Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 20
Sofia kini benar-benar tenggelam dalam kesibukan di ruko barunya. Setelah selesai mendekorasi, butik kecil itu kini tampak lebih elegan dan nyaman. Dengan sentuhan warna-warna lembut, rak-rak kain yang tertata rapi, serta meja kerja yang sudah dipenuhi berbagai sketsa desain, Sofia merasa tempat ini benar-benar awal baru bagi dirinya.
Hari itu, Sofia terlihat sibuk menjelaskan detail desain kepada Lia dan Yaya, dua pekerja yang baru bergabung dengannya.
"Jadi, aku ingin potongan dress ini tetap anggun, tapi juga nyaman untuk dipakai sehari-hari," Sofia berbicara dengan suara lembut namun tegas.
Lia dan Yaya memperhatikan dengan saksama. Mereka merasa nyaman bekerja dengan Sofia, bukan hanya karena keahliannya dalam desain, tetapi juga karena sikapnya yang sabar dan mau mendengar pendapat orang lain.
"Aku mengerti, Mbak Sofia," kata Lia sambil mencatat. "Jadi, jahitannya harus lebih rapi di bagian pinggang supaya tetap memberi siluet yang bagus, kan?"
Sofia tersenyum. "Benar. Dan untuk Yaya, aku ingin kamu mencoba teknik jahitan ini dulu. Kalau ada kesulitan, langsung tanyakan padaku."
Yaya, yang masih belajar, mengangguk semangat. "Siap, Mbak! Aku akan mencobanya sekarang juga."
Hari itu berlalu dengan penuh semangat dan tawa. Sofia merasa lebih hidup dibandingkan sebelumnya.
Jika Sofia sibuk merintis usaha barunya, maka beda lagi yang ada di kediaman Rahardian.
Kesibukan terlihat di seluruh penjuru rumah. Saskia terlihat sibuk mengatur dekorasi untuk pernikahan Robin dan Vanessa, yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi.
Meski hanya dilakukan secara sederhana di rumah mewah keluarga Rahardian, Saskia tetap antusias.
"Aku ingin semuanya sempurna!" ujar Saskia sambil menunjuk beberapa pelayan untuk menata ruang tamu.
Bagi Saskia, pernikahan ini bukan hanya tentang Robin dan Vanessa, tapi juga cara untuk membuktikan sesuatu kepada Sofia. Ia ingin Sofia tahu bahwa putranya bisa bahagia tanpa dirinya.
Mikaila dan Reno, yang duduk di sofa, sesekali memperhatikan kesibukan nenek mereka.
"Nek, memangnya Tante Vanessa nggak mau nikah di hotel saja?" tanya Mikaila heran.
"Untuk apa buang-buang uang?" Saskia menepis pertanyaan itu. "Yang penting acaranya tetap elegan. Lagipula, kita harus menunjukkan pada orang-orang bahwa keluarga kita tetap harmonis setelah perceraian itu!"
Reno hanya mengangguk, meski dalam hati, ia merasa masih ada yang aneh dengan pernikahan ini.
Di sisi lain, Robin dan Vanessa sedang membahas tamu undangan.
"Kita tidak perlu mengundang banyak orang," kata Robin. "Aku tidak ingin Sofia mendengar tentang pernikahan ini dan membuat masalah."
Vanessa tersenyum penuh kemenangan. "Sofia sudah bukan siapa-siapa, Mas Robin. Kalau dia mau marah atau kecewa, itu bukan urusan kita."
Robin diam sejenak. Dalam hati, ia tidak bisa menghapus bayangan Sofia yang tampak begitu berbeda saat di pengadilan.
Kenapa setelah bercerai, justru Sofia terlihat semakin bersinar?
Saskia, yang mendengar percakapan mereka, tersenyum puas.
"Bagus. Setelah pernikahan ini, kita akan benar-benar menutup lembaran lama. Sofia bukan bagian dari keluarga kita lagi."
Semua orang di rumah itu sibuk mempersiapkan pernikahan Robin dan Vanessa, tanpa menyadari bahwa takdir telah menyiapkan kejutan besar untuk mereka.
🍃🍃🍃🍃
Sore itu, langit mulai berubah jingga saat Sofia keluar dari toko kain, membawa beberapa katalog pesanan di tangannya. Ia menghela napas panjang, kelelahan terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Sudah beberapa hari ini ia sibuk tanpa istirahat, dan kini tubuhnya menuntut balasan.
Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menusuk perutnya. Sofia terhuyung, tangannya mencengkeram perutnya yang terasa seperti diremas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Sial, miomanya.
Sofia mencoba mengatur napas, berusaha bertahan sambil melangkah menuju mobilnya. Namun, rasa sakit itu semakin menjadi. Lututnya melemas, dan akhirnya ia terduduk di aspal dengan wajah pucat pasi.
Di seberang jalan, Mikaila baru saja berjalan pulang bersama teman-teman sekolahnya. Mereka tertawa-tawa sebelum salah satu temannya, Rani, tiba-tiba berhenti dan mengernyit.
"Eh, bukannya itu ibu kamu, Mikaila?" tanya Rani sambil menunjuk ke arah Sofia yang terduduk di trotoar.
Mikaila menoleh. Matanya membelalak sesaat sebelum berubah menjadi tatapan sinis. Senyum miring terpasang di bibirnya. Dengan langkah santai, ia menyeberangi jalan, diikuti Rani dan teman-teman lainnya.
Saat sudah dekat, bukannya menunjukkan kepedulian, Mikaila justru mencibir.
"Hah, jadi begini caramu mencari perhatian sekarang, Nyonya?" ucapnya dingin. "Drama sekali. Mau cari belas kasihan? Setelah meminta cerai dari papa aku?"
Sofia mengangkat wajahnya dengan lemah, matanya nanar menatap anaknya sendiri.
"Mi ... Mikaila ...." suaranya bergetar.
Rani menatap Mikaila dengan tidak percaya. "Mikaila, serius? Itu ibumu! Dia benar-benar kesakitan!"
Mikaila mendengus sinis. "Jangan tertipu, Rani. Dia jago berpura-pura. Ini pasti cuma akting!" katanya dengan lantang.
Mikaila kemudian menatap orang-orang yang jendak mendekat ke arah Sofia. "Hei! Jangan sampai kalian tertipu dengan wanita ini. Dia hanya pura-pura!" seru Mikaila dengan suara lantang.
Sepertinya Mikaila lupa jika Sofia memiliki sakit mioma atau memang sengaja ingin memberikan pelajaran bagi Sofia.
Orang-orang yang tadinya hendak menolong Sofia terhenti karena mendengar ucapan Mikaila. Mereka mulai ragu, beberapa bahkan berbisik-bisik.
Sofia hanya bisa menatap putrinya dengan hati hancur. Anak yang ia lahirkan dan besarkan kini menganggapnya sebagai pembohong.
Rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Nafasnya tersengal, pandangannya mulai kabur.
Tiba-tiba, dua sosok membelah kerumunan dengan langkah cepat.
"Tante Sofia!" seru suara perempuan yang familiar.
Elleanor dan kakaknya, Edward, berdiri di sana, wajah mereka penuh keterkejutan. Begitu melihat Sofia yang nyaris pingsan, Elleanor langsung berlari mendekat.
Tanpa menunggu lama, Edward berjongkok dan meraih tubuh Sofia.
"Sial, dia pingsan!" katanya panik. Dengan cepat, ia mengangkat tubuh Sofia ke dalam gendongannya.
Mikaila yang melihat itu langsung melangkah maju dan mengangkat tangannya.
"Jangan bawa dia! Dia cuma pura-pura!" bentaknya keras.
Elleanor, yang dari tadi sudah menahan amarahnya, langsung menoleh dan menatap Mikaila dengan tatapan membara.
Plak!
Tanpa ragu, Elleanor menampar Mikaila hingga hampir terjatuh.
"Kau benar-benar gila, Nona?!" teriaknya penuh emosi. "Tante Sofia itu pingsan. Dan kau dengan teganya mengatakan dia pura-pura. Di mana hari nuranimu!"
Mikaila terkejut, begitu juga orang-orang yang ada di sana. Rani dan teman-teman Mikaila bahkan ikut mundur, merasa takut melihat amarah Elleanor.
"Kalau kau memang benci Tante Sofia, fine! Tapi jangan halangi kami untuk menolongnya! Dasar manusia laknat lebih laknat dari iblis kau!" lanjut Elleanor menunjuk-nunjuk ke arah Mikaila dengan wajah memerah.
Sementara itu, Edward yang sudah menggendong Sofia menoleh dengan wajah serius.
"Elle, ayo! Kita harus segera ke rumah sakit!"
Elleanor mendengus kesal ke arah Mikaila sebelum berbalik dan mengikuti Edward.
"Awas saja kau, kalau kita bertemu lagi!"
Mikaila hanya bisa berdiri di tempat, wajahnya merah karena amarah dan malu.
Sedangkan Sofia, dalam keadaan tak sadarkan diri, tak menyadari bahwa untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berdiri membelanya di depan putrinya sendiri.