Akibat ditikung saudara kembarnya, Darren memilih keluar dari rumah mewah orang tuanya, melepas semua fasilitas termasuk nama keluarganya.
Suatu hari salah seorang pelanggan bengkelnya datang, bermaksud menjodohkan Darren dengan salah satu putrinya, dan tanpa pikir panjang, Darren menerimanya.
Sayangnya Darren harus menelan kecewa karena sang istri kabur meninggalkannya.
Bagaimana nasib pernikahan Darren selanjutnya?
Apakah dia akan membatalkan pernikahannya dan mencari pengantin penganti?
Temukan jawabannya hanya di sini
"Dikira Montir Ternyata Sultan" di karya Moms TZ, bukan yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Semangat baru
Ajeng duduk termenung di depan televisi yang menyala, tetapi pikirannya melayang jauh. Beban di hatinya terasa semakin berat saat menyadari betapa banyak orang yang telah ia kecewakan. Kabar dari Lia, sahabatnya, bagai petir di siang bolong—bapaknya pingsan setelah mengetahui dirinya kabur di hari pernikahannya.
Namun, keputusan hatinya sudah bulat. Tidak mungkin ia kembali dan melanjutkan sandiwara ini. "Maafkan Ajeng, Bapak, Ibu," bisiknya lirih, air mata mulai membasahi pipinya. "Ajeng tidak bisa memaksakan diri untuk pernikahan ini."
Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan wajah kecewa Darren yang terus menghantuinya. "Maafkan aku, Mas Darren," ucapnya dalam hati. "Tapi aku tidak ingin membangun rumah tangga di atas kebohongan."
Seminggu sudah Ajeng tinggal di rumah Panji, tetapi selama itu, dia hanya melihat Panji tiga kali saja dengan alasan tidak ingin membuat orang lain curiga dengan keberadaan Ajeng di rumahnya.
Malam itu, Panji dan Ajeng duduk berdua di ruang tamu, sambil menikmati teh hangat dan camilan yang dibawa Panji.
"Gimana, Sayang? Apa kamu sudah mulai betah tinggal di sini?" tanya Panji sesaat setelah menyeruput teh-nya.
"Lumayan, sih, Mas. Kadang aku merasa bosan, pengin keluar. Tapi, aku juga khawatir," ucap Ajeng.
"Apa yang kamu khawatirkan?" tanya Panji sambil menatap Ajeng dengan penuh perhatian.
"Gimana kalau orang tuaku nyariin ke sini? Atau tetangga curiga?" jawab Ajeng dengan nada khawatir.
"Kamu tenang saja. Aku sudah pikirkan semuanya," kata Panji sambil tersenyum menenangkan.
"Soal orangtuamu, aku yakin mereka nggak akan langsung nyari ke sini. Mereka pasti mikir kamu ada di tempat yang jauh lebih aman."
"Dan mengenai tetangga, kita bisa atur jadwal keluar masuk kamu. Gimana?" lanjutnya menambahkan.
"Maksudnya?" tanya Ajeng dengan wajah bingung
"Misalnya, kamu keluar rumah pas jam-jam sibuk, pas tetangga lagi pada kerja atau anak-anak sekolah. Atau kita bisa pura-pura menjadi saudara yang lagi liburan di sini. Gimana?" usul Panji.
"Hmm, boleh juga. Tapi tetep aja aku takut, Mas," jawab Ajeng sambil menggigit bibirnya.
"Sudah, nggak usah dipikirin. Yang penting sekarang, kamu aman dan nyaman di sini. Oke?" kata Panji sambil membelai rambut Ajeng.
"Oke deh. Makasih ya, Mas. Kamu emang yang terbaik," ucap Ajeng seraya memeluk pinggang Panji dan merebahkan kepalanya di bahunya.
*
*
*
Seminggu berlalu sejak Ajeng menghilang dari pernikahannya, Darren kembali ke kost-annya. Sebenarnya, Pak Haris, ayah mertua Darren, melarangnya kembali ke kost-an karena bagaimanapun Darren adalah menantunya dan menjadi tanggung jawabnya.
"Nak Darren, apa tidak sebaiknya tinggal di sini saja? Kami ini kan, orang tuamu juga," tutur Pak Haris pada Darren.
"Maaf, Pak. Tapi saya tidak mungkin tinggal di sini, apalagi Ajeng entah berada di mana sekarang," jawab Darren beralasan.
"Lagipula saya perlu waktu sendiri untuk memikirkan beberapa hal." Darren menambahkan.
Pak Haris menatap Darren dengan penuh kasih sayang, "Maafkan bapak ya, Nak. Bapak hanya ingin yang terbaik, tapi malah kacau begini jadinya."
Darren tersenyum tipis, "Semua sudah terjadi, Pak. Tidak perlu disesali. Pasti ada hikmah di balik semua ini."
Setelah berpamitan, Darren meninggalkan rumah mertuanya dengan langkah yang tenang. Dia bertekad untuk mengubur semua kenangan pahit dan tidak ingin larut dalam kesedihan. Baginya, semua yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidupnya, dan dia telah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi ke depannya.
Darren tahu dia tidak boleh menyerah. Dia harus bangkit dari keterpurukan ini dan membuktikan bahwa dia bisa sukses meskipun telah mengalami banyak cobaan.
Dengan tekad yang bulat, Darren mulai menata kembali hidupnya. Dia bekerja lebih keras dari sebelumnya, belajar dari pengalamannya, dan berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi. Dia tidak ingin memikirkan hal-hal yang tidak penting; dia akan fokus pada pekerjaannya dan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggannya.
Malam harinya, sepulang dari bengkel, Darren duduk di depan kostnya sambil menikmati secangkir kopi panas. Dia memandangi langit malam yang bertaburan bintang, merenungkan tentang perjalanan hidupnya. Hidup ini memang penuh dengan kejutan—kadang pahit, kadang manis. Namun, dia harus terus melangkah, meraih mimpi-mimpinya.
Bengkelnya adalah awal dari kebangkitannya. Dia berniat untuk menjadikan bengkelnya bukan hanya sekadar tempat memperbaiki motor yang rusak, tetapi juga tempat di mana dia bisa berbagi ilmu dan memberikan solusi bagi para pelanggannya.
"Semangat, Ren! Kamu pasti bisa," bisiknya pada diri sendiri, sambil tersenyum kecil. Dengan semangat yang baru, Darren merasa siap menghadapi hari-hari mendatang dengan penuh harapan.
Keesokan harinya, sebelum matahari bergerak naik, Darren sudah bersiap untuk berangkat ke bengkel. Bu Erni, pemilik kost, melihatnya dan langsung mendekat untuk menyapa. "Wah, rajin banget nih, Mas Darren. Sudah mau berangkat ke bengkel, ya?"
Darren tersenyum dan mengangguk sopan. "Iya, Bu. Kalau nggak buka, nanti saya nggak bisa bayar kost," sahut Darren berkelakar.
Bu Erni terkekeh mendengar jawaban Darren. "Mas Darren bisa aja. Ibu turut prihatin dengan apa yang menimpa Mas Darren. Semoga nanti mendapat jodoh yang lebih baik," katanya sambil tersenyum menghibur.
"Nggak cantik nggak apa-apa, yang penting bisa diajak susah," sambungnya sambil menepuk pundak Darren dengan lembut.
"Aamiin, terima kasih, Bu. Doanya sangat berarti buat saya," jawab Darren sambil tersenyum tulus. Kemudian pamit berangkat ke bengkel.
Sesampainya di sana, dia segera membuka rolling door dan mulai membersihkan ruangan. Dengan cekatan, dia mempersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk hari itu. Dia siap menghadapi pekerjaan dengan penuh semangat.
.
.
.
Mohon kerjasamanya untuk tidak menumpuk bab, kalaupun terpaksa atau sengaja, lebih baik membacanya pelan tapi pasti karena tidak ada yang mengejar juga atau memburu-buru, TOLONG JANGAN LOMPAT BAB....itu sungguh tidak menghargai usaha author dan membuat down. 😭😭😭
Di sini author sudah nenek-nenek ya gaes... jadi gampang baper 🥹🤗
Terima kasih atas pengertiannya 🙏
itu menurutku doang lho yaaa, ...🏃♀️🏃♀️🏃♀️