Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kilauan topeng.
Di ruangan bernuansa hitam itu, teman-teman Saka tengah duduk melingkar di sofa, menciptakan suasana hangat dan penuh canda. Yuda bersama Cindy—pasangannya, duduk berdekatan saling berbagi tawa. Toni, Dani dan Abimana ikut terlibat dalam percakapan ringan. Sesekali melempar lelucon yang mengundang tawa renyah.
Disisi lainnya, Anjani, Rani, Mila dan Sarah, teman-teman Saka. Turut larut dalam obrolan mereka, sesekali melirik kearah pintu, menanti kedatangan sosok yang mereka tunggu-tunggu.
“Ini beneran, ya? Sadewa bakalan ajak perempuan kesini?” Tanya Anjani seraya menatap teman-temannya penuh antusias.
Saka dan yang lainnya hanya mengangguk, tidak ada yang segera menjawab. Seolah keheningan itu lebih dari cukup untuk menyampaikan jawaban.
“Wah, kalau beneran, itu sebuah keajaiban,” ujar Cindy yang duduk disebelah Yuda, dengan nada bercanda.
“Secara Sadewa, ‘kan, cowok super dingin. Jadi, aku agak syok pas kalian bilang di room chat, kalau Sadewa bakalan ajak perempuan kesini,” tambah Rani.
“Mengajak perempuan atau tidak, kita lihat saja nanti. Karena aku sendiri juga belum tahu pasti soal itu. Jadi, kita tunggu saja.” Sahut Saka akhirnya, suaranya tenang sambil mengepulkan asap cerutu ke udara.
Keheningan sesaat melingkupi mereka, seolah semua sedang membayangkan momen yang akan datang. Malam itu terasa penuh dengan antisipasi, menyisakan harapan dan teka-teki yang menggantung di udara.
Sarah yang duduk di pojok sofa, pun matanya sesekali melirik ke arah pintu, mencoba untuk tetap tenang. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sebuah perasaan yang semakin kuat seiring berjalannya waktu. Selama dua tahun ini, ia menyembunyikan perasaannya terhadap Sadewa, hanya dia yang tahu betapa dalamnya perasaan itu. Sementara teman-temannya yang lain, bahkan teman dekatnya sekalipun, tidak ada yang pernah menduga.
Ia merasa sangat jengkel, tidak bisa menahan kekesalan yang mulai tumbuh begitu saja. Kenapa harus sekarang, sih?! Gumamnya dalam hati seraya menatap kearah Saka yang sedang asyik berbincang dengan teman-temannya.
Sarah menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kesal yang semakin membesar. Kenapa harus ada orang lain? Kenapa Sadewa melakukan ini padaku? Pikirnya, merasa seolah ada saingan baru yang tiba-tiba muncul. Mungkin, dimata orang lain, Sadewa hanya sekedar teman biasa. Tapi bagi Sarah, dia lebih dari itu.
Padahal, Sarah sudah lama menunggu momen yang tepat untuk bisa lebih lebih dekat dengan Sadewa, tapi apa sekarang? Terang-terangan Sadewa akan membawa wanita lain, dan itu membuatnya sangat marah. Entah kenapa, semuanya terasa seperti mimpi buruk bagi Sarah yang datang terlalu cepat. Dengan nafas yang berat, Sarah mengalihkan pandangannya. Berusaha menenangkan diri, tapi rasa kecewa itu sudah mulai menggerogoti hatinya.
Semua orang tampaknya tidak menyadari kegelisahannya. Mereka hanya tahu bahwa Sadewa akan membawa seseorang malam ini—itu saja. Tapi, tidak ada yang tahu bahwa dibalik itu semua ada taruhan yang tidak mereka mengerti. Ada rahasia yang melibatkan Saka dan Sadewa yang membuat segala sesuatu terasa lebih rumit dari sekedar sebuah pertemuan biasa.
...****************...
Malam ini jalanan terasa sepi, hanya lampu-lampu jalan yang sesekali menyinari mobil yang melaju dengan tenang. Sadewa, dengan tangan kokoh di setir, menekan pedal gas untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya malam ini sudah jelas dibenaknya, yaitu menunjukkan pada Saka bahwa ia berhasil dalam taruhan itu. Namun, meskipun fokus pada jalan, netranya sesekali melirik kearah penumpang di sebelahnya.
Maha, di kursi penumpang—duduk diam. Tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya. Jantungnya berdegup kencang, perasaan gugup tengah menguasai dirinya. Ia mencoba untuk menyembunyikan rasa gelisah nya. Namun, kedua tangannya sibuk menggenggam jari-jarinya di pangkuan, seolah itu bisa memberi sedikit kenyamanan ditengah kecemasan.
Sementara Sadewa, ia tahu betul betapa Maha sedang berusaha menenangkan diri. Namun, ia memilih untuk tidak mengatakan apapun. Tidak ada alasan untuk bertanya, tidak ada keperluan untuk membahas kegelisahan yang Maha rasakan. Baginya, hal itu tidak penting. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah taruhan itu. Bagaimana ia harus menunjukkan pada Saka bahwa ia berhasil meraih Maha, memperlihatkan bahwa ia mampu memenangkan tantangan tersebut.
Didalam hati, Sadewa merasa sedikit terbangun oleh semangatnya. Tetapi disisi lain, ia mengabaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan Maha.
Perjalanan ini bukan tentang Sadewa dan Maha, bukan tentang perasaan yang mungkin muncul diantara mereka. Ini tentang kemenangan, tentang memperlihatkan pada dunia, terutama pada Saka—bahwa ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Namun, meskipun Sadewa memilih untuk tidak mengungkapkan pikirannya. Ada ketegangan yang perlahan-lahan memadat di dalam kabin mobil. Maha merasa terjepit antara kegelisahan dan rasa ingin tahu yang tak terucapkan.
Pohon-pohon besar yang rimbun dan lampu jalan yang terang benderang membuat suasana malam itu terasa asing bagi Maha. Ia terus menatap jalan yang terbentang di depannya dengan perasaan bingung.
Sebenarnya, ini aku mau dibawa kemana, sih? Pikir Maha saat ini, matanya melintas ke kiri dan kanan, hanya disuguhi dengan barisan pohon-pohon besar yang menyelimuti sisi jalan. Jangan-jangan, Sadewa, ngajak aku kesini karena mau… nggak, ya ampun? Masa aku mau di jadikan tumbal pesugihan, sih? Keenakan demit nya, dong, dapet tumbal cantik dan pulen gini? Pikirnya lagi dengan ketegangan yang semakin menyelimuti dirinya.
Sekilas, Maha menoleh ke arah Sadewa yang duduk dengan ekspresi datar, tak menunjukkan reaksi apapun. Entah kenapa, semakin lama Maha semakin merasa cemas. Tak lama kemudian, matanya terbelalak saat melihat sebuah rumah besar yang tiba-tiba muncul didepan. Maha mengerutkan alisnya, merasa takjub dengan rumah yang megah bak istana.
Gila, rumah sebesar itu di tengah hutan? Pikirnya, terkejut sekaligus kagum.
Maha menunduk, berusaha menyembunyikan rasa herannya. Dalam hati, ia bertanya-tanya—Bagaimana bisa ada sebuah kediaman sebesar itu, begitu megah dan sangat elegan, tapi ditempat yang begitu terpencil? Lantas, matanya melintas ke beberapa mobil mewah yang terparkir di halaman depan rumah itu.
Namun, Maha hanya bisa menatap tanpa mengungkapkan rasa kagumnya. Ia tidak ingin memberi Sadewa kesempatan untuk meledak atau bahkan mengolok-oloknya lagi. Sejenak ia menenangkan dirinya berusaha agar ekspresinya tetap tenang meskipun perasaan dalam dadanya berkecamuk.
Beberapa saat kemudian, mobil Sadewa berhenti dengan mulus di depan pintu rumah mewah itu. Sebelum Maha sempat mengangkat kaki, pintu mobil sudah terbuka dengan sopan oleh beberapa staf yang mengenakan jas hitam rapi dan sarung tangan putih
Mereka menyambut Maha dengan profesional yang tak pernah pudar.
“Silahkan, Nona,” ucap salah satu staf dengan nada rendah, penuh rasa hormat.
“Terimakasih,” jawab Maha, sambil melangkah keluar dari mobil. Langkahnya terlihat mantap meski hatinya sedikit cemas, mencoba untuk tetap tenang di tengah ketegangan yang merayapi dirinya.
Sementara Sadewa, pria itu menatap Maha dengan pandangan kagum yang sulit disembunyikan. Di matanya, saat ini Maha terlihat begitu anggun, seolah tidak perlu usaha keras untuk menyesuaikan dirinya dengan kemewahan di sekitar mereka. Terlebih, gaun yang dikenakan oleh Maha, semakin menonjolkan sisi elegan Maha dan tanpa ia perintahkan, Maha seolah sudah tahu cara membawa diri dalam situasi ini.
Tangan Sadewa terulur dan merasa seperti ada dorongan tak terelakan untuk meraih tangan Maha. Detik berikutnya, ia terkejut saat merasakan jari-jari Maha meraih tangannya dengan lembut. Kejutan itu muncul bersamaan dengan sebuah perasaan hangat yang mengalir begitu saja.
Ini terasa berbeda, pikir Sadewa, dan sejenak ia terdiam. Membiarkan tangan mereka saling menggenggam erat.
Maha, disini lain, mencoba untuk meredam kegelisahannya. Nikmati saja malam ini, batinnya—memaksa dirinya untuk melihat Sadewa bukan sebagai sosok yang selalu menantang, melainkan sebagai pria yang bisa saja menjadi kekasihnya. Meski hanya untuk malam ini, ia pun menatap Sadewa dengan sorot mata yang lebih lembut, merasa aneh tapi juga nyaman dalam kedekatan ini.
“Jalani setiap langkah dengan keyakinan dan nikmat momen yang ada. Saya ingin hubungan kita ini terlihat nyata didepan semua orang. Apakah kamu mengerti, Maha?” Tanya Sadewa dengan tegas, matanya menatap Maha dalam, seolah ingin memastikan bahwa Maha sepenuhnya paham.
“Iya, Mas Sadewa.” Jawab Maha, mengangguk pelan.
Sadewa bisa melihat ketulusan dalam tatapan Maha, sesuatu yang tidak biasa. Malam ini, Maha begitu patuh padanya, membuat Sadewa merasa semakin percaya diri. Genggaman tangannya pada Maha terasa lebih erat, seakan menegaskan bahwa ia memiliki kendali penuh atas situasi ini.
Sesaat setelah itu, mereka melangkah memasuki ruangan megah, diikuti oleh staf yang mengantarkan mereka menuju tempat pertemuan dengan para tamu lainnya. Langkah-langkah mereka bergema di lorong panjang yang dihiasi lampu-lampu kristal dan lantai marmer yang berkilau. Suara heels Maha yang dan pantofel Sadewa yang mantap seakan menyatu, menciptakan irama yang serasi di sepanjang perjalanan mereka.
Keduanya tampak begitu serasi, setiap detail penampilan mereka saling melengkapi. Sadewa dengan jas hitamnya yang rapi dan Maha dengan gaun hitam elegan yang membalut sempurna tubuhnya. Tak kalah penting, Maha mengenakan berlian yang menyatu dengan penampilannya malam ini. Cincin dan anting berlian yang ia kenakan menambah pesonanya, membuatnya tak hanya seimbang dengan Sadewa. Namun, juga seakan di level yg setara dengan pria itu—Sadewa Pangestu, seorang pria yang punya segalanya.
Sementara Maha, ia menatap kedepan berusaha menyembunyikan keraguan hatinya. Setiap langkahnya membuat dirinya merasa semakin berada didalam dunia yang penuh kemewahan. Namun, dibalik segala kilau dan gemerlap, hatinya bertanya-tanya tentang arti semua ini.