NovelToon NovelToon
Koki Cantik Penyelamat Kaisar

Koki Cantik Penyelamat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Time Travel / Cinta Seiring Waktu / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Persiapan Penyamaran

Satu kati kacang tanah kualitas terbaik....??"

Kata-kata itu tidak jatuh begitu saja ke lantai dapur yang dingin; mereka melayang di udara, berkilauan dengan lapisan racun yang tak terlihat, sebelum menancap tepat di antara kedua mata Han Qiu.

Selama beberapa detik yang terasa seperti satu dekade, satu-satunya suara di lorong itu adalah detak jantung Kasim Li yang panik, yang terdengar seperti seekor kelinci yang sedang mencoba menabuh genderang perang.

Han Qiu tidak merasakan dingin.

Ia merasakan sesuatu yang jauh lebih buruk: kejelasan yang membekukan. Ini bukan permintaan. Ini bukan syarat. Ini adalah papan catur yang diletakkan di hadapan mereka, di mana Gao sudah memindahkan bidak ratunya ke posisi skakmat.

Dia tahu, batin Han Qiu, sebuah senyum sinis nyaris terukir di bibirnya.

Wanita itu bukan sekadar tiran dapur, dia adalah dalang pertunjukan boneka yang sakit jiwa. Dia tidak menangkap kita basah. Dia memberi kita tali, menyuruh kita menggantung diri, dan bahkan menawarkan untuk menyimpulkan tali mana yang paling bagus untuk leher kita.

"Kita mati," desis Li, suaranya pecah seperti porselen retak.

"Dia tahu! Demi semua leluhur, dia tahu! Ini jebakan! Kita akan keluar, membeli kacang, dan saat kembali, dia akan menunggu kita di gerbang dengan regu eksekusi dan sebuah wajan raksasa untuk menggoreng kepala kita!"

"Tenang, Li. Bernapas," balas Han Qiu, suaranya tetap rendah dan stabil, sebuah kontras yang absurd dengan kekacauan di dalam kepalanya.

"Kalau kau pingsan sekarang, aku akan meninggalkanmu di sini sebagai pupuk untuk pot krisan favoritmu."

Ancaman itu cukup untuk membuat Li terkesiap dan mulai menghirup udara dengan rakus, meskipun matanya masih memancarkan teror murni.

"Tapi... tapi kacang tanah? Xiao Lu, itu seperti meminta seorang biksu untuk membelikan daging babi! Coba pikirkan, Kenapa dia melakukannya?"

"Karena dia cerdas," jawab Han Qiu, matanya menatap tajam ke lorong tempat Gao menghilang.

"Dia tidak bisa menuduh kita tanpa bukti. Jadi, dia menciptakan bukti itu sendiri. Jika kita tidak pergi, izin kita dicabut, dan dia akan semakin mengawasi kita."

"Jika kita pergi dan tidak membawa kacangnya, kita dicurigai. Jika kita pergi dan membawa kacangnya... kita mengaku. Kita secara sukarela menyerahkan barang bukti kejahatan yang bahkan belum kita lakukan. Ini bukan lagi sekadar misi kuliner, Li. Ini adalah pemberontakan kecil"

Li merosot ke dinding, tampak siap untuk meleleh menjadi genangan keputusasaan.

"Jadi... kita batalkan saja?"

"Tidak," kata Han Qiu tegas, percikan api pemberontak di matanya menyala kembali.

"Kita lakukan persis seperti yang dia harapkan. Kita akan pergi. Kita akan membeli kacang tanah terbaik yang bisa dibeli dengan uang receh. Dan kita akan menyerahkannya padanya dengan senyum paling manis. Kita akan memainkan permainannya, tapi dengan aturan kita."

Malam itu, kamar sempit mereka berubah menjadi markas operasi klandestin yang menyedihkan. Langkah pertama: penyamaran. Mereka tidak bisa keluar dengan seragam istana. Itu sama saja dengan menempelkan papan di punggung mereka yang bertuliskan, "Kami Pelayan Rendahan yang Melanggar Aturan, Silakan Tangkap Kami."

"Kita butuh pakaian sipil," kata Han Qiu sambil mengobrak-abrik peti kayu kecil milik Xiao Lu.

"Aku tidak punya," rintih Li. "Semua pakaianku adalah pemberian istana. Bahkan pakaian dalamku punya stempel naga kecil di sudutnya."

Han Qiu berhenti dan menatapnya. "Kau bercanda."

"Aku berharap begitu," isak Li.

Rencana B harus dijalankan: pencurian skala kecil. Dengan keahlian menyelinap yang lahir dari keputusasaan, mereka merayap ke ruang cuci pakaian. Di sana, di tumpukan kain yang menunggu untuk diperbaiki, tergeletak harta karun mereka: dua set pakaian katun kasar milik para pekerja kasar yang membangun paviliun baru. Warnanya cokelat lumpur, teksturnya seperti amplas, dan baunya seperti campuran keringat, debu, dan kekalahan.

"Sempurna," bisik Han Qiu penuh kemenangan, memegang sehelai baju yang kaku. "Ini seragam resmi untuk kaum 'yang-penting-tidak-telanjang'."

Langkah kedua, dan yang paling krusial: anggaran. Han Qiu kembali ke peti Xiao Lu. Setelah mengeluarkan beberapa jepit rambut dan sepotong batu giok palsu, ia merogoh ke dasar peti dan menekan sebuah papan kayu yang sedikit longgar. Di bawahnya, tersembunyi dalam sebuah kantong kain kecil, adalah seluruh tabungan hidup Xiao Lu.

Han Qiu menuangkan isinya ke telapak tangannya. Beberapa koin tembaga dan dua keping perak kecil berdentang menyedihkan di keheningan kamar. Sebuah harta karun yang akan membuat pengemis paling melarat sekalipun tertawa kasihan.

Li mengintip dari balik bahu Han Qiu. "Cukup?"

"Cukup untuk apa? Membeli tiga tusuk manisan haw atau menyewa seekor keledai yang kakinya pincang selama lima menit?" Han Qiu mendesah, menatap koin-koin itu. Otak modernnya yang terbiasa dengan kartu kredit dan transfer digital kini harus melakukan kalkulasi mental yang brutal. "Baiklah, prioritas. Nomor satu: satu kati kacang tanah kualitas terbaik untuk Sang Ratu Iblis. Itu mungkin akan menghabiskan sebagian besar keping perak ini."

"Lalu sate?" tanya Li cemas. "Bumbu kacangmu?"

"Prioritas nomor dua," kata Han Qiu, jarinya memisahkan koin-koin tembaga. "Kita beli kacang tanah kualitas lebih rendah untuk kita sendiri. Sisanya untuk bawang, jahe, ketumbar, dan... jika dewa kuliner berbaik hati, sedikit cabai kering." Ia berhenti, menatap sisa koin yang menyedihkan. "Terasi... mungkin harus kita lupakan dulu."

Rencana telah dibuat. Pakaian lusuh terlipat rapi di sudut, menunggu dikenakan. Kantong uang yang menyedihkan itu diikat erat di pinggang Han Qiu. Mereka menunggu. Jam demi jam merayap pelan, setiap suara patroli penjaga di kejauhan membuat jantung mereka meloncat ke tenggorokan.

Akhirnya, lonceng malam terakhir berdentang, menandakan istana telah resmi tertidur. Inilah saatnya.

Dengan gerakan yang sudah mereka latih dalam pikiran ratusan kali, mereka berganti pakaian. Han Qiu merasa aneh mengenakan kain kasar itu, tetapi ada sedikit rasa kebebasan di dalamnya. Li, sebaliknya, tampak seperti seorang pangeran yang dipaksa mengenakan karung goni. Ia terus-menerus menarik-narik kerahnya yang gatal.

"Aku terlihat konyol," bisiknya.

"Kau terlihat seperti rakyat jelata. Itu intinya," balas Han Qiu. "Sekarang, berhentilah mengeluh dan ikuti aku. Jangan bersuara."

Mereka menyelinap keluar dari barak pelayan, bergerak seperti dua bayangan di antara pilar-pilar dan taman-taman yang diselimuti kegelapan. Udara malam terasa dingin dan berat, membawa aroma bunga melati yang bercampur dengan bau samar arang dari dapur yang telah padam. Mereka tidak menuju gerbang utama, tetapi ke arah yang berlawanan, menuju sektor paling terpencil di kompleks istana—sayap servis utara.

Menurut seorang pelayan tua, di sanalah terdapat sebuah pintu kecil yang digunakan puluhan tahun lalu untuk membuang sampah sayuran, sebelum Chef Gao mendeklarasikan bahwa sampah pun harus murni dan dibuang melalui rute yang telah disterilkan. Pintu itu seharusnya sudah lama tidak digunakan dan dilupakan.

Mereka menemukannya di balik tumpukan karung-karung goni kosong, tersembunyi di sebuah ceruk dinding. Pintu itu terbuat dari kayu tebal yang sudah lapuk, dengan palang besi berkarat yang menguncinya dari dalam.

Jantung Han Qiu berdebar kencang. Inilah gerbang menuju kebebasan sesaat mereka, sekaligus gerbang menuju tiang gantungan.

Li meraih palang besi itu dengan tangan gemetar. Karatnya terasa dingin dan kasar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong.

Tidak bergerak.

Ia mendorong lagi, mengerahkan seluruh kekuatannya yang tidak seberapa. Otot-ototnya yang kurus menegang. Palang itu bergeming.

"Sial," desis Li, napasnya terengah-engah. "Macet."

"Biar aku coba," kata Han Qiu tidak sabar. Mereka bertukar posisi. Han Qiu menempatkan kedua tangannya di palang itu, merasakan tekstur logam yang kasar. Ia tidak hanya mendorong. Ia menggunakan berat badannya, menggeser momentumnya seperti yang biasa ia lakukan saat mengulek bumbu yang keras. Ia menghentakkan seluruh tenaganya dalam satu gerakan.

KRAAAK!

Suara kayu tua yang pecah dan logam yang bergeser terdengar begitu keras di keheningan malam, seolah seseorang baru saja mematahkan tulang raksasa.

Keduanya membeku, mata mereka melotot ngeri. Mereka menahan napas, telinga mereka menajam, menunggu suara langkah kaki yang berlari, teriakan penjaga, atau bunyi pedang yang dihunus.

Satu detik. Dua detik. Sepuluh detik.

Hanya suara jangkrik dan desau angin malam.

Dengan napas lega yang tertahan, Han Qiu perlahan menarik pintu kayu itu. Pintu itu mengerang memilukan, seperti hantu tua yang enggan diganggu. Sebuah celah terbuka, mengembuskan udara malam dari dunia luar—bau tanah basah, bau selokan yang jauh, bau kebebasan yang kotor dan jujur.

Mereka saling berpandangan sejenak, sebuah pengakuan tanpa kata atas kegilaan yang akan mereka lakukan. Lalu, Han Qiu mengangguk dan melangkah melewati ambang pintu lebih dulu.

Tepat saat ujung sandal jerami Li menyentuh tanah lembap di luar tembok istana, sebuah suara serak memecah keheningan malam dari kegelapan di dekat mereka.

Sebuah batuk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!