Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Mobil hitam melaju perlahan memasuki jalan setapak yang dikelilingi deretan pohon oak tua. Dedaunan yang rimbun membentuk kanopi alami di atas jalan, menyaring cahaya matahari sore hingga menciptakan pola-pola cahaya yang menari-nari di kap mobil. Indira duduk di kursi pengemudi dengan tangan yang mencengkeram setir sedikit lebih kuat dari biasanya. Napasnya teratur, tapi dadanya terasa sesak dengan emosi yang sudah ia tahan sejak memutuskan untuk melakukan perjalanan ini.
Empat tahun. Empat tahun lamanya ia menghindari tempat ini.
Di kursi samping, tas ransel berisi beberapa pakaian dan barang pribadinya tergeletak... simbol dari keputusan besar yang telah ia buat semalam. Setelah berbulan-bulan tinggal di apartemen, setelah perceraian, setelah membangun kembali hidupnya dari reruntuhan pernikahan yang gagal, Indira akhirnya siap. Siap untuk pulang. Siap untuk menghadapi semua hantu masa lalu yang masih berkeliaran di setiap sudut mansion keluarga Zamora.
Gerbang besi besar dengan ornamen huruf 'Z' yang elegan di tengahnya muncul di hadapan. Gerbang itu masih sama seperti yang Indira ingat... kokoh, megah, sedikit intimidatif namun juga mengundang. Ia menekan tombol remote yang sudah lama tidak ia sentuh, dan gerbang itu perlahan terbuka dengan bunyi mendengung yang familiar, seperti menyambut anak yang sudah lama pergi.
Mansion Zamora berdiri dengan gagah di ujung jalan setapak, tiga lantai dengan arsitektur kolonial Belanda yang telah direnovasi dengan sentuhan modern. Cat putih gading di dindingnya masih terlihat bersih, jendela-jendela besar dengan bingkai kayu jati mengkilap di bawah sinar matahari. Taman di depan rumah tertata rapi... bunga-bunga mawar merah, putih, dan kuning bermekaran di bedeng-bedeng yang dirawat dengan telaten. Air mancur berbentuk malaikat di tengah taman masih menyemburkan air dengan gemericik yang menenangkan.
Semuanya masih sama. Seolah waktu berhenti di tempat ini.
Indira mematikan mesin mobil tapi tidak langsung keluar. Ia hanya duduk di sana, menatap rumah yang menyimpan jutaan kenangan... kenangan indah yang sekarang terasa menyakitkan justru karena keindahannya. Tangannya gemetar sedikit ketika ia mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melangkah keluar.
"Kamu bisa melakukan ini, Dira," bisiknya pada diri sendiri. "Ini rumahmu. Ini selalu rumahmu."
Dengan napas panjang, ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
Udara di sini berbeda dari di kota... lebih segar, lebih hijau, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga yang mekar. Indira berdiri sejenak, membiarkan semua sensasi itu membanjirinya. Kemudian ia mendengar suara yang membuatnya hampir menangis di tempat.
"Nona Indira!"
Pintu depan mansion terbuka lebar, dan dari sana berlari seorang wanita paruh baya dengan apron putih masih melekat di pinggangnya. Bi Marni, pembantu yang sudah bekerja di keluarga Zamora sejak Indira masih kecil berlari dengan mata berkaca-kaca. Di belakangnya, para pelayan lain mulai berdatangan. Pak Joko si supir yang sudah pensiun tapi masih tinggal di rumah pembantu di belakang mansion, Mbak Siti yang menangani taman, Om Bambang yang menjaga keamanan, dan beberapa wajah lain yang Indira kenali... wajah-wajah yang telah menjadi bagian dari hidupnya.
"Nona!" Bi Marni memeluk Indira dengan erat begitu sampai di hadapannya. Wanita berusia lima puluh tahun itu menangis tanpa malu-malu, tubuhnya bergetar. "Akhirnya Nona pulang! Akhirnya!"
Indira memeluknya balik, dan di pelukan itu, bendungan yang ia bangun dengan susah payah akhirnya jebol. Air matanya mengalir, membasahi bahu Bi Marni. Ini bukan tangisan kesedihan, tapi tangisan lega... Lega karena akhirnya pulang, lega karena disambut dengan kehangatan yang ia sangat rindukan.
"Maafkan saya, Bi," bisik Indira dengan suara bergetar. "Maafkan saya sudah lama tidak pulang."
"Tidak, tidak, Nona," Bi Marni melepaskan pelukan dan mengusap wajah Indira dengan kedua tangannya, seperti yang biasa ia lakukan saat Indira masih kecil dan menangis karena terjatuh. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kami mengerti. Kami semua mengerti."
Pak Joko menghampiri dengan senyum lebar di wajahnya yang keriput. "Selamat datang pulang, Nona Indira. Rumah ini terasa kosong tanpa Nona."
"Terima kasih, Pak Joko," Indira tersenyum di balik air matanya. "Bapak masih sehat?"
"Alhamdulillah sehat, Nona. Masih bisa berjalan-jalan keliling taman setiap pagi," jawabnya sambil tertawa.
Satu per satu pelayan yang lain menghampiri, menyalami, memeluk, dan menyambut Indira dengan kehangatan yang tulus. Tidak ada formalitas yang kaku di sini. Keluarga Zamora memang terkenal memperlakukan para pelayan mereka bukan sebagai bawahan, tapi sebagai bagian dari keluarga. Kakek Indira dulu selalu berkata, "Rumah baru menjadi rumah ketika diisi oleh orang-orang yang saling peduli, bukan karena dinding dan atapnya yang megah."
Prinsip itu dipegang teguh oleh keluarga Zamora hingga generasi Indira. Hasilnya, hampir semua pelayan yang bekerja di mansion ini telah mengabdi puluhan tahun. Bahkan ketika Indira meninggalkan rumah ini empat tahun lalu, ia tetap membayar gaji mereka semua, memastikan mereka merawat rumah seolah keluarga Zamora masih tinggal di sana. Bagi Indira, mereka bukan hanya pelayan... Mereka adalah keluarga yang tersisa setelah ia kehilangan semuanya.
"Bagasi Nona sudah saya ambil," Mbak Siti yang berusia lebih muda berkata sambil mengangkat tas ransel Indira dari mobil. "Saya taruh di kamar Nona yang dulu?"
Indira mengangguk. "Ya, terima kasih, Mbak."
"Nona pasti lapar," Bi Marni langsung merangkul lengan Indira, membimbingnya ke pintu depan. "Saya sudah siapkan masakan kesukaan Nona. Sup iga dan perkedel kentang, seperti dulu."
Indira tertawa yang bercampur tangis. "Bi Marni selalu tahu."
Mereka memasuki mansion, dan begitu melangkah masuk, Indira merasakan dirinya terlempar kembali ke masa lalu. Lobby dengan tangga melingkar besar di tengahnya masih sama. Lantai marmer putih mengkilap bersih. Lampu kristal besar yang menjadi kebanggaan neneknya masih tergantung megah di langit-langit tinggi. Di dinding, deretan foto keluarga terpajang dalam bingkai emas—foto pernikahan kakek dan neneknya, foto orangtua Indira di hari pernikahan mereka, foto Indira kecil sedang digendong ayahnya, foto keluarga lengkap saat Indira berusia sepuluh tahun.
Indira berhenti di depan foto terakhir. Di sana, ia berdiri di tengah-tengah, diapit oleh ayah dan ibunya yang tersenyum bahagia. Di belakang mereka, kakek dan nenek berdiri dengan tangan menyentuh bahu anak mereka. Semua wajah di foto itu memancarkan kebahagiaan yang begitu nyata.
Setahun setelah foto itu diambil, orangtua Indira meninggal dalam kecelakaan mobil yang tragis di jalan tol.
"Nona..." suara Bi Marni yang lembut menyadarkannya. "Nona ingin beristirahat dulu atau langsung makan?"
Indira menarik napas panjang, mengalihkan pandangannya dari foto itu. "Saya ingin berkeliling dulu, Bi. Sudah lama sekali saya tidak melihat rumah ini."
Bi Marni mengangguk dengan pengertian. "Baik, Nona. Kalau butuh sesuatu, saya ada di dapur."
Indira berjalan perlahan menyusuri koridor di lantai satu. Kakinya membawanya ke ruang keluarga... ruangan besar dengan sofa-sofa nyaman dan televisi besar di dinding. Ini adalah tempat di mana keluarganya dulu berkumpul setiap malam. Ayahnya akan membaca koran di sofa tunggal di pojok, ibunya merajut sambil menonton drama Korea, sementara Indira mengerjakan PR di meja dengan bantuan kakeknya yang sabar mengajarinya matematika. Neneknya akan masuk dengan nampan berisi camilan.... kue-kue buatan sendiri yang hangat dan teh manis.
Indira bisa hampir mendengar suara tawa mereka, suara televisi yang menyala, suara kakeknya yang dengan sabar menjelaskan rumus perkalian untuk yang kesekian kalinya karena Indira tidak mengerti.
Ia melangkah ke ruang makan. Meja panjang dari kayu jati dengan dua belas kursi di sekelilingnya masih berdiri dengan megah. Dulu, meja ini selalu ramai saat makan malam... piring-piring berisi masakan lezat, percakapan yang hangat, kadang perdebatan kecil antara ayah dan kakek tentang bisnis yang selalu berakhir dengan tawa. Sekarang, meja itu kosong, terlalu besar untuk satu orang.
Indira menyentuh permukaan meja, jarinya menelusuri serat kayunya. Kenangan demi kenangan menyeruak... hari ulang tahunnya yang kesepuluh ketika mereka merayakannya dengan kue cokelat besar, lebaran pertamanya setelah orangtuanya meninggal ketika nenek berusaha keras membuat semuanya terasa normal meski mereka semua masih berduka.
Napasnya mulai tercekat. Ia harus terus bergerak sebelum air matanya jatuh lagi.
Tangga menuju lantai dua terasa lebih panjang dari yang Indira ingat. Setiap anak tangga adalah perjuangan melawan gravitasi emosional yang menariknya ke bawah. Tapi ia terus naik, karena ia tahu apa yang harus ia lakukan. Apa yang harus ia hadapi.
Koridor lantai dua masih sama. Foto-foto lain tergantung di dinding, foto masa kecilnya, foto kakek dan nenek di berbagai tempat wisata, foto perjalanan keluarga ke Bali. Indira melewati kamarnya sendiri... pintu kayu dengan ukiran bunga mawar yang dulu ia pilih sendiri tapi ia belum siap masuk ke sana. Belum.
Ia berhenti di depan pintu pertama di ujung koridor. Pintu kayu jati dengan pegangan kuningan yang sudah agak kusam. Tangannya gemetar ketika ia meraih pegangan itu, dan untuk beberapa detik, ia hanya berdiri di sana, mencoba mengumpulkan keberanian.
Akhirnya, ia memutar pegangan dan mendorong pintu.
Kamar orangtuanya terbuka di hadapannya, dan dunia Indira seketika berhenti berputar.
Semuanya masih di tempatnya. Tempat tidur besar dengan sprei berwarna krem masih terbentang rapi. Meja rias ibunya dengan cermin besar masih di sudut, sisir dan parfum-parfum yang sudah tidak terpakai lagi tersusun di atasnya. Rak buku ayahnya masih penuh dengan buku-buku bisnis dan novel-novel klasik yang ia sukai. Di dinding, foto pernikahan orangtuanya tergantung besar... ayah dengan setelan jas putih, ibu dengan gaun pengantin yang indah, keduanya tersenyum dengan bahagia yang begitu tulus.
Indira melangkah masuk dengan perlahan, seolah melangkah di tanah suci. Aromanya masih sama... Campuran parfum ibunya yang lembut dan cologne ayahnya yang maskulin, meski sudah sangat samar setelah bertahun-tahun. Atau mungkin itu hanya ingatannya yang bermain-main.
Ia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menyentuh sprei dengan lembut. "Maaf, Papa, Mama," bisiknya, suaranya pecah. "Maaf Indira baru bisa pulang sekarang. Maaf Indira butuh waktu lama."
Air mata mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Semua kesedihan yang ia pendam selama bertahun-tahun... kehilangan orangtuanya di usia yang terlalu muda, harus tumbuh tanpa pelukan ibu dan nasihat ayah, melewati semua milestone hidupnya tanpa kehadiran mereka, semuanya meledak dalam tangisan yang dalam.
"Indira sudah bercerai, Ma," lanjutnya di antara isak tangis. " Mas Rangga... dia tidak seperti yang Indira kira. Mama benar waktu itu. Mama bilang Indira terlalu muda untuk menikah, tapi Indira keras kepala. Seandainya Mama dan Papa masih ada, seandainya..."
Ia tahu ini tidak rasional. Orangtuanya meninggal ketika ia berusia sebelas tahun, jauh sebelum ia mengenal Rangga. Tapi entah kenapa, ia merasa perlu memberitahu mereka, perlu meminta maaf karena membuat keputusan buruk, perlu dimaafkan meski ia tahu orangtuanya pasti sudah memaafkannya dari mana pun mereka berada.
Indira berbaring di tempat tidur itu, memeluk bantal ibunya, dan menangis hingga tidak ada lagi air mata yang tersisa. Di luar jendela, matahari sore mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan warna jingga dan merah muda.
Entah berapa lama ia berbaring di sana, tapi ketika ia akhirnya bangkit, ada sesuatu yang terasa berbeda. Dadanya masih sesak, matanya masih bengkak, tapi ada perasaan lega yang aneh... seperti beban yang sudah lama ia pikul akhirnya sedikit terangkat.
Ia berdiri, mengusap wajahnya, dan mencium bantal ibunya sekali lagi sebelum meletakkannya kembali dengan rapi. "Indira akan lebih sering berkunjung, Pa, Ma. Janji."
Melangkah keluar dari kamar itu terasa sedikit lebih ringan. Tapi Indira belum selesai. Ada satu tempat lagi yang harus ia kunjungi.
Kamar kakek dan neneknya berada di ujung koridor yang lain. Pintu kayunya lebih gelap, lebih tua, dengan ukiran klasik yang rumit. Indira ingat kakeknya selalu bangga dengan ukiran itu, karya tangan pengrajin terbaik dari Jepara.
Ia membuka pintu, dan kembali, waktu seolah berhenti.
Kamar ini lebih besar dari kamar orangtuanya. Tempat tidur king size dengan kelambu putih yang elegan masih berdiri megah. Meja kerja kakeknya dengan tumpukan buku dan dokumen yang sudah dirapikan tersusun di pojok. Kursi goyang favorit neneknya masih ada di dekat jendela, tempat wanita itu dulu suka duduk sambil merajut dan menikmati pemandangan taman.
Indira berjalan ke kursi goyang itu dan duduk. Kursi itu berderit pelan, bunyi familiar yang dulu sering ia dengar setiap sore. Ia mengayunkan kursi perlahan, menutup matanya, dan membiarkan kenangan mengalir.
Setelah orangtuanya meninggal, kakek dan neneknya lah yang menjadi segalanya. Kakek mengajarinya tentang bisnis, tentang bagaimana mengelola Zamora Company yang kelak akan ia warisi. Nenek mengajarinya tentang kekuatan, tentang bagaimana menjadi wanita yang mandiri tapi tetap lembut. Mereka yang memeluknya saat ia menangis di malam hari merindukan Papa dan Mama. Mereka yang datang ke setiap acara sekolahnya, yang bangga dengan setiap pencapaiannya, yang mendukung setiap keputusannya.
Kakek meninggal enam bulan sebelum Indira menikah dengan Rangga. Serangan jantung mendadak yang membawanya pergi dalam tidur. Nenek menyusul tiga bulan kemudian, para dokter bilang karena penyakit jantung juga, tapi Indira tahu yang sebenarnya. Nenek meninggal karena patah hati, karena tidak kuat hidup tanpa pria yang telah menemaninya selama lima puluh tahun.
Indira meninggalkan mansion ini setelah nenek meninggal. Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak rasa sakit. Ia pikir dengan menikahi Rangga dan pindah, ia bisa melarikan diri dari kesedihan. Ia salah. Kesedihan tidak bisa ditinggalkan.... ia harus dihadapi, dipeluk, dan dibiarkan berlalu dengan sendirinya.
"Opa, Oma," bisiknya di ruangan yang sunyi itu. "Indira pulang. Indira akhirnya pulang."
Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini lebih tenang, lebih lembut. Ini bukan tangisan yang penuh penyesalan, tapi tangisan pelepasan... melepaskan semua rasa sakit, semua penghindaran, semua ketakutan.
"Terima kasih sudah membesarkan Indira," lanjutnya. "Terima kasih sudah menjadi Papa dan Mama buat Indira setelah mereka pergi. Indira janji akan membuat kalian bangga. Zamora Company akan terus berkembang. Nama keluarga kita akan tetap jaya. Indira janji."
Ia duduk di kursi goyang itu untuk waktu yang lama, mengayun perlahan sambil menatap taman dari jendela. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, meninggalkan langit berwarna ungu gelap dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan.
Ketika ia akhirnya berdiri dan meninggalkan kamar itu, ada kedamaian di hatinya. Bukan berarti rasa sakitnya hilang... tidak, ia tahu itu akan selalu ada, bagian permanen dari dirinya. Tapi sekarang, ia bisa hidup dengan rasa sakit itu. Ia bisa menghormati kenangan tanpa tenggelam di dalamnya.
Indira berjalan ke kamarnya sendiri... kamar yang sudah ia tinggalkan selama empat tahun. Mbak Siti sudah meletakkan tasnya di atas tempat tidur. Kamarnya masih sama, dinding biru muda, rak buku yang penuh, meja belajar di dekat jendela, dan foto-foto masa kecilnya terpajang di berbagai sudut.
Ia membuka lemari dan menemukan pakaian-pakaiannya yang lama masih tergantung rapi... Bi Marni pasti yang merawatnya. Ia tersenyum, terharu dengan dedikasi orang-orang di rumah ini.
Ada ketukan di pintu. "Nona, makan malam sudah siap," suara Bi Marni terdengar lembut dari luar.
"Sebentar, Bi," jawab Indira. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang bengkak karena menangis, dan menatap pantulannya di cermin.
Wanita yang menatap kembali sudah berbeda dari yang meninggalkan rumah ini empat tahun lalu. Lebih tua, lebih kuat, lebih bijaksana. Tapi juga lebih rapuh dalam cara yang membuatnya lebih manusiawi.
"Selamat datang kembali, Indira," bisiknya pada pantulan dirinya.
Ia turun ke ruang makan, di mana Bi Marni dan beberapa pelayan lain sudah menunggunya dengan meja yang penuh dengan masakan. Sup iga yang mengepul, perkedel kentang yang masih hangat, sayur asem, ikan goreng, dan sambal terasi... semua makanan kesukaannya.
"Bi Marni, ini terlalu banyak," protes Indira sambil tertawa.
"Tidak ada yang terlalu banyak untuk Nona yang sudah pulang," jawab Bi Marni dengan senyum lebar. "Ayo makan, Nona. Nona pasti lapar."
Indira duduk di kepala meja... tempat yang dulu selalu ditempati kakeknya. Untuk sesaat, ia merasakan keanehan duduk di sana. Tapi kemudian ia menyadari... ini sekarang tempatnya. Ia kepala keluarga Zamora sekarang. Ia yang harus melanjutkan warisan yang ditinggalkan.
"Bi, duduk sini," Indira mengisyaratkan kursi di sampingnya. "Kalian semua, duduk. Ayo makan bersama."
Bi Marni terkejut. "Tapi Nona..."
"Tidak ada tapi-tapian," Indira tersenyum. "Kalian keluarga saya. Kita makan bersama seperti dulu, ingat? Seperti yang selalu Opa lakukan."
Air mata berkaca di mata Bi Marni, tapi kali ini adalah air mata bahagia. Para pelayan yang lain perlahan duduk di sekitar meja, masing-masing dengan senyum yang menghangatkan hati.
Mereka makan bersama malam itu, berbagi cerita dan tawa, mengisi mansion yang sudah terlalu lama sunyi dengan kehidupan kembali. Dan untuk pertama kalinya dalam empat tahun, Indira merasakan sesuatu yang sudah lama ia rindukan.
Ia merasakan dirinya di rumah.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.