Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Nakula dan pertemuan para dewa
Jauh dari cahaya Gunung Meru, di dalam gua hitam yang penuh asap belerang dan aroma darah kuno, Nakula melangkah masuk dengan sorot mata penuh kebencian. Sebagai adik bungsu dari Arjuna, Nakula sudah lama menyimpan bara dendam yang tak pernah padam.
Kini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menjejakkan kaki di wilayah yang dihuni oleh Ras Rakshasa — makhluk-makhluk kegelapan yang dibenci oleh para Dewa.
Di ujung lorong, berdiri sosok tinggi besar dengan kulit kasar dan mata merah menyala: Bayalpada, Rakshasa tua yang telah hidup ribuan tahun.
> Bayalpada (menatap tajam): “Aku mencium aroma dewa... Tapi bukan sembarang dewa. Anak Arka Dewa, bukan?”
> Nakula (dingin, tapi hati-hati): “Benar. Aku datang... bukan sebagai musuh. Tapi sebagai seseorang yang punya tujuan yang sama denganmu: menghancurkan Arjuna.”
Bayalpada menyeringai, memperlihatkan gigi tajamnya.
> Bayalpada: “Dewa datang ke sarang Rakshasa? Menarik. Apa yang membuatmu membuang harga dirimu sejauh ini?”
> Nakula: “Harga diri tak berarti jika dendam masih membara. Arjuna... selama hidupku dia selalu lebih unggul. Lebih dipuja. Dan aku? Selalu jadi bayangannya.”
> Bayalpada: “Kau ingin dia mati.”
> Nakula: “Lebih dari itu. Aku ingin dia hancur. Sekarang dia sedang diasingkan di Bumi, tanpa kekuatan penuh. Ini waktunya. Aku ingin kau kirim makhluk terkuat darimu. Yang bisa memburunya... perlahan.”
Bayalpada bangkit dari singgasananya, tubuhnya menjulang seperti raksasa malam.
> Bayalpada: “Dan apa yang kau tawarkan sebagai imbalan?”
Nakula menatap tajam, lalu membuka telapak tangannya. Sebuah mantra terlarang dari langit Meru menyala di sana, ditulis dengan api.
> Nakula: “Mantra pemanggil kekuatan langit. Bahkan Rakshasa sepertimu bisa menggunakannya... dengan harga tertentu.”
Bayalpada tertawa keras. Langit-langit gua bergemuruh.
> Bayalpada: “Kesepakatan yang menarik, Dewa kecil. Aku akan kirim Rakshasa Bayangan. Ia memburu ketakutan, bukan kekuatan. Arjuna akan tenggelam dalam kelemahannya sendiri... sebelum pedang bisa menyentuhnya.”
Nakula mengangguk. Kali ini, bukan sebagai dewa... tapi sebagai saudara yang terluka, siap menghancurkan darahnya sendiri.
Setelah kesepakatan itu, gua tempat tinggal Bayalpada mendadak tenang. Tapi di dalam kesunyian itu, suara berat sang Rakshasa tua kembali terdengar, kali ini penuh dengan kebanggaan masa lalu.
> Bayalpada: “Sebelum kita berburu sang Arjuna, kau harus tahu... siapa kami sebenarnya. Rakshasa bukan sekadar makhluk kegelapan. Kami adalah bayangan pertama dari cahaya.”
Nakula mendengarkan, diam. Sejarah yang terlarang di Gunung Meru, kini disampaikan langsung oleh sumbernya.
> Bayalpada: “Dahulu kala, ketika Sang Ilahi menciptakan alam semesta, cahaya dan kegelapan lahir bersamaan. Dari cahaya lahir para Dewa. Dari kegelapan... kami. Ras Rakshasa.”
> Bayalpada (melangkah perlahan, suaranya bergema di dalam gua): “Kami bukan jahat. Kami adalah penyeimbang. Tapi ketika para Dewa mengklaim Gunung Meru dan mengusir kami ke bawah tanah, kami disebut sebagai kutukan. Kami disebut iblis.”
Bayalpada menunjuk dinding batu yang terukir gambar pertempuran besar. Di sana tampak pasukan Rakshasa bertarung melawan pasukan Dewa, dengan langit terbelah dan tanah terbakar.
> Bayalpada: “Kami bertahan dalam bayang-bayang selama ribuan tahun. Tapi dendam kami tidak pernah padam. Kami tidak mencari perang... kami menunggu. Dan kini, salah satu dari darah Arka Dewa datang sendiri... membawa peluang pembalasan.”
Nakula tetap diam, tapi dalam dirinya mulai muncul kegelisahan. Ia sadar, aliansi ini bukan tanpa risiko. Ia bukan hanya memanggil kekuatan, tapi juga membuka kembali luka lama antara Dewa dan Rakshasa.
> Bayalpada (mendekat, suaranya seperti bisikan neraka): “Ketika Arjuna jatuh, akan ada celah. Dan dari celah itu... kami akan naik. Gunung Meru akan mengingat siapa yang mereka buang.”
Gua itu kembali bergemuruh, dan dari balik bayangan, sosok kabur mulai muncul — tinggi, kurus, namun kelam dan mengerikan. Matanya seperti dua bara, dan aura dinginnya menusuk tulang.
> Bayalpada: “Rakshasa Bayangan. Ia tidak membunuh dengan pedang... tapi dengan rasa takut terdalam dalam jiwa musuhnya. Ia akan memburu Arjuna... bukan hanya untukmu, Nakula. Tapi untuk seluruh Ras kami.”
Nakula menatap makhluk itu, lalu menatap tangannya sendiri.
> Nakula (berbisik): “Arjuna... bersiaplah. Aku tak butuh tahta. Aku hanya ingin kau jatuh... sehancur-hancurnya.”
Sementara rencana gelap perlahan dijalankan oleh Nakula dan Bayalpada di perut dunia, di puncak dimensi tertinggi Gunung Meru, Arka Dewa berdiri dalam kesunyian, memandangi langit yang membelah ke sembilan warna kosmik. Hari ini, ia akan menghadiri Pertemuan Agung Para Dewa — sebuah momen langka, ketika para entitas tertinggi dari berbagai mitologi dan kepercayaan berkumpul dalam satu ruang waktu.
Pintu-pintu dimensi terbuka. Arka Dewa melangkah masuk ke Aula Mahasukma, tempat pertemuan berlangsung. Aula itu tak memiliki batas ruang, dindingnya terbuat dari waktu, dan langit-langitnya dilukis dengan galaksi hidup.
Satu per satu, tokoh agung mulai berdatangan:
Zeus dari Olympus, berjubah kilat dan tongkat petir di genggaman.
Odin dari Asgard, membawa mata pengetahuan dan burung gagak penjelajah dunia.
Ra sang dewa matahari Mesir, bersinar seperti mentari fajar.
Shiva dari India, duduk tenang dengan lingkaran api di belakangnya.
Amaterasu dewi matahari Jepang, memancarkan keanggunan dalam cahaya keemasan.
Quetzalcoatl, ular berbulu dari Mesoamerika, berputar-putar di atas kepala mereka.
Hingga dewa-dewa lokal dari berbagai pelosok bumi, termasuk dari kepercayaan kuno Nusantara dan dewa laut Polinesia.
Arka Dewa berdiri di tengah, mewakili Ras Dewa dari Nusantara dan Gunung Meru.
> Zeus: “Kita bertemu dalam damai, seperti setiap siklus. Tapi guncangan terjadi di Bumi. Energi tidak seimbang.”
> Ra: “Bukan hanya di Mesir. Gurun menjadi terlalu panas. Suara dari dalam bumi semakin keras.”
> Shiva (membuka mata): “Ada kekuatan yang menggeliat dari bayangan. Dendam lama yang seharusnya sudah padam.”
Arka Dewa menatap mereka, wajahnya tenang, tapi pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang Nakula dan keputusan untuk mengasingkan Arjuna ke Bumi. Ia tahu, langkahnya membawa konsekuensi besar. Namun ia belum tahu bahwa adiknya kini menjalin persekutuan terlarang.
> Arka Dewa: “Aku merasakan gangguan itu juga. Dari jauh, dari bawah Gunung Meru... bayangan lama mulai bangkit. Tapi kita di sini bukan untuk perang. Kita di sini untuk mengingat: dunia manusia masih membutuhkan cahaya kita.”
Amaterasu mengangguk. Odin menggumamkan doa. Tapi semua tahu, kedamaian para dewa tak pernah abadi. Akan selalu ada satu yang memecah keheningan.
> Odin: “Kau menyembunyikan sesuatu, Arka Dewa. Di antara kita, hanya kau yang membuang darah dagingmu sendiri ke dunia manusia.”
Arka Dewa menatap Odin dengan tegas.
> Arka Dewa: “Karena aku tahu... kadang, hanya dengan kehilangan, seseorang bisa benar-benar tumbuh.”
Suasana menjadi senyap. Dan dari kejauhan, di ruang dimensi lain, Rakshasa Bayangan telah melangkah ke Bumi, mulai memburu Arjuna yang belum siap.