Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.
Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.
Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.
Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Keluarga
Naya duduk gelisah di ruang tamu, menatap lekat pada secangkir teh yang sudah mendingin di meja. Ayahnya, Gunawan, duduk di seberangnya dengan ekspresi datar—terlalu tenang untuk bisa dianggap wajar. Di samping Gunawan, ada Sarah, ibunya, yang sejak tadi hanya diam sambil meremas ujung bajunya.
“Saya mau menikah, Yah,” ulang Naya, berusaha terdengar tegas meski suaranya sedikit bergetar.
Gunawan memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum bersuara. “Dengan siapa?”
“Brian, kakaknya Lisa,” jawab Naya cepat.
Gunawan memicingkan mata. “Siapa dia? Ayah nggak pernah dengar nama itu sebelumnya.”
“Dia seorang lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Saya memang belum lama mengenalnya dan diapun berada di ibukota jadi belum sempat mempertemukan kalian”
Suasana hening. Naya bisa mendengar suara detik jam di dinding yang berdetak seirama dengan degup jantungnya.
“Kenapa tiba-tiba?” tanya Gunawan, nadanya terdengar tajam. “Kalian bahkan belum pernah bertemu di rumah ini. Ayah tidak kenal dia. Keluarganya siapa? Dari mana asal-usulnya?”
Naya meremas ujung bajunya, berusaha mengatur napas. “Yah… Saya pikir ini keputusan terbaik.”
“Terbaik untuk siapa?” suara Gunawan meninggi. “Untukmu atau untuk menutup mulut orang-orang?”
Sarah menggenggam lengan suaminya, mencoba menenangkan, tapi Gunawan sudah terlanjur terpancing emosi.
“Ayah,” Naya berusaha menahan air matanya, “Saya cuma nggak mau Sean tumbuh tanpa figur ayah. Saya nggak mau dia terus-menerus dikasihani atau dihakimi karena… statusnya. Ayah sendiri tau saya tidak mungkin kembali dengan Alvin.”
Gunawan menggeleng. “Itu alasan yang nggak masuk akal, Naya. Pernikahan bukan untuk meredam gosip. Kalau itu tujuanmu, kamu akan menderita.”
Naya terdiam. Ia tahu ayahnya benar, tapi bagaimana bisa ia menjelaskan keterpaksaan ini?
Gunawan menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya. “Kalau dia serius, suruh dia datang ke sini. Ayah mau bicara langsung.”
“Yah…”
“Nggak ada ‘tapi’. Ayah nggak akan menikahkan kamu dengan seseorang yang bahkan Ayah nggak tahu asal-usulnya. Kalau dia benar-benar laki-laki yang bertanggung jawab, biar dia buktikan sendiri.”
Naya terdiam, hatinya semakin berat. Ini pasti akan jadi pertemuan yang canggung dan rumit.
Keesokan harinya, Naya duduk di tepi tempat tidur sambil menatap layar ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat ia mengetik pesan untuk Brian.
“Ayah mau ketemu kamu dan keluargamu.”
Tak sampai satu menit, ponselnya bergetar. Brian menelepon.
“Naya… ini cepat sekali.”
“Saya tahu,” suara Naya lirih. “Tapi Ayahku bilang kalau kamu memang serius, kamu harus datang.”
Brian menghela napas panjang. Ia sempat diam, seolah sedang berpikir keras. “Baik. Saya akan bicara ke Mama dan Papa.”
Sejujurnya, Brian tidak tahu harus berkata apa. Ia sendiri belum siap menghadapi Gunawan, seorang pria yang pasti punya seribu pertanyaan soal niatannya menikahi Naya.
Beberapa jam kemudian, Brian duduk bersama kedua orang tuanya—Wisnu dan Ratna—membahas rencana bertemu keluarga Naya.
“Papa dan Mama akan ikut,” ujar Wisnu mantap. “Kami harus menunjukkan keseriusan keluarga kita.”
Brian hanya mengangguk lelah. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Ratna menyentuh lengan Brian. “Kita akan bicara baik-baik. Lagipula, usia kamu sudah 31 tahun. Sudah waktunya membangun keluarga.”
Brian hanya tersenyum kecut.
Wajar? Apa ada yang wajar dari pernikahan ini?
Hari Pertemuan
Rumah Naya terasa lebih ramai dari biasanya. Sarah mondar-mandir di ruang tamu, merapikan bantal sofa untuk kesekian kalinya. Gunawan duduk tegak di kursinya, ekspresinya kaku dan tegas. Sementara itu, Rangga—kakak laki-laki Naya—duduk di pojok ruangan, menatap lurus ke arah pintu dengan wajah waspada.
Sean, meski masih bayi, tampaknya bisa merasakan ketegangan di rumah. Ia merengek kecil dalam gendongan Naya, seolah meminta ibunya tetap tenang.
Saat bel berbunyi, Naya merasa jantungnya hampir melompat keluar.
Sarah buru-buru membuka pintu, memperlihatkan Brian yang berdiri tegap dalam kemeja putih polos dan celana bahan gelap. Di belakangnya, ada Wisnu dan Ratna, keduanya tersenyum ramah.
“Selamat datang,” jawab Sarah, mempersilakan mereka masuk.
Gunawan berdiri, menyambut mereka dengan anggukan kaku. “Silakan duduk.”
Semua orang duduk. Suasana canggung memenuhi ruangan, dan untuk beberapa menit pertama, yang terdengar hanya suara Sean yang sesekali menggumam pelan di pangkuan Naya.
Akhirnya, Gunawan membuka suara. “Saya Gunawan, ayahnya Naya.”
“Wisnu, ayah Brian,” jawab Wisnu sambil menjabat tangan Gunawan.
Gunawan mengangguk tipis. “Jadi… saya dengar kalian berencana menikah?”
Brian meneguk ludah. “Iya, Pak. Kami memang berniat menikah.”
“Bisa saya tahu kenapa?” tanya Gunawan, tajam.
Brian sempat melirik Naya, lalu menjawab, “Karena saya ingin bertanggung jawab dan menjadi sosok ayah bagi Sean.”
Gunawan mengangkat alis. “Dan kamu yakin pernikahan ini bukan sekadar bentuk belas kasihan?”
Wisnu segera menimpali, “Pak Gunawan, kami datang ke sini bukan untuk memaksa. Tapi kami melihat Naya adalah perempuan baik-baik, bertanggung jawab, dan kami percaya dia bisa mendampingi Brian. Usia Brian juga sudah 31 tahun. Sudah waktunya membangun keluarga.”
Gunawan tetap diam, namun Rangga—yang sedari tadi membisu—akhirnya bersuara. “Maaf, tapi kami nggak tahu siapa kalian sebenarnya. Dan bagaimana latar belakang keluarga kalian ?”
Wisnu tersenyum tipis. “Kami keluarga biasa, tinggal di Ibu kota. Saya perwira tinggi milter”
Gunawan sedikit terkejut. “Perwira Tinggi ?”
Ratna ikut menimpali, “Benar, Pak. Meski sudah mendapat gelar dokter spesialis bedah Brian mengikuti jejak ayahnya, jadi tentara dan kini bertugas sebagai dokter militer untuk pasukah khusus sedang saya sendiri merupakan guru besar Internasional University. Kami hanya berharap Naya dan Sean bisa menjadi bagian dari keluarga kami.”
Suasana berubah. Ada sesuatu dalam cara Gunawan memandang Wisnu, seolah ia baru menyadari bahwa keluarga Brian bukanlah orang sembarangan.
Rangga bersedekap. “Jadi… keluarga militer?”
Brian mengangguk. “Iya.”
Gunawan terdiam lama.
Semua orang di ruangan itu tahu—pembicaraan ini baru saja bergeser.
Kini, bukan hanya soal pernikahan paksa atau rasa kasihan. Ada pertanyaan besar yang menggantung di udara: Apakah ini benar-benar demi Sean, atau ada hal lain yang disembunyikan?
Saat keluarga Brian berpamitan, Gunawan masih belum memberikan jawaban.
"Saya harus memikirkan semuanya baik baik, ketika saya sudah memiliki jawaban, saya sendiri yang akan ke kediaman keluarga mu." Ucap Gunawan mantap pada Brian.
Di kamar, Naya duduk di tepi ranjang sambil mengelus kepala Sean.
Pikirannya berkecamuk.
Pertemuan tadi hanya awal. Masih ada banyak rintangan—dan Naya tahu, ini belum berakhir.
Satu hal yang pasti, meski Brian dan keluarganya tampak menerima situasi, ayahnya belum luluh.
Dan hati Naya masih gamang.
Apakah ini benar-benar jalan terbaik?
Atau hanya awal dari badai yang lebih besar?