Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GRAND OPENING - TIDAK ADA PELANGGAN
Senin pagi, jam tujuh tepat, BUMI BERSIH LAUNDRY resmi buka.
Fajar, Reza, dan Pak Ganes berdiri di depan ruko dengan senyum lebar—meski di balik senyum itu ada nervous yang luar biasa besar.
Mereka sudah bersiap sejak jam lima pagi. Membersihkan ruko lagi meski sudah bersih. Menyalakan mesin cuci untuk test apakah berfungsi dengan baik. Menyiapkan deterjen dan supplies. Menyiapkan nota dan timbangan. Menyiapkan mental.
"Siap?" tanya Reza sambil menatap Fajar dan Pak Ganes.
"Siap!" jawab mereka berdua serempak.
Jam tujuh lewat. Tidak ada pelanggan.
"Masih pagi sih," kata Pak Ganes sambil duduk di kursi plastik di depan ruko. "Mahasiswa biasanya bangun siang."
Jam delapan lewat. Tidak ada pelanggan.
Beberapa warga gang lewat, melirik banner BUMI BERSIH dengan tatapan penasaran tapi tidak ada yang berhenti atau masuk.
Jam sembilan lewat. Tidak ada pelanggan.
Fajar mulai gelisah. Kakinya bergoyang-goyang tidak tenang. Tangannya mengepal dan membuka berkali-kali.
Jam sepuluh lewat. Tidak ada pelanggan.
Reza yang biasanya santai mulai terlihat khawatir. Ia bolak-balik masuk keluar ruko, mengecek apakah ada yang salah dengan banner atau poster harga.
Jam sebelas lewat. Tidak ada pelanggan.
Fajar berdiri, berjalan mondar-mandir di depan ruko dengan wajah semakin pucat. Dadanya sesak. Kepalanya pusing. Perutnya mual—bukan karena lapar, tapi karena panic.
Tidak ada pelanggan. Sama sekali tidak ada. Kenapa? Kenapa tidak ada yang datang? Apa harga kami terlalu mahal? Apa lokasi kami terlalu terpencil? Apa orang-orang tidak percaya?
Jam dua belas siang.
Masih tidak ada pelanggan.
Pak Ganes membeli nasi bungkus murah untuk makan siang bertiga. Mereka makan dengan diam—tidak ada percakapan, hanya suara kunyahan yang pelan.
Jam satu siang.
Jam dua siang.
Jam tiga siang.
Tidak ada pelanggan.
Fajar mulai merasa dunianya runtuh. Tangannya gemetar memegang gelas air putih. Matanya menatap kosong ke jalan gang yang sepi.
Kami gagal. Di hari pertama, kami sudah gagal. Tidak ada yang percaya. Tidak ada yang mau datang. Semua pengorbanan kami... sia-sia.
Jam empat sore, Fajar akhirnya tidak kuat lagi. Ia masuk ke dalam ruko, duduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding, memeluk lututnya, menundukkan kepalanya.
Reza mengikutinya masuk. Ia duduk di samping Fajar, tidak berkata apa-apa—hanya duduk menemani.
Di luar, Pak Ganes masih duduk sendirian di depan ruko, menatap jalan gang dengan tatapan penuh harap—meski hatinya juga mulai khawatir.
"Reza..." suara Fajar sangat pelan, hampir berbisik. "Kita... kita gagal ya?"
Reza tidak menjawab. Ia tidak tahu harus bilang apa.
"Aku... aku udah korbankan segalanya," lanjut Fajar dengan suara bergetar. "Empat setengah bulan makan sekali sehari. Kerja sampai capek banget setiap hari. Kirim uang ke rumah dikurangin. Ibu sedih. Rani nunggu aku sukses. Dan sekarang... sekarang hari pertama aja udah nggak ada pelanggan sama sekali."
Air matanya jatuh perlahan.
"Mungkin... mungkin orang-orang yang nolak kami dulu benar. Mungkin kami memang nggak bonafid. Mungkin kami memang nggak pantas bisnis. Mungkin—"
"Jar," potong Reza dengan suara tegas tapi lembut. "Stop. Jangan bicara begitu."
Fajar mengangkat kepalanya, menatap Reza dengan mata basah.
"Ini baru hari pertama," kata Reza sambil menatap mata Fajar lurus. "Hari pertama, Bro. Nggak ada bisnis yang langsung rame di hari pertama. Bahkan Apple Store pun waktu pertama kali buka butuh waktu untuk orang tahu dan datang."
"Tapi—"
"Dengar," potong Reza lagi, "aku paham kamu frustrasi. Aku juga frustrasi. Tapi frustrasi itu wajar. Yang nggak wajar adalah kalau kita menyerah setelah cuma satu hari. Kita udah sejauh ini, Jar. Kita udah invest waktu, tenaga, uang, harapan. Masa mau menyerah cuma gara-gara hari pertama sepi?"
Fajar terdiam. Masih menunduk.
Pak Ganes tiba-tiba masuk, duduk di hadapan Fajar dan Reza dengan senyum bijaksana—senyum yang sangat menenangkan.
"Nak Fajar," katanya dengan suara sangat lembut penuh wisdom, "Bapak mau cerita sesuatu."
Fajar mengangkat kepalanya, menatap Pak Ganes.
"Dulu, waktu Bapak pertama kali buka warung kecil, hari pertama juga sepi. Nggak ada pembeli sama sekali. Bapak dan istri duduk dari pagi sampai sore, nunggu pembeli. Nggak ada. Hari kedua, cuma satu pembeli—beli permen lima ratus rupiah. Hari ketiga, dua pembeli. Hari keempat, masih sepi."
Ia tersenyum mengingat kenangan itu.
"Bapak waktu itu juga hampir menyerah. Tapi istri Bapak bilang: 'Pak, pohon besar juga mulai dari benih kecil yang nggak kelihatan. Waktu benih ditanam, nggak langsung jadi pohon. Butuh waktu. Butuh kesabaran. Butuh perawatan terus-menerus. Tapi kalau kita sabar dan terus rawat, suatu hari nanti benih itu akan jadi pohon besar yang buahnya bisa dinikmati banyak orang.'"
Pak Ganes menatap Fajar dan Reza dengan tatapan penuh kasih sayang seorang ayah.
"Kalian baru menanam benih hari ini. Jangan harap langsung jadi pohon besok. Bersabarlah. Terus rawat. Terus usaha. Terus berdoa. Dan percaya—suatu hari nanti, benih kalian akan jadi pohon besar."
Keheningan.
Kata-kata Pak Ganes meresap perlahan ke hati Fajar dan Reza.
Fajar mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam. Ia menatap Pak Ganes dan Reza dengan tatapan yang lebih tenang.
"Bapak benar," katanya akhirnya dengan suara yang masih bergetar tapi sudah lebih stabil. "Maafin aku yang terlalu cepat panik. Ini baru hari pertama. Kita masih punya waktu. Kita masih bisa usaha lebih keras."
"Nah gitu dong," Pak Ganes tersenyum lebar sambil menepuk bahu Fajar dengan lembut. "Anak muda harus punya mental baja. Sekali jatuh, langsung bangun. Jangan lama-lama rebahan."
Reza ikut tersenyum. "Besok kita geber marketing. Kita sebar flyer ke semua kos-kosan. Kita samperin mahasiswa langsung. Kita tawarkan promo khusus untuk pelanggan pertama. Deal?"
"Deal," jawab Fajar sambil mengangguk tegas.
Mereka bertiga berdiri, kembali ke depan ruko, duduk di kursi plastik dengan tekad yang diperbarui.
Matahari mulai terbenam. Langit berwarna jingga kemerahan yang indah.
Dan tiba-tiba—
"Permisi..."
Suara perempuan yang lembut terdengar dari ujung gang.
Fajar, Reza, dan Pak Ganes langsung berdiri dengan cepat—nyaris menabrak kursi.
Seorang gadis—Amara—berjalan mendekat dengan senyum lembut. Di tangannya, ada kantong plastik besar berisi pakaian kotor.
"Kalian... buka laundry ya?" tanyanya.
"I-IYA!" jawab Fajar terlalu keras karena terlalu excited.
Amara terkekeh melihat reaksi mereka yang berlebihan. "Aku mau laundry ini. Berapa kilogram ya?"
Pak Ganes langsung mengambil timbangan dengan tangan gemetar karena excited. "Mari, Mbak. Kami timbang dulu."
Tiga kilogram.
"Lima belas ribu, Mbak," kata Fajar dengan senyum lebar—senyum paling lebar dalam hidupnya.
Amara menyerahkan uang. "Kapan jadi?"
"Besok sore sudah bisa diambil, Mbak," jawab Pak Ganes sambil mencatat dengan sangat hati-hati di nota—nota pertama mereka.
"Oke. Terima kasih," Amara tersenyum, lalu berjalan pergi.
Setelah Amara menghilang di ujung gang, Fajar, Reza, dan Pak Ganes menatap satu sama lain.
Kemudian—
"YEEEESSS!!!" mereka berteriak bersama sambil melompat-lompat seperti anak kecil.
"PELANGGAN PERTAMA!"
"AKHIRNYA!"
"INI AWAL DARI SEGALANYA!"
Mereka berpelukan, tertawa, bahkan menangis—campur aduk emosi yang meledak sekaligus.
Lima belas ribu rupiah.
Uang paling berharga yang pernah mereka terima.
Bukan karena nominalnya.
Tapi karena artinya: BUMI BERSIH LAUNDRY sudah mulai.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.