Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Tamu Tak Diundang
Tebing itu menjulang seperti dinding dewa kuno dengan tinggi tiga ratus meter, tegak lurus, dan hawa dinginnya mematikan. Es di permukaannya tipis, namun tajam seperti serpihan kaca. Bagi manusia biasa, memanjatnya tanpa tali adalah tindakan yang bahkan orang gila pun enggan lakukan.
Namun bagi Ling Tian saat ini…
Itu terasa seperti siksaan yang justru menenangkan.
Crack.
Ujung jarinya mencengkeram celah batu sempit. Kulitnya pecah, darah merembes, kukunya retak. Sakitnya menusuk sampai ke tulang. Dan anehnya, setiap kali rasa perih itu naik, ada hawa hangat yang merembet keluar dari perutnya. Hawa hangat yang menutup luka-luka itu sebelum sempat benar-benar mengganggu.
“Hei, Ikan Terbang,” kata Ling Tian sambil terengah, napasnya memutih di udara. “Kau bilang meridianku mampat. Lalu energi ini lewat mana? Lewat saluran got?”
Tuan Kun terbang lambat di sampingnya—bersinar kecil, transparan, dan tampak sangat tidak peduli. Ia menguap.
“Manusia,” gumamnya. “Sedikit-sedikit meridian. Sedikit-sedikit parit. Dengarkan baik-baik, Bocah. Tubuh manusia itu seperti ladang pertanian yang mengandalkan parit-parit kecil untuk dialiri Qi. Kalau mampet, ya mati.”
Ia menyentuh dada Ling Tian dengan sirip mungilnya.
“Sedangkan kau… bukan ladang. Kau itu Samudra. Kau tidak membutuhkan parit kecil itu. Kau punya Gerbang.”
Ling Tian menarik tubuhnya setengah meter lebih tinggi, otot punggungnya tegang, tapi jauh lebih kuat dari kemarin.
“Gerbang?” ulangnya.
“Yap. Di dalam dantian-mu tidak ada pusaran Qi atau inti biasa. Yang ada di sana adalah Gerbang Energi Purba. Selama ini gerbang itu tertutup rapat, jadi energi apa pun yang masuk langsung bocor seperti ember bolong. Itulah mengapa manusia bodoh mengira kau sampah tak berbakat.”
Senyum jahat muncul di wajah ikan bercahaya itu.
“Tapi setelah kau memakan serigala tadi… pintunyaulai terbuka. Masih kecil memang dan hanya seujung kuku. Tapi cukup untuk menampung energinya. Ingat, jangan arahkan apa pun. Kau bakal meledak. Biarkan energi itu mengalir liar. Tubuhmu tahu apa yang harus dilakukan.”
Ling Tian menarik napas panjang. Ia mencoba. Ia berhenti mengarahkan, berhenti mengontrol, berhenti memaksa.
Dan seketika… energi itu terasa seperti lautan hangat yang mengalir liar di seluruh tubuhnya.
“Kalau aku makan lebih banyak?” tanya Ling Tian, mata berkilat nakal. “Gerbang itu bakal terbuka lebih lebar?”
“Tentu saja.” Pipi Kunpeng menggelembung sebal. “Selama kau tidak nekat memakan Naga Langit besok sore, ya.”
Pagi hari, Alun-alun Desa Fuyun
Suasana desa lebih riuh dari biasanya. Lentera merah tergantung di sepanjang jalan, berayun pelan ditiup angin dingin. Salju di alun-alun disapu bersih, yang menyapu bahkan tidak merasa jari-jarinya sudah membiru.
Hari ini, masa depan desa dipertaruhkan.
Di tengah alun-alun, duduk seorang pemuda dengan jubah biru muda yang terlalu bersih untuk tempat sesederhana ini. Berbahan sutra halus dengan bordir perak berbentuk pedang yang membelah awan. Setiap inci tubuhnya seakan ingin berteriak bahwa ia berasal dari dunia yang jauh lebih tinggi.
Utusan Sekte Pedang Langit. Li Yanzhi.
Matanya setengah tertutup, seakan bosan, dan malas menyembunyikannya.
“Hanya ini?” gumamnya setelah memeriksa dua puluh anak desa. “Spirit Root tingkat rendah pun jarang. Desa ini benar-benar miskin.”
Kepala Desa Li berdiri di sampingnya dengan membungkuk sangat rendah, hampir jatuh.
“M-masih ada satu, Tuan Utusan. Cucu saya—Li Wei. Dia… yang terbaik di desa.”
Li Wei, bocah gemuk sombong yang dari kecil hobi melempar batu ke arah Ling Tian, maju dengan langkah yang terlalu percaya diri. Baju barunya jelas kekecilan, perutnya hampir meledak dari balik kain bajunya.
Ia meletakkan tangannya pada kristal pengukur bakat.
Wuuung…
Cahaya kuning redup muncul… lalu berubah menjadi oranye tipis.
Mata Li Yanzhi sedikit terbuka.
“Spirit Root elemen Tanah tingkat rendah-menengah. Tidak luar biasa, tapi memenuhi syarat untuk memasuki murid luar.”
Wajah Kepala Desa Li seketika cerah.
“Syukur… syukur… Tuan Utusan, terima kasih!”
Kerumunan warga berbisik penuh kegembiraan.
“Hama pembawa sial itu sudah mati semalam!”
“Benar! Udara desa lebih segar tanpa dia!”
Mereka tertawa. Sebuah tawa yang dipaksakan, seperti tawa orang yang merasa aman setelah membuang sesuatu yang membuat mereka takut.
Hingga sebuah suara memotong semuanya.
Suara itu tidak keras. Namun jelas, dingin, dan menusuk.
“Ya… udaranya memang segar.”
Suasana mendadak hening.
“Tapi baunya sedikit amis. Seperti… bau kemunafikan.”
Semua orang menoleh ke sumber suara yakni di gerbang desa.
Sosok itu berdiri sendirian.
Pakaiannya hanya kain goni compang-camping dan penuh darah kering. Rambutnya acak-acakan, tubuhnya kotor, pucat, seakan baru bangkit dari kubur.
Tapi matanya…
Mata itu tampak hidup. Berwarna hitam pekat, dengan penuh tawa kecil yang tidak bisa mereka pahami seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang sangat lucu… dan sangat berbahaya.
“Ling… Ling Tian…?” Paman Zhang tersedak. “K-kau masih hidup?!” lanjutnya.
Ling Tian tidak menjawab. Ia hanya berjalan masuk, langkahnya santai, ritmenya tenang. Di tangan kanannya, sesuatu diseret. Sesuatu yang berat.
Saat dia berhenti di tengah alun-alun, dia melepaskannya.
BRUK.
Itu kepala serigala.
Dan bukan sembarang serigala.
Frostwind Wolf Alpha.
Bertubuh besar seperti ember air dan mata yang masih terbelalak, dengan bulu yang dipenuhi kristal es.
Li Yanzhi yang tadinya bosan, kini menegakkan punggungnya. Tatapannya tajam, tidak percaya.
Frostwind Wolf? Apa dibunuh… oleh bocah ini?
Ling Tian mengangkat wajahnya, menyeringai ceria seperti biasa—senyum badut desa yang dulu mereka kenal.
“Maaf telat, Kepala Desa,” katanya ringan. “Tadi di jalan pulang aku tersandung anjing nakal ini. Lumayan keras kepalanya. Butuh waktu untuk membunuhnya pakai gigi.”
Kerumunan bergidik. Beberapa warga mundur dengan refleks.
Ling Tian lalu menatap Li Yanzhi dan mengangkat alisnya.
“Kalau si Gendut yang hobinya makan ubi itu boleh ikut tes… masa aku tidak boleh?”