Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 : Trapped in Hell
~Happy Reading~
Junseok yakin dirinya masih hidup.
Jantungnya masih berdegup kencang, paru-parunya masih mengembang dan mengempis, napasnya berburu dengan debaran jantung.
Dia terus berlari.
Dia harus menemukan Jiha sebelum terlambat.
Dia berlari kemudian berhenti di depan pintu besar. Terkunci. Putar ke kiri? Tidak. Ke kanan? Ayolah! Buka! Kumohon! Putar ke kanan? Pasti ke kanan. Ayo, pintanya. Buka! Buka! Gerendel yang kuat itu menjepret ke belakang.
"Bagus!" gumamnya.
Diputarnya pegangan pintu sekali lagi. Jantungnya berdebar-debar. Tangannya gemetar. Junseok menghambur di koridor yang suram.
Lari... jangan berhenti...
"Eh!" Junseok tersendat di tengah-tengah jalan, merasakan bagian bawah sepatunya menginjak serpihan-serpihan kaca yang bertebaran.
Dia membungkuk dan memungut satu pecahan. Firasatnya tidak enak. Sesuatu telah terjadi. Junseok celingukan. Kemana? Ke arah mana perginya?
"Jihaaa!" teriaknya. "Jihaa noona! Kau dimaaaanaaaa?!" Napas Junseok terengah-engah, dia menyeka keringat di dahi sambil membungkuk menghirup napas. "Aisssh... noona..."
Tidak boleh keluar. Harus menemukan Jiha!
Suara nyanyian samar-samar mencapai telinganya.
Junseok bersandar di tembok, membiarkan nyala api dari pemantik di tangannya padam, dia kembali menarik napas dalam-dalam mencoba memperlambat getaran denyut nadinya.
Ada suara gumaman pelan mencapai telinga Junseok.
Dia menjentikkan pemantik api dan berdiri, mendengarkan dengan seksama. menjauh dari dinding.
"Hmm, hmm, hmm."
Suara perempuan bersenandung, samar tapi jelas.
"Halo?" panggil Junseok. Suaranya bergema, dan dengungan gadis itu berhenti.
Junseok lagi-lagi gelisah.
"Hmm, hmm, hmm."
Dari arah depan sebelah kanan. Junseok mengikuti dari mana datangnya suara itu. Ternyata berasal dari sebuah pintu kecil. Pintu itu lebih kecil dari pintu-pintu yang telah dia lewati, tingginya tidak lebih dari tinggi pria dewasa. Junseok berdiri di depannya.
"Hmm, hmm, hmmm."
Hening.
"Halo?" bisik Junseok. Dia meletakkan tangannya di kenop, jantungnya berdebar kencang.
Ayolah, jangan seperti pengecut. Buka saja!
Junseok memutar gagang pintu dan menarik pintunya hingga terbuka.
Ruang penyimpanan. Seorang gadis duduk di lantai, punggungnya bersandar di tembok. Wajahnya pucat, dan matanya tertutup.
Nyala api di tangan Junseok padam, melemparkannya ke dalam kegelapan. Dia bolak-balik menyalakan pemantik, putus asa, membungkuk di ambang pintu menatap si gadis yang kedua matanya tertutup.
Mata gadis itu tiba-tiba terbuka.
Junseok berteriak sambil membanting pintu.
Gadis itu cekikikan.
"Hmm, hmm, hmm."
Dia masih hidup? Lalu kenapa dia kelihatan seperti sudah mati?
Bodoh! Bagaimana caranya dia bisa bersenandung jika dia sudah mati? Bodoh! Dia masih hidup!
Junseok galau antara membuka pintu atau pergi saja, biarkan gadis itu menyanyi sepuas hati.
"Hmm, hmm, hmm."
Junseok melangkah ke pintu, memaksa ketakutannya untuk lenyap, dia buka sekali lagi.
Kaget ternyata ruang penyimpanan tadi hilang. Sebagai gantinya dia menemukan sebuah ruangan kecil yang dipenuhi dengan sampah-sampah plastik, diterangi cahaya lampu remang-remang.
Gadis itu berdiri di belakang Junseok sekarang. "Booo!" pekiknya keras-keras.
"Haaishh!" Junseok terperanjat dan agak melompat saking kagetnya. "Astaga astaga..." dia mengelus-ngelus dada. "Tolong jangan lakukan itu. Kenapa kau bisa ada di belakangku?"
Gadis itu tertawa cekikikan, senang sekaligus puas sekali.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Junseok. "Kenapa kau sembunyi di dalam sana?"
"Apa aku terlihat baik-baik saja?" balasnya rada nyolot. "Siapa namamu?"
"Aku... Jeon Junseok." Dia menelan ludah. "Aku dan teman-temanku terjebak di sini."
Gadis itu mengamati Junseok secara seksama. "Junseok... kau mirip seseorang."
Seseorang? Junseok bingung, tapi lebih penasaran dengan nama gadis ini. "Kau siapa?"
"Jisoo," katanya. "Apa kau sendirian?"
"Aku bersama teman-temanku, tadinya kami bertujuh. Lalu orang-orang gila ini muncul."
Ekspresi Jisoo berubah serius. "Ada yang salah dengan tempat ini."
Junseok mengernyit, lagi-lagi dibuat bingung oleh ucapan Jisoo.
"Sudah berapa lama kau duduk di dalam lemari kecil itu?" tanya Junseok.
Bukannya menjawab, Jisoo malah celingukan waspada. "Kita harus bergegas. Atau mereka akan menemukan kita."
"Apa kau tahu Jiha noona pergi ke arah mana? Kau lihat dia?"
"Siapa Jiha?"
"Salah satu dari kami bertujuh. Tingginya sama denganmu, dia mungil, berambut panjang, pakai blus kuning. Aku cukup yakin dia ada di sekitar sini." Junseok menatap sekeliling.
"Ikut aku." Jisoo berlari cepat... bukan—melayang! Kedua kakinya tidak menapak lagi di tanah. Dia melayang!
Junseok diam sejenak. Ragu-ragu. Bisakah dia memercayai gadis ini?
Kelamaan mikir, Jisoo keburu jauh.
Junseok melotot. Cewek itu kenapa sih?
"Hei tunggu!"
.
.
.
Jangwoo memeriksa melalui lubang intip dan melihat Jiha berbaring di tempat tidur menatap langit-langit. Dia menekan kombinasi tombol, mendorong pintu hingga terbuka.
Jiha melompat berdiri. Rambutnya berayun ke depan menciptakan tirai di sekitar wajahnya. Roknya tepat di atas lutut, memeluk pinggul dan pahanya. Jiha berdiri di samping tempat tidur.
Jangwoo masuk membawa tas perlengkapan, kamera, mengepit tripod di ketiaknya. Dia mendorong pintu menggunakan satu kaki, namun tidak benar-benar menutup, pintu di belakangnya masih menyisakan celah.
Mata Jiha tertuju sekilas ke sana.
Pria itu tersenyum puas melihat Jiha mengenakan semua yang dia beli, stoking, bra berenda hitam, dan gaun sutra pink. Dia memakai make up, lipstik warna merah, lebih cerah dari biasanya dan bulu matanya tebal dipoles maskara.
"Sempurna," Jangwoo meletakkan tripod di lantai. "Sempurna."
Jiha tidak mengatakan apa-apa. Dia terus-terusan menunduk menatap lantai, dan Jangwoo bisa mencium rasa takut dan kecemasan gadis itu.
Pria itu berdiri di depannya dan membelai sisi wajahnya. Menyelipkan ibu jari di antara bibir Jiha, masuk ke dalam mulutnya yang hangat dan basah. Tanpa diminta, Jiha mengisap dengan lembut seperti bayi yang menyusu, matanya tertutup. Jangwoo menggerakkan ibu jarinya masuk dan keluar, perlahan. Kali ini dia merasakan lidah Jiha menjilatinya dengan gerakan sensual. Tangan satu lagi membelai dadanya, mengelus di sepanjang perut rata Jiha, turun dan mengelus di antara kedua pahanya.
"Buka matamu! Lihat aku!"
Jiha menurut.
Pria itu tersenyum saat Jiha mengisap ibu jarinya penuh penghayatan. Giginya dengan lembut mengenai kulitnya. Jangwoo menyukai itu. Dia suka gadis cantik yang patuh dan terlatih.
Gadis ini sudah pasti akan melakukan apa pun yang dimintanya.
Jiha terus mengisap, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Jangwoo. Perlahan-lahan dia menarik keluar jempol dari bibir ranum dan merah milik Jiha.
Jangwoo memasang tripod dan mengatur kamera video supaya mengarah ke tempat tidur. Jiha berdiri di sana, kepala tertunduk. Jangwoo memeriksa layar untuk memastikan semuanya masuk dalam frame termasuk Jiha. Jangwoo tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama ketika seperti pertama kali, dua jam rekaman tidak kelihatan apa-apa selain ujung tempat tidur dan suara seorang wanita terisak-isak.
"Jiha, angkat kepalamu, lihat ke kamera."
Kepalanya tersentak ke atas seolah-olah dia boneka yang digerakkan seorang dalang, matanya membelalak dan ketakutan.
"Home movie," ucap Jangwoo.
Air mata meluncur turun kesekian kalinya di pipi Jiha. Dia bergidik seolah-olah angin dingin bertiup di punggungnya. "Mengapa kau melakukan ini?"
Dia tersenyum ramah. "Karena aku mau," ucapnya. "Karena aku bisa."
"Tolong biarkan aku pergi," pinta Jiha.
"Suatu saat kau akan pergi," sahut Jangwoo ambigu.
"Apa suatu saat aku boleh pergi?" Jiha ragu-ragu, seolah takut Jangwoo akan berubah pikiran.
"Tentu saja," Jangwoo berbohong.
Jiha menelan ludah, menggigit bibir. "Apa aku boleh menelepon keluargaku?"
Jangwoo tertawa terbahak-bahak, suaranya bergema di sekitar ruangan seperti tembakan pistol. "Tidak, Jiha, aku tidak bisa mempercayaimu untuk melakukan itu."
"Mereka akan mengkhawatirkan aku..." cicitnya. "Mereka akan mencariku."
"Aku yang akan menelepon mereka dan memberi tahu mereka bahwa kau baik-baik saja. Kau akan segera kembali."
Harapan di mata Jiha menyala seperti suar. "Kau akan memberitahu mereka? Kau sudah menelpon mereka?"
"Tentu saja," Jangwoo kembali berdusta. "Tapi pertama-tama, kau harus melakukan sesuatu untukku. Oke?"
Jiha mengangguk.
"Buka bajumu."
Jiha mulai menangis, tetapi tetap melakukan apa yang diperintahkan. Rambut panjangnya jatuh ke depan wajah saat tangan Jiha meraih risleting di punggung.
"Lantai," ucap Jangwoo. "Letakkan semuanya di lantai."
Jiha melakukannya perlahan-lahan, berusaha mengulur waktu sebanyak mungkin, menunda gaun itu terlepas. Dia tidak sadar itu malah menstimulasi gairah, yang membuat darah berdetak di telinga dan keringat mengalir di punggung.
Jiha berniat melipat gaunnya dan meletakkannya di tempat tidur.
"Tidak tidak!" sergah Jangwoo. "Sudah kubilang biarkan jatuh ke lantai!"
Jangwoo menginginkan tempat tidur itu untuk mereka berdua nanti dan itu akan merusak momen karena harus memindahkan pakaian dari tempat tidur.
Jiha mengambil gaun itu dan membiarkannya jatuh ke lantai. Saat dia bergerak payudaranya mengayun ke depan memungkinkan Jangwoo untuk melihat belahan dadanya yang menggiurkan.
Jiha mendongak sedikit untuk melihat reaksi pria itu.
Pria itu menggigil dengan antisipasi yang begitu kuat.
Jiha menegakkan tubuh. Dia berhenti menangis. Ada tatapan arogan di matanya. Jangwoo tahu apa yang ada di pikiran gadis kecil itu. Gadis ini sadar apa efek tubuhnya pada pria, dan dia berharap itu akan memberi efek yang sama terhadap Jangwoo. Dugaan Jangwoo, Jiha pasti pernah melepas pakaian di depan laki-laki sebelumnya, dan tatapan lapar para pria di tempat tidur selalu membuatnya merasa menang. Jiha melihat jauh ke dalam mata Jangwoo sambil tangannya meraih tali bra. Dia ingin melihat bagaimana pria itu bereaksi, mengetahui bahwa pandangan Jangwoo masih terpaku ke payudaranya.
Jiha menjilat bibirnya dengan gugup saat tatapan lapar Jangwoo melihat tubuhnya dari ke atas dan ke bawah. Stoking hitam membuat kaki ramping Jiha tampak jenjang, perutnya rata, payudaranya besar dan menantang.
Jiha menyisipkan sehelai rambut yang tersesat di wajahnya kembali di belakang telinganya. Sementara Jangwoo melirik ke kiri untuk meyakinkan diri bahwa camcorder sedang merekam dengan benar.
"Aduh... bra ini kaitannya tersangkut," ujar Jiha sambil meringis. "Bisa bantu aku? Please?"
"Jangan bercanda, aku tidak akan termakan tipuan kecilmu!"
"Aku tidak bercanda!" Jiha tampak kesulitan membuka kaitan di belakang. "Memang tidak mau terbuka!"
Jangwoo nyaris meledak karena panik dan emosi. "Bagaimana ceritanya pakaian dalam baru tidak bisa dibuka? Itu bukan bra karatan!"
"Kalau tidak percaya coba periksa sendiri," tantang Jiha. "Kau yang buka!"
Jangwoo menelan ludah.
"Ayo!" tantang Jiha, sorot matanya berani. "Kemari dan buka dengan tanganmu!"
"Oke." Jangwoo langsung mendekat tanpa pikir dua kali. "Mana sini kulihat."
Tangan Jiha terlepas dari kaitan, sementara pria itu berdiri dekat sekali dengannya, kedua tangannya berada di punggung Jiha, berusaha membuka kaitan. Ternyata orang ini tinggi juga. Sayangnya dia tidak pantas mendapat belas kasihan. Tangan Jiha bergerak cepat. Matanya menatap mata Jangwoo yang gelap. Pria itu terlalu fokus membuka kaitan di punggung Jiha. Kedua jari telunjuk Jiha menelusup masuk dari bawah, mengambil dua patahan pensil alis. Lalu dengan secepat kilat pula dia tusuk mata pria itu, dua-duanya, menggunakan pensil alis. Tusukan Jiha tidak dalam, pensil itu tidak sampai menancap, tapi berakibat fatal karena sekarang Jangwoo terhuyung mundur sambil berteriak kesakitan menutupi matanya.
Jiha berlari ke pintu namun pria itu lebih cepat, dengan pandangan kabur dia melihat gadis itu nyaris mencapai pintu. Jangwoo menangkap dan mendorong tubuh cewek itu dengan kuat. Punggung Jiha menghantam duri-duri kaktus yang mencuat. Duri-duri itu menghujam kulit Jiha.
Jiha meringis kesakitan, kedua alisnya berkerut, napasnya terengah-engah. Jiha menggigit bibir.
"Ekspresi yang bagus," Jangwoo tersenyum mengejek, matanya merah parah seperti mata siluman. "Aku suka itu. Tetap begitu. Biar kupotret."
Bagus. Pergilah ambil kameramu, pikir Jiha.
Ternyata Jangwoo tidak pergi mencari kamera. Dia malah menyusun jari-jarinya membentuk lingkaran dan meletakkannya di depan mata, pura-pura menyetel fokus. "Ayolah, Jihaie," ucap Jangwoo dengan suara serak. "Jangan melawan kali ini."
Jiha menyepak pergelangan kaki Jangwoo. Tapi tendangan kaki kecil Jiha tidak ada artinya.
Jangwoo tertawa lagi. Tawanya gila, kejam.
"Lepaskan aku!" Jiha menjerit.
Jangwoo ingin menyentuh pipi Jiha. Namun gadis itu malah menggigit tangannya kuat-kuat.
"Aduh!" teriak Jangwoo.
Dengan segenap tenaga Jiha bangkit dan kembali berlari ke pintu.
Jangwoo spontan menjegal dan membanting Jiha ke lantai. Tulang pipi Jiha menghantam karpet. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Jiha mencoba merangkak menjauh. Jangwoo menangkap pergelangan kakinya dan mulai menyeretnya melintasi lantai.
Jiha mencengkeram karpet. "Please..." ucapnya memohon. "Lepaskan aku. Kenapa kaulakukan ini?"
"Kau tak bisa lagi berbuat seenakmu, sayang..." Jangwoo terkekeh geli. "Kau harus menuruti keinginanku."
Pria itu melepaskan cengkraman dari pergelangan kaki Jiha, berjalan menjauh.
Melihat kesempatan emas, Jiha kembali merangkak berusaha menggapai pintu. Tiba-tiba dua benda tajam menembus dalam-dalam betis kanan dan kirinya secara bersamaan. Itu pisau roti. Air mancur merah mengucur dari betisnya yang robek. Teriakan Jiha lolos dari celah pintu, bergema ke luar ruangan. "Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami