NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayah

Bus Antar Lintas Sumatra kembali berjalan terseok, merayap seperti kerbau tua yang dipaksa mendaki pegunungan Andalas. Jalan berbelok-belok, menanjak dan menurun, melewati lembah hijau dan arus sungai deras yang bergemuruh berkejaran dengan waktu. Setiap tikungan membuat badan bus bergetar, seperti tergelincir di tepi jurang kecil yang ditutupi ilalang.

Walaupun ekor Raga bisulan dihajar besi kursi, pesona alam Lintas Sumatra tetap menggoda. Gunung-gunung berdiri angkuh, gunung berbalut kabut. Ladang hijau terbentang permadani Tuhan. Di sela-sela rasa pegal yang menyiksa, ia mengagumi ciptaan-Nya, memegang erat amanah Ibu: pulang dan lihat kondisi Ayah.

Raga dilahirkan di sebuah nagari di bawah awan, menuruni jalan berkelok mengitari danau bening yang pantulannya seindah cermin langit. Nagari kecil sederhana, tapi dari tanahnya lahir para sastrawan, guru, ulama, dan datuk. Ayah termasuk salah satunya.

Ayah, seorang ulama pendidik dan datuk, menjadi tempat orang-orang kampung mengadu pilu: janda yang diceraikan suami,

ladang warisan di gadaikan mamak yang kerjanya bermain koa di lapau,

orang tua yang kehilangan harapan,

anak muda kehilangan arah.

Beliau lulusan pesantren tua di Sumatra, tapi tidak pernah memilih merantau jauh mengembangkan ilmu.“Ilmu itu, Ga,” kata Ayah suatu malam ketika ia masih kecil, “tidak selalu harus dibawa pergi. Kadang kampungmu sendiri yang sedang haus.”

Karena itu Ayah mengajar ngaji di surau suku, menjadi penengah setiap perselisihan kecil, dan memberi petuah yang lembut tapi menusuk. Kesederhanaannya membuat beliau disegani. Bahkan Raga sendiri, sebagai anak tertua, tak pernah berani membantahnya.

 

Setelah 48 jam perjalanan yang melelahkan, bus akhirnya menuruni lembah terakhir sebelum nagari Raga. Jalanan menurun curam, dan bus menahan rem kuat-kuat—ngiiiiikk… ngook… ngiiikk!—hingga bau kampas terbakar menusuk hidung. Jantung Raga ikut menahan napas. Lalu bruk, bus berhenti tepat di bawah gapura kecil bertuliskan:

“Selamat Datang di Kampung Tua.”

Sebelum Raga sempat turun, terdengar teriakan yang hanya dimiliki satu orang di dunia.

“Bujang! Lah sampai ”

(Anakku! Kamu sudah sampai!)

Ibu berlari mendekat, kain sarungnya berkibar diterpa angin sore memeluknya erat—erat seseorang baru kembali dari maut. Tubuhnya hangat, berbau dapur, berpeluh, tapi menenangkan.

“Alhamdulillah… alhamdulillah…” Ibu mencium pipinya berkali-kali. “Aduh, nak, Ibu takut betul kalau kamu tak sempat.”

Raga mengernyit pelan. “Tak sempat apa, Bu?”

“Sudah… mari pulang dulu. Nanti Ibu ceritakan.”

Nada itu—gembira tapi gemetar—menggelitik rasa was-was di hati Raga.

 

Hari-hari Raga di kampung penuh dengan rutinitas yang sama: menunggui Ayah. Kondisinya memang membaik perlahan. Panas tubuhnya tidak lagi melonjak tinggi. Ia sudah bisa mengambil wudu sendiri di sumur kayu berjenjang di belakang dapur.

Ayah tersenyum ketika menuntunnya turun. "Tak perlu dituntun seperti orang renta, Ga.”

“Biar hati Raga tenang, Yah.”

“Hati mu sedari kecil mudah cemas.” Ayah terkekeh pelan

Namun di balik canda itu, ada sesuatu yang berbeda saat Ayah menyentuhkan air ke wajahnya, mendadak meringis seperti disentuh api.

“Ayah kenapa?” tanyanya heran

“Airnya… panas,”

Raga memasukkan tangannya. Dingin seperti biasa.“Ini dingin sekali, Yah.”

Laki laki paruh baya itu tidak menjawab. Iris matanya kosong, seakan menatap sesuatu jauh di dasar sumur.

Namun yang paling membuat Raga gelisah adalah igauan ayah setiap malam.

Suara parau itu bangkit dari tenggorokan yang gemetar:

“Maafkan… maafkan Ayah…”

“Jangan dulu pergi…”

“Raga… Raga…”

Nama itu—nama Raga sendiri—diucapkan berulang-ulang panggilan putus asa, terkadang seperti peringatan.

Suatu malam, ia duduk di sisi tempat tidur Ayah, menggenggam tangannya.

“Ayah mau bilang apa sama Raga?” bisiknya.

Ayah masih memejam. Nafasnya tersendat. membuka mata perlahan.

“Ga…” suaranya sangat serak. “Jangan tinggalkan Ibu.”

“Raga tak akan ke mana, Yah. Raga di sini.”

Ayah menggeleng pelan “Nanti… kalau Ayah tak ada…”

“Yah, jangan bicara begitu.”

Namun Ayah bersikeras.

“Ada satu hal… yang belum Ayah selesaikan. Ada sesuatu yang… ikut pulang.” Nafasnya tiba-tiba tersengal, kata-katanya buyar.

“Ayah?” Raga memegang bahunya panik.

Tapi dia kembali terpejam—terhisap ke dalam lingkaran mimpi yang tak bisa dipecahkan.

Pagi harinya, sambil membantu Ibu memotong bawang di dapur, Raga memberanikan diri bertanya.

“Bu… sebenarnya Ayah sakit apa?”

Pisau dalam tangan Ibu berhenti. Matanya menatapnya lamat dalam, penuh beban yang tak diucapkan.

“Jangan tanya dulu, Nak.”

Raga mendesah. “Ibu dari kemarin selalu bilang begitu.”

Ibu menelan ludah.

“Ayahmu bukan hanya demam. Ada… yang mengganggunya.”

“Gangguan apa, Bu?”

Ibu menutup pintu dapur perlahan. Suaranya turun menjadi bisikan.

“Di ladang… Ayahmu melihat sesuatu.”

Sebuah hawa dingin turun begitu cepat hingga membuat tulang pemuda itu bergetar.

\=\=\=

Beberapa hari berlalu. Ayah sudah bisa berjalan sendiri, meski pelan. Tapi igauan malamnya semakin sering. Dan setiap kali, nama Raga selalu disebut.

laki laki itu belum sempat menengok kebun durian, sawah, atau kerabat, ia seperti diikat pada rumah kayu ini— ada sesuatu yang menahannya.

Sore itu, Raga membawa teh panas ke kamar. Ayah sedang duduk bersandar di kasur tipisnya, ditemani cahaya jingga matahari sore.

“Ga,” panggil Ayah dengan suara yang lebih berat dari biasanya, “duduklah.”

Raga duduk menatap nya lamat,

“Ayah ingin berbicara tentang sesuatu selama ini Ayah simpan.”

Ia menahan napas yang tersekat di kerongkongannya.“Apa itu, Yah?”

Angin sore berembus dari jendela kamar. Pintu kayu berderit pelan. Cahaya matahari meredup, seolah ikut mendengarkan.

Laki laki tua itu menghela napas panjang.

“Penyakit Ayah… bukan sekadar demam.”

Ayah memegang pergelangan tangannya—erat sekali, sangat dingin terasa menembus kulit.

“Ga… ada sesuatu yang mengikuti ayah dari ladang.”

Hening.

Bening.

Mencekam.

Raga menelan ludah yang pahit.

“Sesuatu apa, Yah…?”

Ayah memejamkan mata, wajahnya menegang. " Dia memanggil-manggilmu.”

Dan seketik, laki laki merasa darahnya berhenti mengalir.

l

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!