Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambruknya Anna
Angin malam bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan dari pohon kamboja yang tumbuh di sisi kiri taman kecil rumah sakit itu. Lampu kuning redup memantulkan bayangan dua pria muda yang berdiri berjarak satu meter, sama-sama tegang, sama-sama terjebak dalam penyesalan yang terasa menggumpal di antara keheningan mereka.
Liam berdiri mematung, tangan di saku celana, kepala menunduk. Kemeja putihnya kusut parah akibat kejadian tadi. Wajahnya yang biasanya tajam dan tegas, kini tampak kacau — seperti seseorang yang baru saja tersadar dari mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri.
Sementara itu, Gema, dengan raut wajah penuh kekesalan, hanya menatap Liam dengan napas berat. Tatapannya tidak seperti biasanya. Ini bukan tatapan seorang bawahan kepada atasan. Ini tatapan seorang sahabat yang benar-benar kecewa.
“Gue tau lo punya ekspektasi besar ke Anna,” Gema membuka suara akhirnya, memecah keheningan yang membunuh itu. “Dan gue tau juga lo kecewa berat gara-gara kejadian teh panas waktu itu. Tapi harus segininya, Liam?”
Liam tidak menjawab. Ia hanya meremas jari-jarinya dalam saku.
“Gue nanya,” Gema menegaskan, suaranya meninggi. “Harus segininya? Lo sadar nggak barusan apa yang terjadi?”
Liam menghela napas pelan, seperti seseorang yang berusaha keras menghibur dirinya sendiri. “Gue nggak maksud gitu, Gem…”
“Terus maksud lo apa?” Gema selangkah maju. “Itu anak hampir lo buat mati cuma gara-gara teh panas yang bahkan nggak bikin kulit lo melepuh. Lo masih mau bilang lo nggak maksud?”
Liam mengangkat wajah, menatap Gema, kali ini matanya tidak sekaku biasa. Ada sesuatu di sana. Sesal, atau shock, atau segala jenis emosi yang selama ini ia tekan karena egonya terlalu tinggi untuk mengaku salah.
“Gue cuma…” Liam menelan ludah, suaranya serak. “Gue cuma mau buktiin kualitas dia.”
“BUKTIKAN kualitas dia?” Gema mengulang kata-kata itu dengan tawa getir. “Dengan cara menyiksa dia kayak budak? Dengan ngasih tugas yang bahkan manusia normal nggak sanggup? Sakit lo, Liam.”
Tatapan Liam goyah.
“Gue pikir dia kuat,” ucap Liam akhirnya, pelan.
“Semua orang punya batas,” Gema membalas cepat. “Dan lo… lo sengaja dorong dia melewati batas itu.”
Liam menunduk lagi. Kali ini napasnya goyah. “Gue… gue salah.”
Gema menghela nafas panjang, mencoba meredakan amarahnya meski dadanya masih penuh sesak. “Lo bukan cuma salah, Liam. Lo keterlaluan.”
Ia lalu menatap kaca IGD tempat Anna berada. Lampu putih terang terlihat dari balik jendela, bayangan dokter dan perawat bergerak cepat. Tapi yang paling menusuk adalah bayangan tubuh Anna yang terbaring lemah, pucat, dan diam — kontras sekali dengan sosoknya di kantor yang selalu sibuk, selalu berusaha, selalu memaksakan diri.
“Kalo dia nggak bangun nanti…” Gema berhenti beberapa detik, suaranya serak. “Gimana, Liam?”
Liam meremas tengkuknya, frustasi. “Jangan gitu.”
“Tapi NYATA-nya gitu!” gema membalas cepat. “Ketemu fakta yang pahit tuh harus diterima. Lo mendorong dia sampai pingsan, Liam. Sampai jatuh di depan lo. Lo ngerti nggak betapa sakit hatinya dia? Dia cuma mau buktiin diri, tapi lo malah nginjek harga dirinya habis-habisan.”
Liam menutup mata sejenak. “Gue pikir dia akan bilang cukup. Gue pikir dia bakal berhenti sendiri.”
“Anna bukan tipe yang gampang nyerah,” kata Gema. “Dan lo tau itu — makanya lo sengaja paksa dia. Tapi lo lupa satu hal penting.”
“Apa?”
“Dia manusia.”
Liam membuka mata perlahan, menatap sahabatnya dengan wajah kosong — atau lebih tepatnya wajah seseorang yang dipaksa melihat dirinya sendiri dari kaca paling jujur.
“Manusia, Liam.” Gema kembali menegaskan. “Bukan robot. Bukan alat pembuktian. Dan bukan pelampiasan emosi lo.”
Liam tampak ingin membantah, tapi mulutnya tak bergerak. Tidak ada lagi yang bisa ia sanggah karena semua kata yang keluar dari Gema adalah fakta telanjang yang ia hindari.
“Gue tau lo kecewa waktu kejadian teh panas itu,” lanjut Gema, suaranya mulai melunak tapi tetap menyimpan ketegasan. “Gue ngerti, lo orangnya perfeksionis. Semua harus berjalan sesuai standar lo. Tapi salah satu standar kepemimpinan adalah ngerti batas manusia. Dan lo? Lo lupa bagian itu.”
Liam menelan pahit. “Gue… gue nggak nyangka dia bakal sampai pingsan.”
Gema menatap Liam dalam-dalam. “Lo ngasih dia kerjaan tiga kali lipat dari kapasitas normal, Liam. Siapa yang nggak pingsan?”
Kali ini Liam benar-benar terdiam. Tidak berusaha membela diri lagi.
Gema mendesah keras. “Liat deh dia. Masa lo nggak ngerasa bersalah sedikit pun?”
Liam menatap jendela IGD itu, mata Anna yang tertutup, wajahnya yang sangat lelah, dan selang infus di tangannya. Sesuatu di dalam dirinya retak.
“Gue…” suaranya hilang beberapa detik. “Gue salah. Gue beneran salah.”
Gema tak menjawab. Ia hanya menatap sahabatnya yang akhirnya runtuh dari tembok besar bernama ego itu.
“Gue mau minta maaf sama dia,” ucap Liam lirih. “Kalau dia bangun…”
“Kalo dia bangun,” Gema menekankan dengan sengaja, “lo bukan cuma harus minta maaf. Lo harus tanggung jawab.”
Liam mengerutkan dahi. “Tanggung jawab gimana?”
“Lo harus nerima dia sebagai sekretaris pribadi. Resmi. Bukan coba-coba. Bukan trial. Lo harus kasih dia kesempatan yang adil, tanpa tekanan, tanpa balas dendam. Lo harus buktiin kalau lo bisa jadi pemimpin yang lebih baik daripada kemarin.”
Liam terdiam. Tidak ada penolakan.
Gema melanjutkan, “Dan lo harus janji buat nggak ganggu dia lagi kalau bukan urusan profesional.”
Liam tidak langsung menjawab. Tapi tatapannya kembali ke jendela IGD itu, lama, sangat lama. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ambisinya tunduk pada rasa bersalah.
Akhirnya ia mengangguk pelan.
“Oke. Gue setuju.”
“Baik,” Gema berkata lebih lembut. “Dan satu hal lagi.”
“Apa?”
“Lo harus bilang ke HR kalau Anna resmi lolos dan lanjut kerja. Nggak ada percobaan ulang. Nggak ada syarat tambahan.”
Liam menatap Gema, lalu kembali mengangguk mantap. “Gue lakukan.”
“Dan lo minta maaf,” Gema menegaskan lagi.
“Gue minta maaf,” Liam menirukan dengan lebih tegas. “Gue akan minta maaf ke Anna… begitu dia bangun.”
Gema akhirnya menarik napas lega, meski masih menyimpan sedikit kekesalan.
“Bagus,” ucapnya. “Sekarang kita tunggu dia sadar.”
Liam menatap kembali ke jendela IGD, kali ini dengan mata yang tidak lagi dingin, tidak lagi arogan, tapi penuh penyesalan.
Dan malam itu, dalam taman kecil yang sunyi, Liam—presdir muda yang terkenal dingin dan tak pernah mengakui kesalahan—akhirnya menunduk, menelan ego, dan mengaku:
Ia salah.