Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki yang Tak Pantas Untukmu
Amara mengulang lagi permintaannya dengan rengekan lirih.
"Kak Elias, tolong aku."
Elias sempat melirik sekilas pada Nateya yang berdiri tidak jauh darinya. Pandangan mereka beradu sepersekian detik, tajam, penuh makna, teyapi Elias segera mengalihkan.
Nyonya Cornelia dengan cepat maju, pura-pura panik tetapi sebenarnya penuh perhitungan.
“Elias, jangan biarkan Amara berjalan sendiri. Cepat bawa dia ke kamar, dia bisa pingsan kalau darahnya keluar lagi!” serunya dengan suara lantang.
Tanpa banyak kata, Elias pun menunduk. Ia menggeser tangan Amara ke bahunya, lalu menggendongnya dengan penuh kehati-hatian.
Amara mengalungkan lengannya di leher Elias. Berpura-pura kesakitan, tetapi di bibirnya tersungging senyum penuh kemenangan. Sementara Nyonya Cornelia mengikuti dari belakang.
Nateya terdiam di tempat. Dadanya terasa sesak, denyut perih itu menyerang seakan Seruni yang asli muncul di balik dirinya. Istri yang ditinggalkan begitu saja di depan umum, sementara suaminya dengan terang-terangan memeluk wanita lain.
Namun, ia cepat menegakkan kepalanya. Senyum tipis menghiasi bibirnya, menutupi badai di hatinya.
'Untuk apa kau bersedih demi pria yang bahkan tak tahu menempatkanmu sebagai istri, Seruni?' batinnya tegas.
Dengan langkah anggun, Nateya maju ke tengah ruangan. Suaranya jernih terdengar di antara tamu yang masih terkejut oleh insiden tadi.
“Para tamu sekalian. Acara makan malam sudah selesai. Mohon maaf atas insiden kecil yang terjadi, dan saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Anda semua malam ini.”
Ia menunduk sopan, lalu berbalik mendekati kursi Jenderal Adrian.
“Papa, aku pamit pulang sekarang. Semoga Papa selalu sehat, jangan lupa istirahat yang cukup.”
Jenderal Adrian mengerutkan kening, jelas terkejut.
“Kau tidak menunggu Elias dulu, Seruni?” tanyanya heran.
Nateya tersenyum dingin, matanya menatap lurus.
“Tidak perlu, Pa. Elias pasti masih lama mengurus Amara. Lebih baik aku pulang sekarang bersama anak-anak.”
Ucapan itu membuat beberapa tamu saling pandang, bisik-bisik lirih pun terdengar. Namun Nateya tidak peduli. Ia segera meraih tangan Anelis dan Julian, menggandeng mereka keluar dengan tenang.
Di teras rumah Loji Gedung Kuning, Victor yang sedang duduk sambil menunggu majikannya, langsung berdiri terkejut melihat Nateya.
“Nyonya Seruni? Sudah selesai? Mana Jenderal Elias?” tanyanya cepat.
“Dia masih sibuk merawat Amara yang terluka. Mungkin… dia tidak akan pulang malam ini. Jadi, antar kami pulang sekarang, Victor," perintah Nateya.
Victor tampak ragu, menggeleng cepat.
“Saya tidak bisa meninggalkan Jenderal Elias di sini. Tugas saya adalah tetap mendampingi Beliau.”
Nateya langsung menghentikan langkahnya, menoleh dengan tatapan tajam. Suaranya meninggi penuh ketegasan.
“Victor! Ini sudah malam. Anelis besok harus sekolah, Julian juga sudah mengantuk. Apa kau mau kedua anakku menunggu sampai Papa mereka selesai menemani cinta pertamanya?! Apa kau mau mereka jatuh sakit hanya karena harus menunggu sesuatu yang tidak penting?”
Bentakan itu membuat Victor terdiam kaku. Ia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap lebih lama.
“Baik, Nyonya Seruni, saya mengerti.”
Ia segera membuka pintu mobil, membantu Anelis dan Julian masuk dengan hati-hati. Setelah memastikan keduanya duduk nyaman, Nateya pun ikut masuk, duduk dengan tenang di samping anaknya.
Victor menutup pintu, lalu masuk ke kursi kemudi. Dengan perasaan campur aduk, ia akhirnya menyalakan mesin.
Mobil pun melaju meninggalkan rumah besar itu, membelah malam yang sunyi. Membawa Nateya dan kedua anaknya pulang, sementara Elias tetap tinggal bersama Amara di Gedung Kuning.
Tak terasa, mobil akhirnya berhenti di halaman rumah. Nateya segera turun, lantas membuka pintu belakang untuk membantu Anelis dan Julian keluar.
Victor tampak gugup menunggu perintah, sorot matanya gelisah seperti menimbang-nimbang sesuatu.
“Victor, kau kembali saja ke rumah Gedung Kuning. Temani Jenderal Elias kalau dia ingat pulang. Kalau tidak juga tidak masalah. Yang penting, besok pagi kau ingat mengantar Anelis ke sekolah. Itu lebih penting," pungkas Nateya, mengerti kebimbangan Victor.
Victor menunduk dalam, merasa kalimat itu menusuk, tetapi ia tidak berani membantah.
“Saya mengerti,” ucapnya lirih.
Nateya menggandeng tangan si kembar masuk ke dalam rumah dan mengantar mereka ke kamar. Anelis tampak ragu, tangannya bergerak membuat bahasa isyarat dengan raut wajah cemas.
Nateya menoleh pada Julian.
“Julian, apa yang Anelis katakan?”
Julian menatap ibunya, tampak ragu untuk menjelaskan.
“Anelis bilang… nanti Mama dan Papa jangan bertengkar karena masalah Tante Amara…”
Mata Nateya melembut, ia mengusap rambut Anelis penuh kasih.
“Anakku, tidak perlu khawatir. Mama tidak akan marah. Terserah Papa kalian saja, kalau dia memilih orang lain, biarkan. Mama hanya akan menjaga kalian.”
Setelah itu, Nateya membantu si kembar berganti pakaian menjadi piyama. Ia menyelimuti mereka satu per satu, lalu mencium kening keduanya.
“Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Mimpi yang indah."
Setelah memanggil Bi Warti untuk menjaga si kembar sampai mereka terlelap, Nateya berjalan menuju kamarnya sendiri.
Di dalam kamar, Nateya bergegas melepas gaun malamnya, menggantinya dengan piyama sutra ungu. Ia duduk di depan meja rias, tangannya pelan-pelan membersihkan riasan wajahnya hingga tampak bersih dan alami.
Menatap bayangan Seruni di cermin, Nateya bergumam lirih, seolah berbicara dengan jiwa yang ada di dalam tubuh itu.
“Jangan memikirkan Elias. Dia lelaki yang tak pantas untukmu. Aku juga pernah dikhianati oleh kekasihku sendiri dengan sahabatku. Tapi, aku tidak menangis," ucap Nateya mengingat kisah hidupnya sendiri.
"Kita pantas bahagia, Seruni. Aku akan membuat tubuhmu langsing sebentar lagi, dan saat itu tiba… kau akan mendapat pria lain, pria yang tahu cara menghargaimu.”
Bayangan di cermin seolah menatapnya balik, membuat Nateya tersenyum samar.
Selesai dengan kegiatannya, Nateya bangkit, naik ke ranjang dan merebahkan tubuhnya. Baru saja matanya hendak terpejam, suara ketukan terdengar di pintu kamar.
Tok… tok… tok…
Jantung Nateya berdegup. Suara bariton itu tegas dan terdengar lebih dalam, lebih hati-hati.
“Seruni,” panggil Elias dari balik pintu. “Aku perlu bicara denganmu.”
Nateya terdiam, menatap pintu kamar dengan tatapan yang tak bisa ditebak.