"Mulai sekarang gue yang jadi tutor lo sampai ujian kenaikan kelas."
Awalnya Jiwangga hanya butuh Keisha sebagai tutornya, itupun dia tidak sudi berdekatan dengan anak ambis seperti Keisha.
Sayang seribu sayang, bukannya menjauh, Jiwangga malah dijodohkan dengan Keisha.
Lantas bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mashimeow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciyeng Ici dan Latihan
Keisha masuk ke dalam kelas XI IPA 1 sambil membawa kantung berisi makanan yang baru saja ia beli di depan sekolah. Cireng isi langganan dan es kelapa sirup. Hanya dengan melihat dua makanan itu saja sudah membuat Keisha lapar. Gadis itu menarik salah satu kursi lalu mendudukkan tubuhnya di sana.
Sebelum benar-benar menikmati kudapannya, ia tentu saja mengabadikan mereka ke dalam sebuah postingan di akun instagram rahasia miliknya. Akun yang berisi semua sambatan dan hal-hal yang tidak layak dipertontonkan untuk umum. Diedit sedemikian rupa ala-ala anak generasi z zaman sekarang.
Keisha menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Sorot pandang si cantik hanya tertuju pada cireng yang begitu menggoda. Apalagi ketika baru saja keluar dari wajan penggorengan. Masih hangat dan renyah.
“Satu suap penuh kebahagiaan banget sih ini,” ucap Keisha sambil menggigit satu potong cireng berukuran besar dengan isian ayam suwir pedas.
Selayaknya perempuan pada umumnya jika dihadapkan dengan makanan enak. Seolah ada iringan lagu yang membuat tubuh ikut bergerak dengan sendirinya. Kedua sudut bibir si cantik sontak terangkat naik begitu saja.
“Makan apaan tuh? Bagi dong.”
Kunyahan pada cireng itu seketika terhenti saat mendengar suara dengan intonasi berat dan dalam menyapa. Keisha menoleh pada sumber suara. Dari pintu masuk, ada Harvey yang tengah berjalan santai ke arahnya sambil membawa sebuah bola basket.
Pemuda bertubuh bongsor itu menarik salah satu kursi dan mendudukkan tubuhnya berbalik arah dengan kursi tersebut. Keisha dengan malas memberikan satu potong paling kecil cireng miliknya, walaupun jika dilihat lagi ukuran mereka tidak jauh berbeda pada Harvey. Ia menerima cireng pemberian dari Keisha dengan senang hati.
“Thanks,” kata Harvey.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Keisha.
Harvey menggigit cireng dari Keisha. “Iseng aja. Emang nggak boleh gue ke sini? Lagian sekolah juga bukan punya nenek lo,” balas Harvey tidak mau kalah.
“Ya santai aja sih nggak usah ngegas segala gitu loh. Kan gue cuma tanya aja.” Keisha meraih plastik berisi es kelapa sirup lalu meneguk cairan berwarna merah muda itu nikmat.
“Bikin ulah apa lagi lo sampai bikin Jiwangga ngamuk hari ini?” tanya Harvey.
“Nggak ada tuh. Kata siapa gue cari masalah sama Jiwangga.” Keisha mengendikkan bahunya acuh. Kembali gadis itu mengambil satu potong cireng isi dalam wadah. “Kebetulan aja pelajaran olahraga tadi lagi praktek dodgeball. Gue hanya melakukan apa yang disuruh sama Pak Herman. Jadi nggak salah dong kalau gue lempar ke sisi lawan,” bela Keisha.
“Ada nyali juga lo gangguin Jiwangga sampai berani ikat sepatunya di atas pohon mangga. Orang yang lo senggol ini Jiwangga Abram, emangnya lo nggak takut?” Harvey bertanya sambil melahap potongan terakhir cireng isi ayam suwir pedas di tangannya.
Keisha melihat ke arah pemuda itu dengan sebelah alis terangkat heran. Lalu semburat tawa lepas si cantik beri. “Kenapa juga gue harus takut sama seorang Jiwangga Abram? Selama dia menghindar terus, ya gue nggak akan pernah berhenti gangguin dia,” ucap Keisha. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju tong sampah terdekat.
“Wah lo parah banget sih. Jiwangga lagi jaga stamina banget buat tanding basket sama anak Arcapada minggu depan.” Harvey melirik ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sore. Pemuda itu lantas mengambil bola basketnya sambil memainkan benda bulat itu ke udara. “Mending lo pulang aja, Kei. Jiwa nggak mungkin datang, dia lebih pilih latihan basket buat tanding basket,” sambung pemuda itu.
“Kenapa lo bisa seyakin itu Jiwangga nggak bakal datang?” tanya Keisha.
“Karena gue sahabatnya. Jelas gue lebih tahu apa yang dia lakuin sekarang,” jawab Harvey santai.
Keisha mengangguk sekilas seolah mengiakan ucapan Harvey perihal pemuda itu menjadi si paling tahu tentang keadaan Jiwangga. Sambil menghabiskan sisa-sisa daging kelapa di esnya, Keisha mendapat sebuah ide brilian untuk rencananya membujuk Jiwangga datang ke kelas tutor. Perempuan cantik berambut kecoklatan panjang itu lantas menepuk pundak Harvey perlahan sambil tersenyum tipis.
“Gue mau pulang juga sih. But anyway thanks ya,” kata Keisha.
“Harusnya gue yang bilang makasih nggak sih? Sering-sering bagi cirengnya ya haha,” kekeh Harvey.
“Modal dong ya kali maunya gratisan terus,” cibir Keisha.
Harvey hanya tertawa setelah mendapat lirikan sinis dari Keisha. Suaranya begitu renyah sampai bergema hingga pemuda itu menghilang dari arah pandang si cantik. Lagi-lagi kesendirian menghampiri Keisha. Karena percuma juga menunggu seseorang yang tidak pasti akhirnya gadis itu memilih untuk pulang.
***
Lapangan basket sore hari ini tampak penuh. Diisi oleh sekumpulan pemuda yang sedang melakukan pemanasan ringan. Ada pula yang memilih untuk mengisi waktu dengan menggoda anak-anak ekstrakulikuler cheerleader yang sedang berlatih. Mereka berbagi satu lapangan kali ini.
Jiwangga mengikat kencang tali sepatunya agar nanti ketika latihan sudah dimulai tidak akan membuatnya jatuh. Pemuda berkulit sawo matang itu mengedarkan pandangan saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh ke arah pintu masuk melihat Harvey datang sambil memantulkan bola basketnya ke jalanan.
“Habis dari mana sih lo? Lama banget ambil bola doang,” tanya sewot Jiwangga.
“Mampir beli cireng tadi.” Harvey melemparkan bola basket ke arah sang sahabat.
“Terus sekarang mana cirengnya?” tanya Lucas.
“Nggak ada. Gue beli satu doang di sana,” ucap dusta Harvey.
“Lo kenapa kagak bilang dah, kan gue juga mau,” sahut River.
“Mumpung lagi ke depan juga tadi,” balas Harvey acuh. Pemuda itu menempatkan diri di antara ketiga teman-temannya sambil melakukan pemanasan. Dia merebut bola di tangan Jiwangga lalu berlari menuju ring dan melompat untuk memasukkan bola itu ke sana. “Rasa cirengnya biasa aja, lo nggak bakal suka sih Ver,” lontar Harvey kemudian.
Jiwangga memutar bola matanya jengah. Ia muak dengan pembahasan perihal makanan di tengah situasi latihan serius mereka. Pemuda itu lalu melemparkan tatapan tajam pada dua temannya. “Bisa nggak serius ke tanding dulu? Kita tampil minggu depan dan sisa waktu latihan udah nggak banyak lagi. Kalau sampai performa jelek ya bukan salah gue nanti lo pada kena damprat Pak Bimo,” tegur Jiwangga.
“Ya ini kan juga termasuk ke pemanasan, Jiw,” celetuk River.
Lucas menyenggol lengan River sedikit lebih kencang. “Turutin aja maunya Jiwa kenapa sih. Mood dia udah hancur dari tadi siang gara-gara Keisha ya, lo nggak usah nambah masalah,” bisik Lucas.
“Mulai aja sekarang biar baliknya nggak terlalu malam,” lerai Harvey.
Pembicaraan berhenti saat itu juga. Kelima pemuda itu sibuk mengoper bola ke sana dan ke mari sampai membuat suara gesekan antara sol sepatu dengan lantai begitu nyaring. Jiwangga selaku ketua tim memberi arahan pada sesama anggotanya untuk melakukan berbagai strategi saat mendekati ring lawan. Pula pemuda itu ikut bersorak heboh saat salah satu dari mereka berhasil mencetak skor.