang kesini? Apa kau juga sedang sedih makanya ada di tempat ini? "
Digo tersenyum, sepasang matanya menatap degan tatapan yang tidak biasa.
" Iya, aku juga sedang sedih. "
" Ya ampun, pria tampan dan kaya raya sepertimu ini memang siapa yang berani membuat sedih? " Marisa terkekeh dengan mata setengah sadar.
" Aku sedih karena merindukan seseorang, lalu bagaimana denganmu? "
Marisa mencebikkan bibirnya, lalu mulai menangis setelahnya.
" Aku sedang marah dengan kakak, Ibuku, dan semua yang terjadi. " Jawab Marisa sembari menangis.
" Sepertinya masalahmu berat ya? Bagaimana kalau kita saling menghibur? "
Marisa menghentikan tangisannya, lalu menatap Digo mengeryit penuh tanya.
" Memang bagaimana caranya? "
" Kau penasaran? "
Marisa mengangguk.
" Ikutlah denganku! "
" Tapi bagaimana dengan temanku? "
Digo melihat sebentar, lalu tersenyum
" Akan ada yang mengantarnya pulang. "
" Oh. "
" Ayo! " Digo meraih pergelangan tangan Marisa, lalu menuntunnya untuk mengikuti langkah kakinya menuju mobil yang sudah terparkir di depan sana.
" Kita mau kemana? " Tanya Marisa.
" Nanti akan tahu jawabannya. " Digo membawa Marisa untuk masuk ke mobilnya, lalu mulai melakukan mobilnya cepat menuju sebuah hotel yang tak jauh dari sana.
Kepala pusing, dan pandangan meremang tak jelas, Marisa mengikuti saja langkah laki Digo yang terus melangkah meski langkahnya gontai, bahkan beberapa kali dia keseleo.
Tak....
Terang ruangan saat lampu dinyalakan. Sebuah kamar hotel yang sangat mewah, dan luas. Di sanalah mereka berada.
" Kenapa sepi sekali? Bagaimana caranya menghibur diri ditempat sepi begini? " Ujar Marisa seraya memegangi kepalanya, lalu tangan sebelah lagi berpegangan dengan dinding untuk mengimbangi posisi berdirinya.
Digo tersenyum miring seraya berjalan mendekati Marisa. Dia memeluk gadis itu dengan satu tangannya, lalu satu lagi menyibakkan rambutnya agar tak menghalangi untuk dia menjamah tengkuk wanita itu.
Cup...
" Apa yang kau lakukan? " Tanya Marisa kaget.
" Melakukan hal yang menyenangkan. " Digo membalikkan tubuh Marisa, membelakangkan semua rambutnya, lalu meraih tengkuk dan menyergap bibirnya.
" Em! " Marisa memukul-mukul punggung Digo pelan karena tenaganya juga melemah.
" Jangan begini! " Larang Marisa sembari berusaha mendorong tubuh Digo untuk menjauh saat Digo mulai menyesap lehernya.
" Lalu, apa mau begini? " Tangan Digo kini sudah mendarat pada dua benda kenyal di bagian dada Marisa, tak hanya itu, Digo juga mulai menekan dan memberikan pijatan-pijatan lembut disana.
" Ja jangan! " Ucap Marisa yang sudah mulai terbuai dengan apa yang dilakukan Digo. Jujur, meskipun dia setengah sadar, tapi dia masih tahu kalau harus menolak apa yang akan dilakukan Digo. Tapi sayangnya tubuh itu seolah tak mampu untuk melawan dan menjauhkan diri.
" Ah! " Keluh Marisa saat tangan Digo mengelus bagian bawahnya dengan lembut dari balik kain dress yang ia kenakan.
" Nikmati saja, ini adalah pembukaan untuk sesuatu hal. " Ucap Digo lalu melanjutkan aksinya.
Tak butuh waktu lama, Digo kini mulai menanggalkan dress yang dikenakan Marisa. Gadis itu nampak pasrah, entah karena sudah sangat terbuai, atau karena mabuk yang mulai parah.
" Hah... Jangan buka! " Ucap Marisa tersengal saat Digo melepas kain penutup bagian bawah yang ia kenkan. Tentu dia tidak akan mendengarkan ucapan gadis itu, dan kini dia mulai membuka satu persatu pakaiannya, lalu memulai kembali menjamah satu persatu bagian tubuh Marisa degan gerakan sensual.
Selamat bergabung, semoga setelah ini kau akan hidup menderita, seperti yang adikku rasakan.
Digo mulai mengarahkan bagian bawahnya, menggeseknya pelan-pelan sampai beberapa saat hingga tubuh Marisa melengkung menahan rasa di bagian intinya.
" Ah! Sakit! " Pekik Marisa saat Digo mulai memasukkan bagian bawahnya, tahu jika ini yang pertama bagi Marisa, sejujurnya Digo agak heran. Bagaimana bisa adik seorang jal*ng masih suci? Tapi masa bodoh tentang itu! Dengan kasar dia menerobos paksa, dan mengabaikan darah yang keluar dari inti gadis itu.
Bersambung....
pasangan somplak