NovelToon NovelToon
Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Kaya Raya / Beda Usia / Selingkuh / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Rizal segera membawa Hayu yang masih sedikit shock kembali ke dalam mobil.

Ia tidak peduli lagi dengan ‘adegan mogok’ yang ia ciptakan.

Ia memeluk Hayu erat di kursi penumpang, membiarkan istrinya menangis hingga tenang.

Setelah Hayu kembali bernapas normal dan memori buruk itu berangsur mereda, Rizal memutuskan untuk membatalkan semua rencana bulan madu dan kembali ke rumah mereka di Jakarta.

“Kita pulang, Sayang. Bulan madu ini kita tunda dulu,” ucap Rizal tegas, menyeka sisa air mata di pipi Hayu.

“Aku tidak akan membiarkanmu berada di Bali tanpa perlindungan maksimal lagi.”

Hayu mengangguk lemah, namun tatapannya kini dipenuhi dengan kejelasan.

“Aku ingin pulang, Mas. Aku ingin pulang ke rumah kita.”

Rizal segera menghubungi Riska, membatalkan semua pemesanan vila di Uluwatu dan mengatur penerbangan jet pribadi secepat mungkin.

Dalam hitungan jam, mereka sudah berada di udara, terbang kembali ke Jakarta.

Setibanya di rumah mereka yang megah di Jakarta, yang kini terasa seperti benteng pertahanan, Rizal dan Hayu disambut oleh suasana yang tegang.

Tim keamanan baru yang disiapkan Riska sudah berjaga di setiap sudut.

Mereka baru saja duduk di sofa ruang tamu tempat mereka menemukan tiket Bali dua hari lalu ketika bel rumah berbunyi.

Dua petugas kepolisian dari Polda Metro Jaya, yang telah berkoordinasi dengan Kompol Dharma di Bali, datang menemui mereka.

“Selamat datang kembali, Bapak Rizal dan Ibu Hayu,” sapa salah satu petugas, Inspektur Bima, dengan wajah serius.

“Terima kasih, Pak Bima. Bagaimana perkembangan kasus Tiyas?” tanya Rizal tanpa basa-basi.

Inspektur Bima menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

“Kami sudah memeriksa rumah kontrakan Tiyas di pinggiran kota, Pak. Setelah kejadian penyerangan di Bali, Tiyas segera melarikan diri.

Tempat itu kosong, dan dia sepertinya sudah merencanakan pelarian ini dengan baik. Kami tidak menemukan jejaknya.”

Wajah Rizal mengeras. “Melarikan diri?!”

“Ya, Pak. Kami menemukan bukti transfer dana terakhirnya, namun setelah itu, semua akun bank dan kartu perdana yang ia gunakan sudah tidak aktif. Jaringan preman yang disewanya juga menghilang, tapi kami terus melacaknya. Berkas kasus percobaan pembunuhan sudah kami proses, dan Tiyas kini berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO).”

Hayu menggenggam erat lengan Rizal, rasa takut kembali menyelimutinya. Tiyas ada di luar sana.

Inspektur Bima melanjutkan, memberikan peringatan tegas.

“Karena Tiyas tahu Bapak dan Ibu adalah saksi kunci dan korban utama, dan dia berstatus buronan, kami mohon Bapak Rizal untuk berhati-hati dan jangan lengah sedikit pun. Dia sudah bertindak ekstrem sekali, dan dia tidak akan segan mengulanginya. Kami akan menempatkan patroli rutin di sekitar rumah ini, tapi pengamanan pribadi dari Bapak harus tetap ditingkatkan.”

Rizal mengangguk, rahangnya mengeras karena amarah.

“Baik, Pak. Saya mengerti. Terima kasih atas informasinya. Saya akan memastikan rumah ini seaman mungkin.”

Setelah polisi pergi, suasana di ruang tamu menjadi hening, diselimuti ketakutan yang dingin.

Rizal menoleh ke arah Hayu, menariknya dalam pelukan erat. Ia mencium puncak kepala istrinya.

“Dengar, Sayang. Aku tahu kamu takut. Tapi kamu sudah mengingat semuanya sekarang. Kita berdua sudah tahu kebenarannya. Dia tidak akan bisa menyentuhmu lagi,” bisik Rizal.

“Kita tidak jadi bulan madu, tapi kita akan memperkuat benteng ini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sisiku. Tidak akan pernah.”

Hayu memeluk pinggang suaminya, mencari kekuatan.

Ia selamat dari jurang dan selamat dari amnesia. Kini, ia harus menghadapi bayangan mantan istri suaminya yang siap menerkam.

“Aku percaya padamu, Mas,” bisik Hayu.

Rizal membawa Hayu masuk ke kamar utama. Meskipun rasa lelah dan ketegangan masih terasa, ia memastikan Hayu mendapatkan istirahat yang nyaman di ranjang mereka.

“Tidurlah, Sayang. Besok pagi, semuanya akan terasa lebih baik,” bisik Rizal, mengecup kening

Hayu sebelum membiarkan istrinya terlelap.

Ia tahu, malam itu akan menjadi malam yang panjang dan penuh kewaspadaan.

Ia tidak tidur nyenyak, berulang kali memeriksa kunci, memastikan jendela tertutup rapat, dan sesekali melihat monitor keamanan yang terhubung dengan pos penjagaan. Namun, melihat Hayu terlelap dengan tenang di sisinya memberikan kedamaian yang ia butuhkan.

Keesokan paginya, matahari sudah bersinar cerah, tetapi suasana di kamar masih temaram.

Hayu membuka matanya.

Ia terdiam sejenak, menatap langit-langit, membiarkan ingatannya bekerja. Ia tidak lagi bingung.

Ia mengingat Bali, ia mengingat serangan, dan yang paling penting, ia mengingat bahwa ia adalah Hayu Deswita, istri sah dari Rizal Firdaus.

Ia menoleh ke samping. Rizal masih tertidur pulas, kelelahan setelah dua hari yang mengerikan dan malam yang penuh kekhawatiran.

Punggung tangannya masih bertengger di pinggang Hayu, menunjukkan proteksi bahkan dalam tidurnya.

Hayu tersenyum tipis. Ia perlahan bangkit dari ranjang, berusaha sangat hati-hati agar tidak membangunkan suaminya.

Meskipun tubuhnya masih terasa sedikit sakit akibat benturan, tekadnya lebih kuat.

Ia tahu tugasnya sekarang adalah mengembalikan ketenangan dan kebahagiaan di rumah ini.

Dengan langkah perlahan, Hayu berjalan menuju dapur.

Suasana dapur yang bersih dan familiar itu segera membangkitkan memorinya. Ia meraih celemek dan mulai bekerja.

Tangannya bergerak dengan lincah, memotong bawang, menumis, dan meracik bumbu.

Aroma-aroma yang familiar segera menyeruak, mengisi udara pagi di rumah mewah itu.

Ia membuat masakan andalan yang menjadi saksi cinta mereka: Nasi Goreng Kampung dan tidak lupa, ia meracik bubuk kopi terbaik untuk suaminya.

Di kamar utama, sekitar pukul tujuh pagi, Rizal membuka matanya.

Ia segera meraba tempat tidur di sampingnya. Kosong.

Jantungnya langsung berdebar kencang. Ia panik, mengingat peringatan polisi tadi malam.

“Hayu!” panggil Rizal, setengah berteriak.

Namun, kepanikan itu segera mereda ketika hidungnya menangkap aroma yang sangat khas dan tidak asing.

Aroma bumbu tumis yang pedas, bercampur dengan wangi kopi hitam yang baru diseduh.

Aroma itu adalah aroma rumah, aroma kebahagiaan yang ia rindukan setelah insiden buruk itu.

Rizal langsung bangkit dari tempat tidurnya, mengabaikan rasa sakit di punggungnya.

Ia berjalan cepat menuju dapur, didorong oleh kerinduan akan aroma yang menenangkan itu.

Ia menemukan Hayu berdiri di depan kompor, memegang spatula, rambutnya diikat rapi.

Meskipun masih terlihat sedikit pucat, Hayu terlihat cantik dan bersemangat, disinari oleh cahaya pagi yang masuk melalui jendela dapur.

Hayu menoleh ke belakang saat mendengar langkah kaki Rizal.

Ia tersenyum, senyum tipis namun tulus yang membuat hati Rizal meleleh.

“Selamat pagi, Mas,” sapa Hayu lembut.

“Maaf tidak membangunkanmu. Aku buatkan Nasi Goreng Kampung, dan kopimu sudah siap.”

Rizal terdiam di ambang pintu dapur.

Ia menatap istrinya, Ratu-nya, yang berdiri di sana, memasak untuknya setelah semua yang mereka lalui.

Hayu tidak lagi linglung. Ia sudah kembali, dan itu adalah pemandangan paling indah yang pernah dilihat Rizal.

Rizal berjalan mendekat, memeluk Hayu dari belakang.

Ia menyandarkan kepalanya di bahu Hayu, menghirup aroma masakan yang bercampur dengan aroma tubuh istrinya.

“Syukurlah,” bisik Rizal, suaranya serak. “Aku pikir kamu pergi.”

“Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Mas,” jawab Hayu, membalikkan badan dan memeluk suaminya.

“Ini rumahku. Dan aku berjanji, aku akan membuatkanmu Cumi Asam Manis lagi setelah kita sarapan.”

Rizal mencium kening Hayu lama, penuh rasa cinta dan syukur.

Babak baru, meskipun penuh ancaman, telah dimulai. Dan kali ini, mereka siap menghadapinya bersama-sama.

“Mas, maaf,” bisik Hayu, melepaskan pelukan Rizal dengan wajah sedikit cemas, matanya memandang berkeliling dapur.

“Sepertinya bahan makanan sudah habis. Hanya ada sisa bumbu dan beras saja. Kita harus belanja lagi untuk stok beberapa hari ke depan.”

Rizal mengangguk, ia mengerti. Mereka pergi terburu-buru ke Bali, dan setelah insiden itu, ia belum sempat memikirkan urusan rumah tangga.

Ia melepaskan pelukannya, merogoh saku celana tidurnya, dan mengeluarkan dompet tipisnya.

Ia mengambil selembar kartu hitam tanpa batas, yang biasa ia gunakan.

“Ini, Sayang,” ucap Rizal, menyodorkan Black Card itu ke tangan Hayu.

“Nanti kamu bisa gunakan ini untuk semua keperluanmu dan rumah.”

Hayu terkejut melihat kartu itu, yang melambangkan kekayaan tak terbatas suaminya, dan ia segera menggelengkan kepalanya.

“Tidak usah, Mas. Aku punya uang tunai sedikit. Aku bisa membuat daftar belanjaan dan aku akan mencatat semua pengeluaran. Kartu ini terlalu berlebihan untuk belanja dapur,” tolak Hayu halus, merasa sungkan.

Rizal tersenyum lembut, menangkap tangan Hayu dan meletakkan kartu itu di telapak tangannya.

“Tidak ada kata berlebihan untuk istriku, Sayang. Kartu ini bukan hanya untuk belanja dapur. Ini untuk pegangan kamu. Aku tidak ingin kamu merasa kesulitan sedikit pun. Ambil saja. Nanti siang, aku akan menemanimu. Kita akan belanja kebutuhan rumah bersama, dan kamu bisa tunjukkan padaku semua yang kamu butuhkan. Anggap saja ini mini date kita yang tertunda.”

Hayu menatap kartu hitam itu, lalu menatap mata Rizal yang penuh ketulusan. Akhirnya, ia menganggukkan kepalanya, menerima kartu itu.

“Baik, Mas. Terima kasih,” ucap Hayu.

Rizal mencium kening Hayu sekali lagi.

“Sekarang, tugasmu adalah membuatkan aku sarapan terbaik di dunia. Aku lapar sekali.

Hayu tersenyum lebar. “Siap, Komandan!”

Hayu kembali ke kompor dengan semangat baru, memastikan Nasi Goreng Kampung sudah matang sempurna.

Setelah itu, ia mengambil piring kecil dan menyajikan Cumi Asam Manis yang tersisa di dalam panci, masakan yang mengingatkannya pada momen ia menerima lamaran Rizal.

Tidak lama kemudian, meja makan sudah tersaji. Nasi Goreng Kampung yang hangat, aroma gurih yang menggoda, dan tentu saja, Cumi Asam Manis.

Rizal dan Hayu duduk bersebelahan, menikmati sarapan pertama mereka yang damai di rumah setelah semua drama.

“Ini benar-benar surga, Sayang. Tidak ada masakan bintang lima yang bisa menandingi Nasi Goreng buatanmu,” puji Rizal, menyuapkan cumi asam manis ke mulutnya.

Hayu tertawa bahagia. “Habiskan, Mas. Setelah ini, kita siapkan daftar belanjaan untuk mini date kita.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!