Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ruang keamanan itu dipenuhi suara dengungan halus dari puluhan mesin yang menyala. Deretan monitor berukuran besar menempel rapi memenuhi satu sisi dinding, menampilkan potongan-potongan rekaman dari berbagai sudut gedung. Cahaya kebiruan dari layar-layar itu memantulkan bayangan wajah cemas orang-orang yang baru saja masuk.
Yumna menelan ludah. Udara dingin dari AC bercampur dengan ketegangan dalam dirinya. Kepalanya yang masih sedikit berdenyut akibat pukulan sebelumnya membuatnya harus berkonsentrasi agar tetap fokus.
"Pak, tolong tunjukkan rekaman kamera CCTV lantai enam!" perintah Pak Gunawan dengan suara tegas dan datar seperti biasanya.
Petugas keamanan yang seorang pria berseragam biru navy dengan rambut rapi belah samping, langsung mengangguk. “Siap, Pak.”
Jemari petugas keamanan itu menari cepat di atas keyboard, memindahkan tampilan dari satu kamera ke kamera lainnya. Tak lama kemudian, layar besar di tengah menampilkan area lorong lantai enam.
Novi berdiri mematung. Wajahnya yang tadi penuh percaya diri, kini terlihat pucat. Dia sudah bisa menebak apa yang akan muncul di layar.
"Tolong tunjukan rekaman jam tiga lebih sedikit," kata Pak Gunawan memberi perintah lagi.
“Baik, Pak. Saya putar ulang dari menit kejadian,” ujar petugas keamanan sambil menekan tombol rewind.
Beberapa detik kemudian, rekaman mulai berjalan. Suara kecil dari audio kamera terdengar samar, namun cukup jelas menggambarkan suasana saat itu. Terlihat Yumna yang sedang mengepel lantai. Lalu, Novi lewat sambil memasang wajah tidak suka.
Yumna menahan napas. Dia tahu akan ada adegan ketika tongkat pel itu terlempar.
Dalam rekaman, jelas terlihat Novi menendangkan kakinya ke tongkat pel yang berada di tangan Yumna. Tongkat itu mental ke arah lorong, tepat mengenai kepala kameramen yang lewat.
Petugas keamanan mengulang adegan itu perlahan, memperbesar sudut kamera. Semua terlihat jelas, bahkan ekspresi Novi yang membuang muka setelah menendang tongkat tersebut.
Novi menggigit bibirnya keras-keras. “Itu … itu, bukan aku. Kamera itu salah! Angle-nya menipu!” katanya panik dan suaranya bergetar.
Pak Gunawan hanya menatapnya tajam. “Jangan memperburuk keadaan dengan berbohong.”
Kameramen yang bernama Dodi menatap layar itu dengan wajah merah padam. Dia tampak malu luar biasa karena tadi dia memukul Yumna tanpa memastikan apa yang terjadi sebenarnya.
“Jadi, tadi itu kamu sengaja?” gumam Dodi, wajahnya berkerut kesal.
Novi menoleh cepat. “Bukan! Aku ... aku tidak sengaja. Tadi aku cuma lewat dan—”
“Kamu menendang tongkatnya dengan sengaja,” potong Pak Gunawan dingin. “Sudah jelas di rekaman.”
Sementara itu, Yumna berdiri diam. Kepalanya berdenyut, tetapi rasa puas merayap dalam dadanya ketika melihat kebenaran akhirnya terbukti. Jika tidak ada CCTV, dia mungkin sudah dituduh bersalah dan kehilangan pekerjaan.
Pak Gunawan menyilangkan tangan di dada. “Sudah cukup. Sekarang saya umumkan keputusannya.”
Ruangan mendadak hening. Bahkan suara dari mesin-mesin di luar seperti hilang tertelan suasana tegang.
“Dengan bukti ini,” ujar Pak Gunawan perlahan, “saudara Novi akan diberikan surat peringatan dan dipotong gajinya selama tiga bulan karena membuat keributan, bersikap tidak profesional, dan memfitnah rekan kerja.”
Novi terkejut. “Tiga bulan?! Pak—saya—”
“Saya belum selesai,” potong Pak Gunawan lagi.
Novi langsung diam, meski tangan dan bibirnya bergetar.
“Sementara untuk saudara Dodi,” lanjut Pak Gunawan sambil menatap kameramen itu, “Anda dipotong gaji satu bulan karena sudah memukul Yumna tanpa memastikan kejadian sebelumnya.”
Dodi menunduk dalam-dalam. “Saya … mengerti, Pak. Saya salah.”
Pak Gunawan mengangguk. “Dan untuk Yumna ....”
Napas Yumna terhenti sesaat.
“… akan mendapatkan kompensasi. Sebagai bentuk permintaan maaf atas perlakuan tidak menyenangkan yang diterimanya, juga karena terbukti tidak bersalah.”
Mata Yumna sedikit menghangat. Ini pertama kalinya ada atasan yang benar-benar membelanya sampai tuntas.
“Tolong diingat,” ujar Pak Gunawan, suaranya meninggi sedikit, “jika ke depannya ada tindakan bullying, fitnah, atau kekerasan fisik antar staf, saya tidak akan ragu memecat siapa pun pelakunya. Mengerti?”
Ketiga orang itu mengangguk cepat-cepat, wajah mereka tegang.
“Baik. Kalian boleh kembali bekerja.”
Begitu keluar dari ruangan keamanan, suasana lorong terasa lebih terang daripada tadi. Mungkin karena beban di dada Yumna sedikit terangkat. Namun , angkahnya langsung terhenti ketika melihat seseorang berdiri bersandar di tembok dekat pintu.
Azriel. Pria itu tampak gelisah, tangan di saku celana, kaki kanan mengetuk lantai pelan. Begitu melihat Yumna keluar, ekspresi wajahnya langsung berubah cemas.
“Ada apa, Azriel?” tanya Pak Gunawan yang berjalan paling depan.
Azriel gelagapan. “E—tidak ada apa-apa, Pak. Kebetulan lewat saja.”
“Oh. Bapak kira kamu menunggu saya.” Pak Gunawan mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya ke arah lift.
Yumna ikut berjalan cepat hendak menyusulnya. Dia sama sekali tidak ingin berinteraksi dengan Azriel setelah kejadian itu. Namun, baru beberapa langkah, tangannya ditarik dari belakang.
“Yumna, tunggu.”
Napas Yumna membeku. Dia menggertakkan gigi.
“Lepas!” seru Yumna pelan namun tajam.
Azriel melepasnya perlahan, tapi tatapan matanya tidak berubah. Masih sama seperti dulu, khawatir, lembut, dan membuat hati Yumna terasa rumit.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Azriel. “Aku dengar ada keributan dan kamu—”
“Aku baik-baik saja,” potong Yumna cepat. “Aku bisa jaga diri sendiri.”
“Tapi benjolan di kening kamu ....” Azriel mendekat sedikit, seolah ingin memeriksa.
Yumna langsung mundur setengah langkah. “Sudah, Azriel. Aku tidak butuh bantuanmu.”
Azriel terlihat terluka, tapi dia menahannya. “Kalau ada apa-apa kamu boleh hubungi aku. Apa pun itu.”
Yumna terdiam sepersekian detik. Masih ada sisa-sisa kenangan baik Azriel dalam dirinya, tetapi luka di masa lalu terlalu dalam untuk ditambal begitu saja. Luka yang diberikan kepadanya membuat hubungan mereka tidak bisa seperti dahulu lagi.
“Terima kasih,” kata Yumna singkat. Lalu, berbalik cepat. Dia tidak ingin lama-lama berada di dekat Azriel, karena selalu membuat perasaannya kacau.
Ketika mencapai lantai satu, Yumna langsung menuju ruang kesehatan. Kepalanya mulai berdenyut lagi.
Ruang itu berbau alkohol medis dan salep. Perawat meminta untuk menunggu sebentar, Yumna duduk di ranjang pemeriksaan dan meletakkan es ke keningnya.
Tak sampai satu menit, pintu ruang kesehatan terbuka dengan keras.
“Yumna!”
Arundaru muncul sambil terengah, seolah dia berlari dari ujung gedung ke ujung lain. Wajahnya benar-benar panik.
“Aku dengar kamu terluka.” Dia mendekat cepat.
Yumna mengangkat alisnya. “Mas Arun, kenapa lari-lari begitu?”
“Ya, jelas aku khawatir!” Arundaru memegang kedua sisi wajah Yumna hati-hati. “Tunjukkan.”
Yumna membuka esnya. Keningnya memerah dan sedikit bengkak.
Arundaru mengembuskan napas berat. “Siapa yang berani melakukan ini ke kamu?”
“Sudah, Mas. Sudah diselesaikan,” jawab Yumna pelan.
Tanpa banyak bicara, Arundaru mengambil kotak P3K dan berdiri di hadapan Yumna. “Biar aku yang obatin.”
“Lho, ada perawat—”
“Biar aku.”
Nada suaranya membuat Yumna terdiam. Dengan gerakan pelan dan hati-hati, Arundaru mengoleskan salep untuk memar di keningnya. Sentuhannya ringan tapi penuh perhatian sampai-sampai perawat yang ada di ruangan itu hanya mengamati dengan senyum kecil, seperti memahami sesuatu.
“Aduh ....” Yumna meringis kecil.
“Maaf,” ujar Arundaru cepat. “Sakit, ya? Pelan-pelan, nanti hilang sendiri.”
Setelah selesai, Arundaru menutup kotak P3K itu dan menatap Yumna cukup lama.
“Oya,” katanya tiba-tiba, “mulai besok kamu dipindah tugaskan. Bukan office girl lagi.”
Yumna mengerjap. “Iya, tadi Pak Gunawan bilang suruh aku datang ke ruangannya.”
Arundaru mengangguk senang, seperti ia lebih bahagia daripada Yumna sendiri. “Bagus. Kamu pantas dapat lebih.”
Yumna tersenyum tipis. Ada rasa lega sekaligus bangga mengalir dalam dadanya.
Arundaru menatapnya dalam-dalam. “Nanti malam jangan lupa kita ada janji.”
Yumna mengangguk cepat. “Tentu. Aku ingat.”
Lalu dia menambahkan sambil menyunggingkan senyum jail, “Oke. Aku yang traktir Mas. Ini sebagai perayaan aku naik pangkat. E, ganti jabatan.”
Arundaru terpaku sepersekian detik. Seakan tidak menyangka Yumna akan mengatakan itu. Dia mendengus pelan sambil menyeringai.
“Bukan itu maksudku, tapi ya sudah lah.”
Yumna mengedipkan mata bingung. “Hah? Maksudnya apa?”
Arundaru hanya mengambil tas kerjanya dan berkata pelan, “Nanti kamu tahu.”
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna