Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UJIAN KECIL
Keysha mengetuk pintu rumahnya beberapa kali.
Tidak ada jawaban.
"Ma... Ma... ini Echa sama papa..." suara bocah perempuan itu terdengar ceria.
Alex berdiri di belakangnya, membawa beberapa kantong belanjaan. "Mungkin Mamamu lagi tidur."
Keysha menoleh, wajahnya cemberut
"Tapi biasanya
Mama langsung buka pintu."
Alex mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Tetap sunyi.
Dia mulai curiga.
"Papa lupa bawa kunci cadangan." Kata Alex sambil merogoh-rogoh saku celananya.
"Kita dobrak aja."
Alex mengambil ancang-ancang. Tapi saat akan menerjang pintu, teriakan Keysha menghentikannya.
"Pa, tunggu!"
Alex menoleh. "Ada apa?"Keysha mengacungkan sebuah kunci.
"Kamu Nemu di mana?"
Keysha menunjuk pojok teras. Membuat Alex mengerutkan kening.
Rupanya saat panik tadi, Aurelie mengunci pintu dan membuang kuncinya begitu saja.
"Ini aneh!"
Tapi dia cepat-cepat membuka pintu.
Begitu pintu berhasil dibuka, Alex melangkah cepat masuk langsung membeku.
Ishana tergeletak di lantai. Ada bekas darah mengering di sisi pelipisnya. Tubuhnya tidak bergerak.
"Mamaaa!" Keysha menjerit. Matanya langsung basah. Dia menangis sambil memeluk tubuh ibunya.
Alex segera menghampiri Ishana dan memeriksa napasnya. Masih ada. Tapi lemah. Tubuhnya dingin dan pucat.
Dengan cepat, Alex mengangkat tubuh Ishana ke sofa dan meraih ponsel.
"Tolong kirim ambulans, sekarang!"
Beberapa menit kemudian, ambulans tiba. Keysha terus menggenggam tangan ibunya yang belum sadar sambil menangis terisak.
"Jangan meninggal, Ma... jangan tinggalin Echa..."
Alex hanya bisa memeluk anak itu sambil menenangkan. Tapi di dalam hatinya, ada rasa amarah yang bercampur tanya. Karena jelas, ini bukan kecelakaan biasa. Ada yang terjadi.
Dan dia akan cari tahu.
Siang itu, suasana kantor Brilliant Consulting Group masih normal. Karyawan sibuk di depan layar, tumpukan dokumen bergeser, dan suara telpon bersahutan. Tapi Sean yang baru saja keluar dari ruang meeting langsung disambut asistennya dengan wajah tegang.
"Pak Sean, ada tamu. Sudah menunggu sejak tadi."
"Siapa?" tanya Sean santai.
Asistennya menjawab ragu. "Bu Natalia..."
Sean terdiam. Nafasnya sedikit berubah. "Di ruangan saya?"
"Ya, Pak."
Dengan langkah alas, Sean masuk ke ruangannya di lantai 8. Natalia berdiri membelakanginya, mengenakan setelan serba hitam. Begitu mendengar pintu dibuka, dia langsung berbalik.
"Natalia."
"Sean."
Sean mengangguk singkat. "Ada apa kamu ke sini?"
Wajah Natalia tegang. Matanya sembab. Terlihat seperti ada amarah yang ditahan lama.
"Ayahku meninggal kemarin," katanya tajam.
Sean terdiam. "Ya, aku baru dengar waktu di Bali.
Aku turut berduka cita. Rencananya sore ini kami akan melayani."
"Tidak perlu, kamu lah penyebabnya."
Sean menatap tajam. "Apa maksudmu?"
"Sejak kamu batalkan pertunangan kita dua tahun lalu, ayah berubah. Dia bukan lagi orang yang kuat dan tegar. Kamu tahu betapa dia menjaga reputasinya? Betapa dia bangga karena aku hampir menikah dengan putra keluarga terhormat?"
"Natalia, kita berdua tahu alasan kenapa hubungan kita nggak bisa lanjut. Aku tidak bisa menjalin komitmen tanpa ada rasa nyaman."
"Omong kosong!" bentak Natalia. "Kamu yang memutuskanku sepihak, tanpaemberi kesempatan aku untuk memperbaiki diri. Malah memilih untuk menikahi janda itu. Dan sejak saat itu, ayah jadi bahan omongan dii kantornya. Dia tak kuat menanggung malu. Dia jatuh sakit, dan kamu... kamu bahkan tidak pernah menjenguknya."
Sean menghela napas panjang. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi pada ayahmu. Tapi aku tidak bisa berpura-pura mencintai seseorang hanya untuk menjaga reputasi."
Natalia tertawa pendek, dingin. "Kamu tega ninggalin semua demi perempuan itu!"
Wajah Sean langsung menegang. Tapi dia tetap
tenang. "Jangan bawa-bawa Livia!"
"Kenapa? Dia bukan cuma istrimu sekarang. Dia alasan kamu ninggalin aku, kan? Cuma karena dia..."
"Cukup!" potong Sean.
Nafas Natalia memburu. "Kalau aku buka mulut ke media soal ini, reputasi keluarga kamu bisa hancur. Jangan pikir kamu bisa hidup tenang dan bahagian di atas penderitaanku!"
Sean menatapnya tajam.
"Silakan saja kamu mau ngomong apa. Tapi kamu sendiri tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kalau kamu pikir dengan ngancam-ngancam semuanya kembali seperti dulu, kamu salah besar."
Natalia menatapnya penuh kebencian. "Kamu belum pernah merasakan Sean, bagaimana rasanya kehilangan orang tua."
Natalia menatap Sean penuh kebencian, emosi yang masih menyala dan hati yang terbakar. Setelah itu dengan langkah cepat, dia meninggalkan ruangan, membiarkan pintu terbanting di belakangnya.
Sean menghela napas panjang dan duduk. Kepalanya mulai berdenyut. Dia tak menyangka, semuanya akan jadi seperti ini.
Tiba-tiba ponsel Sean bergetar. Nama Livia muncul di layar. Ia langsung mengangkat.
"Halo?"
"Kamu masih di kantor?" tanya Livia. Suaranya terdengar biasa, tapi ada nada berbeda di dalamnya.
"Iya. Baru selesai meeting."
"Habis meeting atau habis nerima tamu?"
Nada Livia terdengar tenang, tapi mengandung tekanan.
Sean terdiam sejenak. "Kamu dengar dari mana?"
"Barusan aku dikirimin foto."
Sean langsung terdiam.
"Ada yang lihat perempuan keluar dari ruangan kamu. Mukanya nggak enak dilihat. Aku seperti mengenalnya, itu... Natalia, kan?"
Sean menarik napas pelan. "Iya. Natalia."
"Ngapain dia ke sana?"
"Ngamuk. Dia nyalahin aku soal ayahnya yang meninggal. Tapi kematian itu takdir. Hanya mungkin salah satu penyebabnya adalah aku.
Livia terdiam beberapa detik. "Apa dia menyalahkan aku juga?"
Sean diam tak menjawab. Tapi dengan diamnya Sean, Livia tahu jawabannya.
"Aku boleh temui Natalia?"
"Tidak usah dan tak perlu pikirkan itu!" Ucap Sean tegas, membuat Livia terdiam.
"Liv, aku belum bisa datang ke Bali minggu ini.
Banyak sekali urusan di kantor."
Livia menghembus napas kasar. Entah kenapa hati ya jagi curiga. Atau hanya karena rasa cemburu?
"Ya sudah, terserah kamu."
Klik. Sambungan terputus.
Sean menatap layar ponselnya beberapa detik.
Hubungan jarak jauh ini mulai terasa berat, apalagi jika masalah dari masa lalu ikut menyeret pernikahan mereka yang baru seumur jagung.
Sudah dua hari sejak percakapan mereka terakhir.
Komunikasi tetap berjalan, tapi terasa hambar. Hanya kalimat formal seperti "sudah makan?" atau "Cello lagi ngapain?". Livia tetap membalas, tapi tak lagi hangat seperti biasanya.
Sean tak tahan. Sore itu, setelah menyelesaikan urusan mendesak di kantor, ia langsung memesan tiket penerbangan malam ke Bali. Ia tak memberitahu Livia. Bukan karena ingin memberi kejutan. Tapi karena ingin bicara langsung, tanpa jeda, tanpa salah paham lewat telepon.
Pukul sembilan malam, Livia sedang menyelimuti Cello yang sudah tertidur. Ia menutup pintu kamar perlahan, berjalan ke ruang tamu. Baru saja hendak duduk, bel rumah berbunyi.
Elis muncul dari dapur.
"Biar saya buka, Bu."
Tapi Livia mengangkat tangannya, membuat langkah Elis terhenti.
"Biar aku aja, Bi. Bi Elis istirahat saja." Kata Livia cepat.
Wajah Livia langsung berubah. Malam-malam begini? Siapa?
Saat pintu dibuka, Sean berdiri di ambang pintu dengan koper kecil dan wajah lelah.
"Sean?"
Livia menatap tak percaya, sambil membuka pintu lebih lebar. Sean masuk dan langsung duduk di sofa.
Livia beranjak ke dapur dan kembali dengan segelas air di tangan. Lalu menyerahkannya pada Sean.
"Kamu katanya Minggu ini nggak datang?" Tanya Livia. Lalu duduk di sebelah suaminya.
"Aku nggak bisa nahan kangen sama kamu dan Cello."
Sean meraih tangan Livia, dikecupnya jemari lentik sang istri. Livia bergeser mendekat dan menyenderkan tubuhnya ke tubuh suaminya. Dan Sean langsung memeluk serta mengecup puncak kepalanya.
"Aku siapin air hangat di bathtub ya?"
"Tunggu dulu, aku ingin seperti ini sebentar. Cello bagaimana? Apa dia suka nanyain aku?"
"Tentu saja, daddy... jika dia masih bangu, pasti kamu jadi rebutan kami."
Sean terkekeh bahagia. Lelaki itu memejamkan matanya. Menghirup napas dalam dan menghembuskannya dengan lega.
Meski mereka tengah berada di situasi nggak enak,
Livia tidak langsung memberondongnya dengan pertanyaan yang memojokkan.
Wanita itu mengusap dada suaminya, "mandi dulu, sayang... setelah itu makan, ya."
Alex menoleh dan menatap lekat wajah yang ada di pelukannya.
"Kamu setiap saat selalu membuatku jatuh cinta, Liv. Aku bahagia memiliki kamu dan Cello."
Livia tersenyum genit, lalu mengecup bibir Sean. Lembut dan lama. Sean tak kuasa, tak membalasnya. Bibir sang istri dilumatnya penuh gairah.
"Akuandi dulu, sayang..." Desahnya setelah bibir mereka saling terlepas. Livia mengangguk, lalu berdiri untuk menyiapkan air hangat di bathtub.
Saat Alex mandi, Livia menghangatkan makanan, lalu menyiapkan ya di meja makan. Itu semua ia lakukan sendiri, tanpa meminta bantuan Ellis yang sudah dia suruh untuk istirahat.
Lima belas menit kemudian, Livia menani Sean makan.
Setelahnya mereka menuju ke ruang tengah. Dan duduk berhadapan, karena memang kini saatnya mereka bicara dan memecahkan kesalah pahaman.
"Maaf jika aku sudah membuat kamu kecewa." Sean mengawali pembicaraan. Livia memperhatikannya dan tidak menyela.
"Aku tidak mau masalah ini numpuk jadi prasangka.
Jadi aku datang ke sini di tengah kesibukanku, selain kangen juga sama kalian."
Livia masih diam.
"Dua tahun yang lalu, aku putuskan untuk membatalkan pertunanganku sama Natalia, itu keputusan yang udah lama aku pikirkan, sebelum kamu bercerai dari Alex. Tapi aku terlalu pengecut untuk bicara baik-baik. Dan karena itu, ayahnya sakit hati. Aku tak mau pembatalan itu jadi aib keluarga mereka. Tapi aku juga tak bisa terus berpura-pura masih mencintai Natalia."
"Dan sekarang dia nyalahin kamu atas kematian ayahnya," potong Livia.
Sean mengangguk. "Iya. Tapi kamu harus tahu, aku
Tidak pernah kontak dia lagi sejak hari aku memutuskan semuanya. Dia datang tiba-tiba ke kantor. Ngamuk.
Nangis. Tapi aku sudah coba menjelaskan situasinya, kalau aku memutuskan dia bukan karena adanya kamu, meski aku sudah mencintaimu dari lama, sebelum kamu menikah dengan Alex."
Sejenak Sean mengatur napasnya. Livia menatap mata Sean dalam-dalam. "Terus kenapa gak cerita sama aku?"
"Saat kamu telpon aku, itu belum 5 menit Natalia keluar dari ruanganku. Tapi paparazi sialan itu sudah lebih dulu ingin mengadu domba kita. Aku tahu pelakunya. Dan aku akan segera memecatnya."
Kini terlihat emosi di wajah Sean. Livia langsung meremas tangan suaminya untun menenangkan. Biar bagaimanapun, dia masih percaya pada Sean.
"Tenang sayang, aku percaya kok sama kamu."
"Tapi di telepon kamu seperti marah?"
"Kamu nggak peka banget sih... itu karena aku kangen sama kamu."
Livia pura-pura cembert. Membuat Sean terkekeh.
Lalu menarik tangan Livia dan mendudukkan di pangkuannya.
"Kamu pikir aku nggak kangen sama kamu, hah?!"
Sean menggelitik pinggang Livia, membuat istrinya menggelinjang sambil tertawa-tawa.
"Kita bobo, yuk!"
"Yakin?" Livia mengerling.
"Nggak."
Saat Livia ingin bicara lagi, Sean sudah membungkam bibir Livia dengan bibirnya.
Keesokan Harinya... rumor tersebar.
Livia baru saja selesai menyuapi Cello ketika ponselnya berbunyi. Notifikasi dari media sosial.
@highlight_hotnews mengunggah foto blur Natalia
keluar dari kantor Sean disertai caption:
"Putus tunangan, ayahnya meninggal, dan sekarang sang CEO hidup bahagia dengan istri baru? Benarkah Sean Abinaya Darrient meninggalkan luka sedalam itu?"
Wajah Livia langsung memucat.
Sean yang baru keluar dari kamar, langsung membaca situasi.
"Kamu kenapa?"
Livia memperlihatkan akun media sosialnya.
itu. Dia duduk di sebelah Livia dan membaca postingan
"Aku sudah duga," gumamnya.
"Kamu pikir ini bakal berhenti?" tanya Livia pelan.
Sean menatap istrinya. "Tidak tahu.
"Aku janji, kamu tidak akan ngadepin ini sendirian."
Sean tersenyum bangga. Ternyata pemikiran Livia lebih dewasa dari yang dia kira.
Tak lama ponsel Livia berbunyi lagi. Chat dari dokter Chiara.
> "Liv, kamu baik-baik saja, kan? Kok ada berita di
akun gosip, katanya suamimu dituding ninggalin mantan tunangan sampai ayahnya meninggal?"
Livia langsung menjawab.
> "Tante gak usah khawatir, itu cuma gosip keji.
Nggak sepenuhnya benar."
Sean memperhatikannya dengan wajah penuh tanya.
Tapi Livia langsung menenangkannya dengan memperlihatkan chat itu.