Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Balqis
Matahari masih bersinar sore ini. Angin ikut bertiup sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan dan hamparan sawah yang meleok-leok.
Suasana yang tentram dan menyejukkan, membuat para santri betah berada di saung mempelajari ilmu agama.
Ketiga saung yang didirikan penuh dengan para santriwan. Mereka tengah belajar mengaji yang digurui seorang Ustadz.
Bukan hanya terdapat saung di dekat persawahan saja, bunga-bunga bermekaran memberikan keindahan, serta pohon-pohon menjulang tinggi.
Cekitt!
Setelah mobil hitam terparkir, Azizah turun bersama Balqis. Mereka baru saja pulang setelah membeli banyak kebutuhan. Tidak hanya membeli kebutuhan mandi saja, Balqis juga membeli beberapa gamis serta kerudung yang mulai sekarang akan dipakainya. Balqis beberapa kali menolak membeli gamis karena tidak menyukainya. Tapi pada akhirnya dia pasrah saat Azizah terus saja menceramahinya.
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam "
Balqis menatap ketiga perempuan yang baru dilihatnya. Kemudian memalingkan wajah karena mereka balik memperhatikannya.
"Nah... Qis, mulai sekarang mereka teman satu kobong kamu," ujar Azizah yang sudah memanggil Balqis dengan nyaman. "Dan kalian... Tolong jaga baik Balqis dan bantu dia kalau ada kesusahan,"
"Baik, Ning."
Setelah mengobrol beberapa kalimat, Balqis pun mengikuti mereka yang membawanya ke kobong santriwati. Tidak ada obrolan di antara mereka berempat selain saling diam membisu.
Tap!
Balqis menatap ke sekeliling. Dia melihat orang-orang berlalu lalang. Mereka hanya melirik tanpa menyapanya sama sekali.
"Balqis!" Panggil Melodi sambil berlari dari tangga. Dia menghampiri sambil tersenyum manis. "Kamu akan tidur di kamar mana?"
"Nih ajak saja dia ke kamar kamu, Mel. Soalnya kamar yang lain sudah pada penuh."
Melodi mengangguk. Kemudian membantu Balqis membawa barang-barangnya. "Ayo?"
Balqis pun mengikuti Melodi di belakang masih diam. Tapi matanya tidak mau diam karena memperhatikan lingkungan kobong yang sangat bersih.
Bugh!
"Kalau jalan lihat ke depan dong,"
"I-iya maaf, Teh!"
Balqis seketika memperhatikan perempuan yang bertubrukan dengan Melodi barusan. Sorot matanya sangat tajam, wajahnya sangat tidak bersahabat sama sekali.
"Siapa dia, Mel?"
"Oh... Itu tadi Teh Tuti. Dia itu wakil rois."jawab Melodi.
"Ck... Wajahnya sombong amat," cebik Balqis tidak suka.
"Bukan sombong. Tapi tegas." sahut Melodi.
Kening Balqis mengerut. Dia bukan anak kecil yang tidak bisa membedakan mana yang sombong dan mana yang tegas. Karena jelas-jelas perempuan barusan sombong.
Ceklek!
"Nah... Ini kamar aku dan akan jadi kamar kamu juga sekarang," dengan semangat Melodi menunjukkan kamar yang sudah ditempatinya 2 tahun ini.
"Kamar ini ditempati lima orang, sekarang jadi enam orang sama kamu."
Balqis meletakkan barang-barang yang dibawanya. Dia memperhatikan kamar yang dipenuhi baju menggantung di sana sini.
"Ini lemari kamu. Aku bantu rapihin ya.." Melodi dengan gesit merapihkan baju-baju Balqis. Dia terlihat sangat telaten melakukannya.
"Mel, mereka orangnya baik-baik kayak lo, ga?" tanya Balqis.
"Baik kok, mereka sangat baik. Kamu tenang aja ya." jawab Melodi.
Balqis pun menggela nafas dan mengangguk. Dia sedari tadi tidak membantu Melodi membereskan baju. Dia malah anteng memeriksa perban pada bekas luka tusukan yang baru saja diganti oleh Azizah sebelum mereka berangkat belanja.
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam"
Balqis pun buru-buru menutup bekas lukanya itu dan melirik empat orang perempuan yang baru datang. Dia yakin kalau mereka orang-orang yang sudah menempati kamar ini sebelum dirinya.
"Kamu santriwati baru itu?"
"Iya. Gue Balqis."
"Kenalin aku Siska. Dan ini namanya Amel, lalu yang itu Siti, yang satunya lagi Raras."
Balqis mengangguk. Dia akan ingat dengan baik nama mereka. Apalagi mulai sekarang mereka akan menjadi teman.
"Mel, kamu ubah jadwal di kamar kita. Masukin nama Balqis supaya ikut membantu," titah Siska.
"Baik, Teh." sahut Melodi.
Hah... Jadwal! Aiiisshhh, sial banget gue. Baru juga masuk udah disuguhin sama jadwal segala.
Setelah selesai membereskan barang-barang ke dalam lemari, Balqis menghampiri Melodi yang berkutat di mading kecil.
Dia memperhatikan tangan lentik Melodi yang tengah menulis namanya di daftar kegiatan dalam kamar.
"Ini maksudnya apa ya?" Balqis menunjuk jadwal memasak nasi. "Gue nggak bisa ngelakuin ini loh,"
"Nanti aku ajarin kalau memang kamu nggak bisa." sahut Melodi.
Balqis mendengus kesal. Dia sangat sebal karena harus turun tangan memasak nasi sendiri karena memang sebelumnya saat dirumahnya dia apa-apa tinggal makan, tinggal pakai, karena ada pembantu yang yang menyiapkan dan Chef yang memasakan makanan buatnya.
"Dan ini pasti kamu bisa melakukannya,"
Balqis menoleh. Matanya langsung membulat sempurna.
"Gue juga harus bersiin kamar? Yang bener aja,"
"Kenapa emangnya? Apa itu terlalu sulit buat kamu?" sela Amel.
"Iyalah, sulit banget malah. Di rumah gue nggak pernah ngelakuin itu. Semua dilakuin sama bibi, gue sih tau beres aja." sahut Balqis. "Pokonya gue nggak mau ngelakuin itu. Gue nggak suka dan gue nggak biasa,"
"Seberapa kaya sih orang tua kamu sampai tidak bisa mengajarkan anaknya membereskan kamar sendiri?" tanya Siti.
"Daddy gue tangan kanan CEO dan punya organisasi penting. Sedangkan Ibu gue udah masuk surga pas ngelahirin gue. Jadi wajar aja sih ya kalo anak kesayangannya nggak dibolehin bersiin kamar sendiri. Lagian Daddy gue mampu bayar orang kok." jawab Balqis mantap.
Amel dan Siti seketika bungkam. Awalnya mereka tidak percaya. Tapi dilihat dari karakter Balqis yang terlihat manja dan angkuh, sudah dipastikan bahwa memang dia anak orang kaya.
"Tenang Qis! Nanti aku bantu kamu, okeh!" Melodi mencoba menenangkannya.
"Mel, nggak ada gitu kerjaan yang lebih gampangan dikit? Semua ini sulit banget buat gue," tanya Balqis.
"Ada. Mencuci baju sendiri," jawab Melodi.
Balqis lagi-lagi mendengus kesal. "Gue juga nggak bisa nyuci. Di sini nggak ada laundry emang? Biar gue nyuci baju ke laundry aja deh. Takutnya tangan gue gatel kalo nyentuh sabun,"
"Nggak ada Qis. Mana ada laundry di pesantren,"sela Amel.
"Ya... Wajar aja sih kalo Daddy kamu memasukkan kamu ke pesantren, ternyata kamu memang tidak bisa mandiri sama sekali," timpal Siti.
"Buat apa mandiri? Selama lo banyak duit, Lo nggak perlu ngelakuin hal-hal kayak gitu. Hanya dengan uang Lo bisa memerintah orang" sahut Balqis.
Amel dan Siti lagi-lagi dibuat bungkam. Perkataan Balqis memang luar biasa sangat diluar nalar.
"Eu.... Qis, gimana kalo kita masak? Kamu nggak perlu membantu, cukup nemenin aku aja," tawar Melodi. Dia sengaja mengajak Balqis pergi karena raut wajah mereka berdua sudah memerah menahan marah.
"Ok! Gue juga mau liat gimana masakan di sini. Seenak masakan di rumah gue yang berkelas bintang lima, nggak?" balas Balqis.
Melodi mengangguk. Dia pun mengambil bahan-bahan masakan di baskom. Kemudian menarik tangan Balqis agar cepat keluar.
"Mimpi apa kita semalam? Sampai punya teman sekobong yang berbeda kelas," ujar Amel.
"Bisa-bisanya perempuan sombong seperti itu menjadi teman sekamar kita." timpal Siti.
Sementara itu, Di dapur.
Balqis terdiam memperhatikan Melodi memasak. Tidak ada sedikit pun niat untuk membantunya selain melihat.
Diaa tidak ingin berkutat dengan peralatan dapur. Apalagi sejauh ini dia tidak pernah menginjakkan kaki di area seperti itu.
"Mel, pakai bakso ya? Biar mienya enak,"
"Baik, Teh."
Balqis melirik sekilas Siska yang mengawasi Melodi memasak. Dia kira, perempuan itu akan membantunya. Ternyata dia pergi setelah mengecek masakan.
"Qis, apa makanan kesukaan kamu?"
Balqis berfikir sejenak lalu melihat hasil masakan Melodi yang terdapat tiga menu. Tempe goreng, ikan asin dan tumis mie campur bakso.
"Apa ada yang kamu sukai?"
"Nggak ada."
"Hmmm, lalu apa ada yang kamu inginkan?"
"Ada. Gue mau makan daging wagyu, bluefin tuna, strawberries arnaud and dalgona coffe. Kayaknya menu itu enak kalo dimakan sore-sore gini,"
Melodi tersenyum mendengar keinginan Balqis. Karena sudah jelas makanan yang diinginkannya tidak ada. Apalagi makanan seperti itu harganya pasti sangat mahal.
"Gimana, Mel? Apa makanan kayak gitu ada disini?"
"Nggak ada. Aku nggak punya bahan untuk membuatnya. Tapi mungkin kalau di rumah umi pasti ada."
Balqis terlihat kesal. Makanan yang disukainya kali ini tidak bisa dimakannya. Biasanya makanan lezat itu sudah tersedia di meja, dia tinggal menyantapnya sampai kenyang.
"Qis, bantu aku bawa ini semua ke atas yuk?"
"Nggak mau. Gue mau keluar dulu."
Tanpa membantu apa pun, Balqis pergi begitu saja membiarkan Melodi yang kesusahan membawa makanan ke lantai atas.
Yupz... Sikap Balqis memang seperti itu. Dia paling tidak suka menolong, membantu atau belas kasih. Dia angkuh dan tidak peduli terhadap orang-orang.
"Ck, nggak ada yang bisa dimakan ya di sini. Bisa-bisa gue kelaperan ini."
Bibir Balqis terus menggerutu. Dia sangat sebal karena tidak bisa makan enak seperti di rumahnya. Detik kemudian, mata Balqis memicing. Dia melihat Alditra tengah melajukan kursi rodanya seorang diri.
"Cih... Mau kemana om om itu... Kagetin ah!"
Balqis pun menghampiri Alditra dengan cara mengendap-endap untuk mengagetkannya.
Dooor!
Alditra hanya melirik. Dia tidak terkejut sama sekali. Dia malah acuh dan kembali memutar kursi rodanya.
"Heh, Kok lo nggak kaget sih? Cih... Sombong banget sih! Heh tunggu Om!"
Balqis menarik kursi roda Alditra agar berhenti. Kemudian berdiri di depannya.
"hey Om... Apa gue kurang lucu sampe lo nggak kaget?"
Alditra sama sekali tidak melirik. Dia membuang wajahnya ke sembarang tempat.
"Ck, emang nyebelin banget nih Om Om tua!"
Kali ini Alditra melirik karena Balqis menyebutnya Om Om. Apalagi perempuan itu kini menyilangkan kedua tangannya di dada sambil cemberut.
"Asal lo tau ya Om? Gue tuh nggak betah tinggal di sini. Kalo bisa sih tar malem gue bakalan kabur."
Alis Abqary mengeryit. Mood Balqis berubah-ubah dalam sekejap. Baru saja dia marah, tapi sekarang menjadi tukang curhat.
"Tinggal di sini emang nggak sesuai harapan gue. Masa iya sekelas pesantren disini nggak ada daging wagyu, bluefin tuna. Cih... Bayangin aja, hidup macam apa ini kalo nggak makan enak?"
"Pokonya tar malem gue harus kabur. Dan lo Om... jangan bilang sama siapa-siapa ya. Awas aja kalo rencana gue ini bocor! Cukup lo aja yang tau! Tapi kalo bisa sih bantu gue kabur ya..."
Alditra hanya diam. Dia membiarkan Balqis terus bicara.
"Al, kamu sudah minum obat?"
Balqis menoleh ke belakang saat mendengar suara. Matanya langsung membulat sempurna melihat seorang laki-laki berpakaian dokter menghampiri mereka sambil tersenyum manis.
Heol Daeebbakkk... Siapa tuh cowok?ganteng banget!?
Ya... Laki-laki itu sangat tampan dan terlihat sudah mapan juga. Apalagi gayanya yang cool memberikan karisma yang luar biasa.
"Heh Om... dia siapa?" bisik Balqis sambil berdiri mematung. Dia menatap laki-laki itu yang berjalan melewatinya.
"Kamu udah minum obat?"
Alditra mengangguk pelan. Dia juga membiarkan laki-laki itu mengusap pucuk kepalanya.
"Abang masuk dulu. Kamu jangan pergi terlalu jauh."
Balqis yang masih berdiri di tempat sangat terkejut.
Hah??? Abang? Nggak salah?
Balqis melirik kearah Alditra.
Kok kayaknya yang harusnya disebut abang dia deh... Apa gara-gara dia sakit jadi keliatan mukanya kusem jadi kayak lebih tua...
Kini dia tahu laki-laki berpakaian dokter itu adalah kakaknya Alditra.
"Om, kakak lo ganteng juga ya!"
Balqis masih menatap laki-laki itu. Matanya berbinar-binar membayangkan kemanisannya.
Ya... Bagaimana pun juga mau sedewasanya, sedinginnya Balqis tetap saja usia tidak akan berbohong... Dengan usianya yang masih 18 tahun dan masih labil, dia langsung nyerocos berbicara pada Alditra yang hanya terdiam memperhatikan balqis..
"dia udah nikah blum, Om? Kalo belum boleh dong kenalin gue sama dia.. Nggak apa-apalah umurnya jauh lebih tua juga.."
Alditra memutar mata malasnya. Karena bukan hanya Balqis yang matanya berbinar melihat sang abang, tapi santriwati lain pun sama.
Dia yang tidak suka dengan keributan kembali memutar roda kursinya lalu meninggalkan Balqis.
"Heh, tunggu! Ck.. yeilaaahh"
Lagi-lagi kursi roda Alditra ditarik Balqis. Kali ini dia tidak melirik sama sekali selain membuang wajah.
"Biasa aja sih masang wajahnya. Lagian gue juga nggak tertarik sama lo kok."
Balqis melepaskan pegangannya. Dia membiarkan Alditra kembali memutar roda kursinya.
"Maa syaa Allah, Gus Miftah!"