Area Dewasa
Lanjutan dari kisah Kimy dan Satria dengan berbagai kekocakannya.
Diharapkan baca seasons pertama yang menguras air mata karena cekikikan sebelum mampir ke sini.
Kelanjutan tentang cerita Satria-Kimy, tapi didominasi kisah cinta Thomas yang berupaya meraih cinta dari seorang janda cantik bernama Amora.
Akankah Thomas mampu menaklukkan hati Janda Cantik sekelas Amora??
Ataukah dia akan berpindah haluan meraih hati diriku?? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jujurlah pada hatimu!
Rahardian menjeda ucapannya sejenak, kedua sudut bibirnya terus ditarik ke atas saat dia kembali mengenang masa itu.
"Terus, Yah?" Amora makin penasaran, sebab cerita Ayahnya mirip dengan hal yang menimpanya sekarang, ditinggalkan dalam kerinduan.
Rahardian kembali melanjutkan ceritanya.
Kembali ke 30 tahun lalu…
Setelah Dina mengungkapkan perasaannya di pantai itu, Rahardian berusaha tidak mencari perempuan cerewet yang selalu mengomentari apapun yang ia ingin komentari. Dia tak mau membuat Dina sakit hati karena merasa tidak dipedulikan olehnya.
Satu hari tak bertemu, Rahardian masih merasa biasa saja, tak merasa kehilangan sosok gadis centil nan ceria itu.
Hari kedua, ketiga hingga hari ke dua puluh lima pun masih sama, dia masih merasa dirinya memang tak memiliki perasaan lebih terhadap Dina.
Tapi itu tak berlangsung lama, karena saat Rahardian dan para sahabatnya mengadakan camping di sebuah pantai, dirinya kembali mengingat Dina, ya meski tak bisa ia pungkiri sering juga dia mengingat wajah Dina di sela waktu kosongnya, saat baru akan memejamkan mata, bahkan beberapa kali si Cerewet itu menyapanya di alam mimpi.
Kemanakah Dina pergi?
Ingin sekali Rahardian bertanya pada para sahabatnya yang sepertinya tengah sibuk membicarakan perempuan yang baru saja terlintas di pikirannya. Tapi, dia takut mereka akan salah paham dan mengira jika dirinya merindukan Dina, meski kenyataan memang dia telah sangat merindukannya. Jadi Rahadian memilih Diam sambil melanjutkan melukis panorama indah lautan di hadapannya.
"Darimana kalian, kok dari kemaren baru pada nongol?" tanya Jaka, salah satu teman ngumpul Rahardian dan Dina kepada teman mereka yang lain.
"Dari rumah si Dina—"
Deg, jantung Rahardian tiba-tiba berdegup kencang saat nama Dina disebut.
"— nginep kita di sana sekalian nengokin dia."
Nengokin?
Apa perempuan itu sakit?
Apa dia juga bisa sakit?
Makin kacau saja pikiran Rahardian waktu itu, otaknya sudah tak lagi fokus pada lukisan yang sedang ia kerjakan. Karena kini yang ada di pikirannya adalah, apa yang terjadi pada si cerewet itu?
"Dia kenapa?" tanya Rahardian santai seolah tak acuh pada keadaan si Cerewet.
"Dia kan baru keluar dari rumah sakit, tiga hari lalu dia dioperasi. Lah bukannya elu sama dia deket?"
"Gue kira juga kalian emang pacaran."
"Enggak ya?"
"Wah, boleh dong tuh anak gue deketin?"
Rahardian sudah tak lagi menghiraukan celotehan teman-temannya.
Operasi?
Dina si Centil dioperasi?
Rahardian ketakutan, mendengar operasi saja sudah membuat Rahardian cemas setengah mati.
Bagaimana kondisi gadis itu sekarang?
Apa sakitnya sangat parah hingga Dina yang malas minum obat harus dioperasi?
Tanpa membereskan peralatan lukisnya, Rahardian segera mengambil tas ranselnya.
"Mau kemana loh?" tanya Jaka padanya.
Tapi Dia tak menjawab, Rahardian memilih pergi begitu saja dengan alasan yang tak jelas.
Hari sudah hampir sore saat Rahardian tiba di depan pintu gerbang kosan putri yang dekat dengan kampus mereka.
Eh, tunggu. Kenapa dia ke sini?
Bukannya tadi kata Yuda, Ayu dan Ita, mereka menginap di rumahnya Dina?
Rumah Dina, dan itu artinya di Bandung.
Tanpa turun dari mobilnya, Rahardian langsung melesat menuju rumah keluarga Dina yang ada di Bandung.
Hanya butuh 3 jam berkendara akhirnya Rahardian tiba di kota asri yang berjuluk Kota Kembang.
Untungnya rumah Dina berada di perumahan yang ada di sudut kota. Jadi Rahardian tak perlu masuk ke jalan desa yang gelap, karena saat itu penerangan masih sangat minim, listrik baru ada di kota dan sekitarannya, sedangkan untuk para warga yang ada di perkampungan mereka masih menggunakan penerangan seadanya dari lampu petromak ataupun lampu tempel.
"Assalamu'alaikum!" ucapnya di balik pintu pagar yang hanya setinggi pinggangnya.
Tak ada yang menjawab, mungkin para pemilik rumah sedang solat saat itu. Mungkin.
"Assalamu'alaikum!" serunya lagi, kali ini lebih bervolume.
Masih tak ada jawaban.
"Ngapain gue di sini?" Rahardian baru menyadari apa yang ia lakukan hingga harus repot-repot datang dari Jakarta hanya untuk mengetahui kondisi perempuan cerewet yang bukan siapa-siapa baginya.
Eh, bukannya mereka masih berteman?
Ya, pasti dia ke sana hanya untuk melihat kondisi temannya. Ya pasti itu. Tidak lebih. Hanya teman. Rahardian meyakinkan dirinya.
"ASSALAMU'ALAIKUM!" Makin kencang saja suara Rahardian mengucap salam
"Waalaikumsalam," jawab seseorang, tapi bukan dari dalam rumah melainkan dari belakang tubuhnya.
"Eh." Rahardian terhenyak, wajahnya yang putih nampak sedikit bersemu karena malu pada pria paruh baya yang ia tahu adalah Bapak dari Dina. "Maaf, Pak. Udah berkali-kali ngucap salam gak ada yang jawab." Dia nampak gugup, bisa dilihat dari caranya menautkan jari-jarinya seraya menundukkan wajahnya.
"Lagian magrib-magrib namu ke rumah orang. Mau cari siapa?"
"Ah, itu, emmmm." Makin gugup saja dirinya.
Mendengar logat bahasa anak muda di hadapannya yang tak seperti logat pribumi pada umumnya, bisa dipastikan jika anak muda itu pasti anak perantauan.
"Cari siapa? Jangan bilang kalau kamu mau ngajak ngapel Dian magrib-magrib gini," terkanya, sebab salah seorang putri sering sekali didatangi anak muda yang mengajaknya keluar malam. "Gak boleh. Gak ada keluar malam!"
"Bu, bu, bukan! Bukan Dian." Rahardian dengan cepat melambai-lambaikan tangannya. "Saya cuma mau nengokin Dina, Pak."
Pria bernama Halim itu sedikit terkejut, pasalnya tak ada yang tau jika seminggu ini Dina sedang berada di rumah mereka, karena biasanya anak gadisnya itu berada di Jakarta. Berkuliah di Universitas Negeri yang ada di sana.
"Kamu dari Jakarta?"
Rahardian mengangguk lagi.
"Baru datang dari Jakarta?" Dengan nada tak percaya.
Kembali mengangguk cepat.
"Ih, lainna ngomong ti tatadi, hayu masuk, kasep!" ajak Pak Hilmi dengan menggunakan bahasa Sunda, padahal sebelumnya dia berbicara dengan bahasa Indonesia. Aneh.
Masuk ke dalam rumah, Rahardian yang begitu mengkhawatirkan keadaan Dina, temannya, langsung mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan, tapi tak ada seorangpun di sana.
Apakah sakit Dina betul-betul parah?
Pak Hilmi kembali mendatanginya setelah berganti pakaian diikuti istrinya Ibu Euis di belakangnya.
"Eh, aya si Kasep. Datang sama siapa ke sini?"
Dia yang memang sudah beberapa kali datang ke rumah keluarga Dina di Bandung, langsung disambut hangat oleh sang Ibu, sebab Ayah Dina yang bertugas di luar kota jarang sekali berada di rumah.
"Sendiri aja," jawabnya kemudian mencium tangan wanita tua yang ia tahu adalah Ibu dari Dina. "Sebentar, ibu bikinin teh manis anget dulu, ya, sambil nunggu Dina datang."
"Si Na, emang kemana Bu?"
"Kontrol ke rumah sakit, ditemenin teteh sama Uwa Nining," jawab Ibu Euis dan kemudian segera meninggalkan Rahardian menuju dapur.
Hampir satu jam menunggu, akhirnya sebuah salam terdengar dari teras rumah. Bukan suara Dina, tapi suara wanita tua.
"Eh, ada kamu, Har," sapa Dian, kakak dari Dina.
"Saha eta? Mani kasep! (Siapa dia? Ganteng banget!)" tanya Uwa.
Dina yang berjalan di belakang Dian begitu terkejut melihat pria yang ia rindu sekaligus membuat dia kesal setengah mati itu ada di rumahnya.
Setelah mencium tangan si Uwa dan menjabat tangan Dian, Rahardian langsung menghampiri Dina yang hanya berdiri menatapnya. "Na, kamu baik-baik aja? Apanya yang sakit? Kata Jaka kamu dioperasi. Operasi apa? Emang kamu sakit apa sampe dioperasi?" Rahardian yang biasanya jarang berbicara jadi seperti Dina, saking khawatirnya.
Bukannya menjawab atau apa, Dina malah melengos ke arah dapur. Wajahnya masih cemberut, dan itu artinya gadis itu masih marah padanya.
Eh, tunggu!
Bukannya kata Jaka tadi, dia habis dioperasi?
Tapi kok cara jalannya tak menampakkan bahwa ada yang sakit seperti layaknya orang pasca-operasi.
"Dia lagi puasa ngomong, adem kuping," ucap Dian yang seperti membaca pikirannya.
Apa Dina semarah itu kepadanya, hingga dia yang biasanya meluapkan kemarahannya dengan menyemprotkan jutaan kata, jadi memilih untuk diam?
"Din, Udin. Pacar datang malah ditinggal, teteh pinjem boleh?" teriak Dian dari kepada adiknya.
"Dina sakit apa Teh? Kata anak-anak dia abis dioperasi, bener itu Teh?"
Dian mengangguk, kemudian menjawab, "sakit hati dia sama kamu, makanya kemaren harus direparasi dulu hatinya ke dokter." Sebab Dian tahu konflik yang sedang terjadi antara adiknya dengan pria berkulit putih di hadapannya itu.
Berkali-kali Rahardian menelan ludahnya dengan susah payah karena ucapan yang Dian katakan tadi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ayah waktu itu langsung ke rumah Enin di Bandung, demi ketemu Ibu?" Amora memotong cerita Rahardian.
Pertanyaan Amora tadi langsung disambut dengan anggukan kecil dari sang Ayah.
"Terus dari situ Ayah sama Ibu pacaran?" Amora benar-benar penasaran.
"Mau gak mau, pilihannya cuma dua sebelum Ayah balik lagi ke Jakarta."
"Apa?"
"Pacaran atau asing?"
"Asing?"
"Iya, kita kayak orang asing, cuek-cuekan maksudnya."
"Ayah langsung milih jadi pacar Ibu?"
"Gak langsung jawab, tapi Ibu kamu tiba-tiba peluk Ayah pas Ayah lagi mikir, sambil bilang 'kangen', dan saat itu juga Ayah sadar kalau sebenarnya Ayah juga kangen Ibu." Wajah Rahardian terus menerbitkan senyum saat menceritakan masa lalunya dengan sang istri.
Aku jugak kangen kamu, Mas. Banget.
"Tapi tunggu deh, Ibu beneran dioperasi? Atau Ayah ditipu temen-temen Ayah? Karena setau aku, aku belum pernah liat bekas sayatan di badan Ibu."
"Tapi kenyataannya Ibu emang dioperasi waktu itu."
"Operasi apaan? Kok kata Ayah Ibu jalan biasa aja tadi pas pulang kontrol sama Uwa Dian."
"Operasi Amandel," jawab Rahardian sambil tertawa geli, karena kekhawatirannya dulu begitu berlebihan untuk seorang pasien operasi amandel.
"Kamu lagi kangen seseorang saat ini?" pancing Rahardian melihat tatapan mata Amora seperti menerawang ke tempat lain.
Amora langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ah, enggak. Aku lagi menikmati kesendirian," kilahnya.
"Yah, temenin Ibu jalan-jalan di pantai yuk!" ajak wanita yang beberapa saat lalu jadi bahan ceritanya.
"Ayah tinggal, ya. Jujur sama hati kamu, Sayang!" ucap Rahardian sebelum menyusul istrinya.
Apa aku harus cari keberadaan kamu?
Apa aku harus datang untuk minta kamu kembali?
Apa ini belum telat?
"Ra, Amora!" Samar-samar terdengar suara yang begitu ia rindu.
Ah, tapi tak mungkin. Ini dimana?
Mereka kan saat ini sedang berada di tempat yang letaknya jauh dari Jakarta. Pasti hanya halusinasinya saja, seperti yang sudah-sudah.
"Raaaa!" Suara itu kembali menyapa, bahkan lebih jelas dari sebelumnya.
Kali ini Amora menoleh, ke arah asal suara yang memanggilnya.
"Mas?"
mirip bersin nya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
ampe berair mata ku ya Allah gustiiiiiiii 😄😄😄.
bingung mau nulis apa ketawa dari awal ampe ahir udah cukup 😄😄.
si bumil mode kalem 😅😅.