Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA ALASANNYA?
"Jangan pergi!"
Sebuah kalimat yang akhirnya menahan Hadwin untuk tidak meninggalkan kamar Briela. Beberapa saat Briela maracau dan bergerak gelisah dalam tidurnya. Hadwin sibuk membuat Briela kembali tenang dalam tidurnya.
Pria itu bahkan dengan sukarela duduk di lantai hanya demi membuat wanita yang berstatus istrinya itu tenang. Jemarinya dengan lembut mengusap tangan Briela.
Cukup lama Hadwin berada dalam posisi itu hingga kakinya kebas. Pria itu bangun dengan susah payah, perlahan-lahan ia melepas genggamannya pada tangan Briela. Hadwin berdiri diam dalam posisinya, pandangannya jatuh pada bibir pucat Briela.
Bibir yang sebenarnya sangat ranum dan enak untuk dilihat itu kini terlihat begitu pucat. Hadwin mendekat, ingin sekali dirinya menyapu warna pucat itu dari bibir Briela dan mengembalikan warna aslinya agar kembali ranum.
Hanya tinggal satu inchi bibirnya menempel dengan bibir Briela. Namun, kewarasannya kembali memegang kendali. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali, berharap pikiran kotor itu segera menghilang dari pikirannya.
Hadwin sudah kembali berdiri tegak. "Bodoh! Apa yang akan kau lakukan pada wanita yang terbaring lemah? Menyedihkan sekali," gumam Hadwin lirih.
Ia memeriksa suhu tubuh Briela untuk terakhir kali sebelum keluar dari kamar Briela. Demamnya sudah turun dan Hadwin cukup lega untuk itu.
Pria itu gegas meninggalkan kamar Briela. Di luar pintu kamar Briela ia berdiri mematung cukup lama, sebelum akhirnya masuk ke kamarnya sendiri.
Hadwin melihat jam dindingnya sudah menunjukkan pukul empat pagi. Pria itu pergi ke kasurnya, berbaring dan menarik selimut bulunya. Hadwin berharap bisa terlelap barang sebentar.
Hadwin memejamkan mata, namun sayang bukan kantuk yang datang menghampirinya. Hadwin lagi-lagi mengingat bibir pucat Briela saat matanya terpejam, ia juga mengingat bagaimana ia yang berniat mencuri kesempatan beberapa saat lalu. Matanya kembali terjaga, ia membuang napasnya kasar. Mengoyak rambutnya hingga berantakan.
Pria itu bangun dari kasurnya, membiarkan selimutnya yang berantakan tanpa melipatnya. Hadwin melakukan olahraga ringan, ia berharap pikirannya dapat teralihkan jika tubuhnya sibuk.
Bulir keringat mulai muncul di pelipisnya, kaos bagian punggungnya bahkan terlihat basah. Hadwin mengakhiri push up yang ia lakukan.
Hadwin pergi ke dapur untuk minum, ia meneguk air mineral dalam botol kemasan tanggung hingga tandas. Hadwin membuka pintu balkonnya. Udara sejuk menyapa tubuh Hadwin yang tengah bersandar pada pagar balkon. Langit bahkan masih gelap saat itu. Hadwin kembali menutup pintu begitu mulai merasakan dingin.
Pria itu kembali ke dalam kamarnya, mengguyur tubuhnya dengan shower begitu selesai menanggalkan pakaiannya. Tubuhnya terasa segar meski semalam ia bahkan tidak terlelap sama sekali karena menjaga Briela.
Hadwin pergi ke dapur begitu ia selesai berpakaian, pria itu membuat bubur untuk Briela. Hadwin mencampurkan ayam dan beberapa bahan lagi sebagai tambahan nutrisi.
Hadwin menyiapkan mangkuk dan mengisinya dengan bubur yang sudah matang beberapa saat lalu. Ia menyimpannya di atas meja. Hadwin menyiapkan kopi dan sarapan untuknya sendiri.
Briela menggeliat di atas kasurnya, ia menyibak selimutnya. Briela mengedarkan pandangannya ia teringat terakhir kali sedang berkutat dengan laptopnya di meja depan televisi. Terakhir kali ia merasakan kepalanya yang berputar dan tubuhnya terasa begitu panas bahkan matanya tidak sanggup untuk ia buka.
Briela mengingat-ingat kapan ia pindah, namun begitu pandangannya jatuh pada sebuah mangkuk dan kain kompres di atas meja Briela sadar jika ia tidak pindah ke kamarnya sendiri tadi malam. Mungkin Hadwin yang memindahkannya, pria itu bahkan sampai repot-repot mengompresnya.
Birela keluar dari kamarnya, pintu kamar Hadwin tertutup rapat. Briela berjalan menuju dapur, ia tidak melihat sarapan yang tersedia di meja santai depan televisi seperti biasa.
Apa Hadwin masih tidur? Tapi, ini sudah pukul tujuh. Bukankah ia harus bekerja? Aku akan membangunkannya nanti, aku perlu minum. Tenggorokanku kering.
Briela bermonolog dalam hati, ia berjalan menuju meja dapur. Di atas meja Briela melihat sebuah mangkuk keramik yang ditutup juga air mineral dalam gelas yang tertutup. Briela juga melihat sebuah kertas notes berwana kuning yang ditindih gelas, ia mengambilnya.
Aku membuatkan bubur untukmu. Jika buburnya dingin panaskan dengan microwave. Jika tubuhmu belum memungkinkan untuk bekerja, jangan dipaksakan! Aku sudah menghubungi sekertarismu tentang kondisimu. Aku pergi bekerja jika perlu apa-apa jangan ragu menghubungiku.
Begitu pesan yang Hadwin tulis pada kertas notes. Briela membuka tutup mangkuk asap halus keluar dari bubur dalam mangkuk. Briela mengambil satu sendok untuk dimasukkan ke dalam mulut. Hangat, Briela merasakan kehangatan dalam indera pencecapnya.
Briela kembali melongokkan kepalanya, menatap pintu kamar Hadwin yang tertutup. Briela tahu jika Hadwin sudah berangkat kerja namun tetap saja ia melakukannya. Briela mengesah pelan. Ia merutuki dirinya sendiri. Andai saja ia bisa bangun lebih awal, mungkin saja ia masih bisa bertemu Hadwin agar bisa mengucapkan terima kasih secara langsung pada pria itu.
Selesai menghabiskan buburnya Briela kembali mengecek surelnya. Ia mendapatkan sebuah surel yang berisi tentang jawaban dari supplier yang sempat Briela hubungi Sabtu malam kemarin. Satu di antaranya menolak bekerja sama karena sudah terikat dengan kontrak kerja perusahaan lain. Dan dua lainnya merasa tertarik dengan tawaran kerja sama yang Briela ajukan. Keduanya meminta pertemuan secara langsung untuk membahas detail kerjasama itu.
Briela menelepon sekertarisnya.
"Stella, atur jadwalku hari ini untuk menemui dua supplier yang meminta pertemuan langsung. Aku sudah mengirimkan surel balasan dari keduanya padamu. Coba periksa dan tentukan mana yang harus aku temui lebih dulu!"
"Baiklah saya akan memeriksa surelnya."
"Baiklah atur jadwalnya dan aku akan bersiap-siap." Briela terdengar begitu bersemangat.
"Tidak Nona, hari ini Anda bisa istirahat di rumah. Saya akan menghandle pekerjaan Anda hari ini. Suami Anda menghubungi langsung perihal kondisi Anda. Saya juga sudah menghubungi pihak supplier kita yang terkena musibah perihal kondisi Anda, kita bisa menemui pihak mereka besok jika kondisi Anda sudah membaik. Dan juga untuk pertemuan langsung dengan calon supplier kita saya akan mengabari mereka hal yang sama, jika pihak mereka mau saya akan menemui mereka namun jika mereka tetap menginginkan Anda sendiri yang menemui mereka saya akan atur jadwalnya, namun tidak hari ini. Suami Anda meminta saya memastikan Anda tetap beristirahat di rumah."
"Siapa atasanmu? Kenapa kau menurut pada suamiku? Kau bahkan tahu jika dia hanya suami kontak." Briela berkata dengan kesal.
"Atasan saya memang Anda, Nona. Tetapi benar kata suami Anda, Anda perlu istirahat."
"Suami, suami, suami. Berhenti mengucapkan kata itu! Suami apa yang mengaturku begitu." Briela mendengus kesal, wajahnya bahkan ditekuk layaknya anak kecil yang sedang merajuk.
Sekertarisnya tidak menyahuti ucapan Briela, ia lagi-lagi meminta Briela beristirahat di rumah dan memutus sambungan telepon.
"Bagaimana ada orang yang begitu plin-plan. Dia pasti menekan Stella yang jelas tidak bisa menolak perintahnya dengan menjadikan sakitku sebagai alasan. Padahal dalam notes dia begitu perhatian. Huh menyebalkan," gerutu Briela.
"Tetapi perlakuannya padaku selama ini selalu baik, dia bahkan merawatku saat sakit." Lagi-lagi Briela bergumam sendiri.
Pintu apartemen terbuka saat jam makan siang, Hadwin masuk dengan tergesa-gesa. Briela tidak menyadari kedatangan Hadwin karena sibuk menonton televisi. Sejak pagi Briela merasa kesal dan memilih televisi sebagai bentuk penghiburan.
Hadwin mendekat pada Briela, ia memeriksa suhu tubuh Briela dengan punggung tangannya. Briela mendongak, ia mendapati Hadwin dengan wajah khawatirnya di atas wajahnya. Pria itu berputar dan berpindah duduk di samping Briela.
"Syukurlah, kau baik-baik saja sekarang." Hadwin menghela napas lega.
"Ya, berkat kau aku jadi cuti hari ini. Kau mengatakan apa pada Stella? Sehingga dia sangat berkeras untuk membuatku beristirahat di rumah." Briela memulai aksi protesnya pada Hadwin.
Hadwin terkekeh pelan, ia tidak menyahuti Briela dan hanya berlalu menuju dapur. Hadwin menggulung lengan kemejanya, membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa sayuran dan daging.
"Kau mau bubur atau nasi untuk makan siang?" tanya Hadwin tanpa berpindah dari tempatnya.
Briela mematikan televisi, ia menyusul Hadwin ke dapur. Tidak menjawab pertanyaan Hadwin, melainkan melontar pertanyaan yang berbeda konteks dengan apa yang ditanyakan Hadwin.
"Mengapa jam segini sudah pulang?"
"Aku cuti setengah hari," jawab Hadwin tenang.
"Mengapa?"
"Karena aku harus memeriksa kondisimu dan mengurusmu." Lagi-lagi Hadwin menanggapi Briela dengan tenang.
"Tapi mengapa?"
Hadwin terdiam cukup lama, namun akhirnya ia tersenyum kecil.
"Aku bertanya padamu Hadwin. Apa alasannya?"
Hadwin menatap Briela, wajahnya tenang namun seolah menyimpan sebuah alasan yang begitu mendalam.
🥀🥀Hai hai readers... Ada yang penasaran nggak sama alasan Hadwin? Kira-kira apa ya alasan Hadwin selalu bersikap baik pada Briela? 🥀🥀
sekertaris keknya beb. ada typo.