Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Kamu Sepeduli Itu Dengan Dia?
Aby meraih sebotol air mineral dan meneguk dengan tergesa. Ia harus merasakan sakit dan sesak di dada akibat terus terbatuk-batuk. Apa yang disampaikan Vania kepadanya benar-benar melukai harga dirinya sebagai seorang suami.
"Kamu ... yakin Embun bilang begitu?" tanya Aby ingin memastikan.
Ia menatap Vania penuh selidik, seperti sedang mencari tanda kebohongan di wajah wanita itu. Namun, yang terlihat dari sana hanyalah raut kekesalan yang berapi-api. Dan Aby tahu Vania berkata yang sebenarnya.
"Ngapain juga aku bohong? Sekarang kamu tahu bagaimana kamu di mata Embun."
Vania menyeruput minuman lagi. Harapannya, dengan mengadukan sikap kurang ajar Embun, Aby akan mempertimbangkan untuk mempercepat perceraian. Sehingga tidak perlu menunggu sampai enam bulan.
"Dia itu benar-benar urakan dan sombong. Aku minta maaf aja nggak digubris sama dia."
Aby tak menyahut ucapan Vania. Ia terdiam memikirkan dalam hati tentang penilaian Embun terhadapnya. Apa memang benar dirinya di mata Embun seburuk itu?
"Kamu kenapa malah melamun?" tanya Vania, membuat lamunan Aby membuyar.
"Nggak apa-apa, kok."
"Kamu memikirkan Embun?" Vania menatap curiga, membuat Aby berdecak kesal.
"Udah ah. Aku lapar, jadi jangan bikin selera makanku hilang."
Keduanya pun menikmati menu sambil sesekali mengobrol. Hampir dua jam dihabiskan Vania dan Aby di kafe tersebut. Memang benar kata Vania, menu di kafe tersebut memang sangat enak. Aby begitu menikmati hidangan yang tersaji.
Tak lama berselang, Aby mengangkat sebelah tangan dan memberi kode kepada seorang waiters kafe.
"Iya, Mas?" Pria berkemeja putih dengan apron itu membungkuk sopan dengan sebuah buku catatan kecil di tangan.
"Tolong bungkus teriyaki chicken steak. Minumnya thai tea original," pinta Aby, sambil tersenyum ramah.
"Baik, Mas. Ada lagi yang lain lagi?"
"Menu paling spesial di kafe ini apa?" tanya Aby lagi dengan raut antusias. Sorot matanya sejenak tertuju pada buku menu dengan gambar yang menggugah selera.
"Kalau yang paling spesial di sini beef steak, Mas," jawab sang waiters, yang kemudian mencatat pesanan pertama Aby pada sebuah buku catatan kecil.
"Kalau gitu bungkus sekalian satu!"
"Baik, Mas. Ditunggu." Pemuda tersebut berlalu setelah mencatat beberapa pesanan Aby.
Vania menatap sang kekasih dengan kerutan tipis di dahi. Ia sedikit heran, bukankah Aby sudah makan banyak tadi? Lalu, mengapa ia memesan lagi?
"Kamu masih lapar sampai bungkus sebanyak itu?"
"Buat Embun."
Jawaban singkat nan santai yang diberikan Aby membuat rahang Vania terbuka. Ia nyaris tak percaya dengan sikap Aby yang mendadak terkesan peduli terhadap Embun.
"Ngapain kamu bawa makanan untuk Embun segala?"
Vania tampak tak begitu terima dengan bentuk perhatian yang ditunjukkan Aby untuk istrinya.
"Memangnya kenapa, Van? Kita sudah makan enak di sini. Apa salahnya bawa pulang buat Embun."
Tentu saja Vania tak terima begitu saja. Wanita itu menipiskan bibirnya geram.
"Kamu sepeduli itu sama dia?" ujarnya dengan suara meninggi. "Atau kamu nggak terima karena Embun bilang kamu laki-laki tidak berpendirian dan tidak bertanggungjawab?"
Pertanyaan menuntut Vania seperti mengikis kesabaran Aby. Ia balas melirik wanita itu dengan sorot mata malas.
"Apa sih mau kamu, Van? Hal seperti ini saja kamu jadikan masalah. Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu."
Vania tersentak. Tak pernah terbayangkan Aby akan menjawab dengan nada ketus seperti ini.
"Bu-bukan begitu, Aby." Ia menarik napas dalam demi meredam rasa kesal dalam hati. Jika ini diteruskan, maka ia dan Aby mungkin akan terlibat pertengkaran lagi. "Ya udah, terserah kamu aja."
.
.
Mobil yang dikemudian Aby baru saja memasuki halaman rumah Vania. Wanita itu tersenyum manis sambil menyematkan tali tas ke bahu. Melirik Aby, ia mencondongkan wajah ke depan dengan bibir sedikit maju. Namun, apa yang diharapkan Vania tak sesuai realita. Bibir merah mudanya mendarat di telapak tangan Aby.
Dengan gerakan cepat dan tak terduga, Aby menghalangi niat Vania dengan meletakkan punggung tangan ke pipi kirinya.
"Apaan sih kamu?" tanya Vania. Bibirnya mengerucut tanda tak terima dengan sikap penolakan Aby.
"Bisa nggak mulai sekarang jangan cium aku lagi."
Perubahan sikap Aby yang cukup drastis membuat Vania terbelalak. Selama ini Aby tidak pernah keberatan jika Vania sekedar mencium pipinya. Meskipun sejak awal berpacaran, Aby sudah menegaskan tidak akan mau bersentuhan di bibir sebelum menikah.
"Maksud kamu apa? Aku 'kan memang biasa begini. Kenapa sekarang nggak boleh?"
"Aku risih, Van!" jawab Aby tanpa menatap kekasihnya.
"Risih kamu bilang?"
Aby berdecak sambil menghela napas panjang. "Setidaknya jangan lakukan itu sampai aku pisah sama Embun. Bisa nggak?"
Entah mengapa hati kecilnya merasa sangat jahat terhadap Embun. Apa lagi sindiran demi sindiran terus ia dapat dari istrinya itu.
"Kamu benar-benar berubah tahu nggak!"
Bola mata Vania mulai berkaca-kaca. Tanpa menunggu balasan dari Aby, Vania segera turun dari mobil. Kemudian berlari kecil ke arah pintu, hingga menghilang dalam pandangan Aby.
Vania memasuki kamar dengan berderai air mata. Bahkan Aby tak berusaha menyusul untuk memberi penjelasan dan malah memilih pergi.
.
.
Setibanya di rumah, Aby segera menuju kamar dengan membawa menu makanan yang ia pesan khusus untuk Embun. Namun, saat memasuki kamar, tak tampak sang istri di sana. Di balkon kamar juga tidak ada. Padahal menurut Vania, Embun sudah meninggalkan kampus setelah bertemu di kantin tadi siang.
Akhirnya, Aby pun turun ke lantai bawah dan mendapati bunda sedang membuat sesuatu di dapur.
"Bunda, Embun di mana?"
Sejenak, perhatian bunda terfokus kepada Aby yang masih rapi dengan setelah kemeja dan celana bahan.
"Loh, kamu kan suaminya. Masa kamu nggak tahu istri kamu ke mana," jawab sang bunda. Menatap putranya sedikit heran.
"Memang Embun belum pulang ya, Bun?"
"Belum. Coba kamu telepon."
Aby menggaruk kepala. Ia hampir lupa bahwa mereka belum saling bertukar nomor telepon. Padahal mereka tinggal dalam satu kamar sejak semalam.
"Bunda punya nomor teleponnya Embun, nggak?"
Bunda hampir tak percaya mendengar pertanyaan putranya itu. Bagaimana mungkin Aby tidak memiliki nomor telepon istrinya?
"Ya ampun Aby, kamu ini jadi suami bagaimana? Nomor istri kamu aja nggak punya."
"Maaf, Bunda. Belum sempat tukaran nomor."
.
.
Aby sudah duduk di kursi kemudi mobil. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor telepon Embun yang ia dapatkan dari bunda, namun hingga beberapa kali mencoba, panggilan tak juga terhubung. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Apa jangan-jangan Embun ke rumah mamanya, ya?" Tak mendapat jawaban pasti, Aby pun memutuskan untuk menyusul ke rumah sang mertua.
Menempuh perjalanan kurang dari tiga puluh menit, Aby sudah tiba di depan pagar sebuah rumah minimalis. Ia terdiam beberapa saat sambil melirik ke dalam. Benar saja, di teras terlihat Embun sedang duduk sambil mengobrol dengan seorang pria yang cukup dikenalnya.
"Ngapain Dewa di rumah Embun?" gerutunya kesal.
...........
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭