Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ada jalan kembali
Arka berdiri di depan jendela apartemennya, memandang ke kota yang mulai gelap. Lampu-lampu kota menyala, memantulkan bayangan-bayangan redup di kaca. Pikiran Arka penuh dengan kekacauan. Di tangannya, ada foto Kirana yang ia temukan di amplop cokelat tadi malam. Foto itu menunjukkan wanita itu sedang berbicara dengan seseorang yang wajahnya tak terlihat. Di sudut foto, ada tanggal dan waktu yang jelas, hanya beberapa hari yang lalu.
Kirana. Nama itu terus menghantui pikirannya. Dia ingat pertama kali melihat Kirana dari kejauhan, di sebuah tempat kejadian perkara. Wajahnya terlihat tenang, tapi sorot matanya menyimpan banyak luka. Wanita itu tampak seperti seseorang yang sedang melarikan diri, bukan hanya dari hukum, tapi juga dari hidupnya sendiri.
Arka mencoba mengabaikan pikirannya. Dia seorang detektif, tugasnya jelas, menangkap Kirana dan menyerahkannya pada keadilan. Tapi sesuatu dalam dirinya mulai memberontak.
"Apa kau benar-benar percaya dia bersalah?" suara batin itu terus bertanya.
Arka membuka amplop cokelat itu lagi dan mengeluarkan benda kecil. Ada bukti rekaman pengakun Kirana. Bukti ini cukup untuk menjatuhkan wanita itu ke penjara selama bertahun-tahun. Tapi saat Arka memeriksa lebih dalam, dia menemukan kejanggalan.
Arka memijit pelipisnya, mencoba menyusun potongan puzzle ini. "Tidak mungkin dia melakukan ini seorang diri."
Namun, jika Kirana memang tidak bersalah, kenapa dia terus melarikan diri? Kenapa dia tidak menyerahkan diri dan membersihkan namanya?
---
Malam itu, Arka memutuskan untuk menunggu Kirana. Dia tahu wanita itu sering datang ke taman kota pada malam hari. Tempat itu sepi, hanya dihiasi lampu-lampu jalan yang redup. Arka menunggu di balik pohon besar, mencoba menyembunyikan keberadaannya.
Benar saja, tidak lama kemudian, Kirana muncul. Dia berjalan perlahan, seperti seseorang yang membawa beban berat di pundaknya. Rambut panjangnya terurai, dan langkahnya ragu-ragu.
Arka menggenggam pistolnya dengan erat. Ini adalah kesempatan emas untuk menangkapnya. Tapi saat dia melangkah keluar dari persembunyiannya, Kirana berbalik, dan mata mereka bertemu.
"Kau mengikutiku," kata Kirana dengan suara pelan, tanpa rasa terkejut.
Arka terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Wanita di depannya tidak terlihat seperti kriminal berbahaya. Ada ketenangan dalam tatapannya, tapi juga kelelahan yang mendalam.
"Arka," suara Kirana memecah kesunyian di antara mereka. "Aku tahu kau datang untuk menangkapku. Aku tidak akan lari lagi."
Kirana mengulurkan tangannya dengan tenang, menyerahkan dirinya tanpa perlawanan. "Mengenalmu telah mengubah hidupku, Arka. Aku tahu kau orang yang benar, dan aku tak ingin terus bersembunyi. Aku ingin ini berakhir."
Arka merasakan dadanya sesak. Tangannya gemetar saat ia mengambil borgol dan menguncikannya di pergelangan tangan Kirana. Ada sesuatu yang begitu memilukan dalam momen ini, Kirana yang dulu ia anggap sebagai kekasihnya, bahkan seseorang yang ia kagumi, kini berdiri di hadapannya sebagai tersangka.
Tanpa sepatah kata, Arka membawa Kirana keluar dari apartemen itu menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju kantor polisi, suasana di dalam mobil begitu sunyi. Hanya suara mesin yang terdengar.
"Arka," kata Kirana tiba-tiba, memecah keheningan.
Arka meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Apa?"
"Terima kasih. Karena telah mencariku, meskipun akhirnya begini. Kau tahu, aku tidak pernah benar-benar merasa hidup sampai aku mengenalmu."
Arka tidak tahu harus merespons apa. Kalimat itu membuat hatinya terasa berat.
---
Di kantor polisi, Kirana dibawa langsung ke ruang interogasi. Arka duduk di luar, mengawasi dari balik kaca satu arah. Wajahnya datar, tetapi pikirannya terus berkecamuk.
Di dalam ruangan, seorang petugas interogasi mulai bertanya. "Kirana, Anda tahu kenapa Anda berada di sini?"
Kirana, dengan wajah tanpa ekspresi, mengangguk. "Saya tahu."
"Apakah Anda mengakui terlibat dalam serangkaian pembunuhan yang terjadi selama enam bulan terakhir?"
Untuk sesaat, ada keheningan. Kemudian, dengan suara yang tenang, Kirana menjawab, "Ya. Saya pelakunya."
Arka yang mendengar pengakuan itu dari luar ruang interogasi merasakan tubuhnya melemas. Kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar. Kirana benar-benar mengakui semuanya.
"Kenapa Anda melakukannya?" tanya petugas interogasi dengan nada tegas.
Kirana menatap meja di depannya, lalu perlahan mengangkat pandangannya. "Mereka semua pantas mendapatkannya," katanya dengan suara dingin. "Setiap orang yang aku bunuh telah merusak hidup orang lain. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."
"Apa yang Anda maksud dengan merusak hidup orang lain?"
Kirana tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak sampai ke matanya. "Mereka semua adalah bagian dari sistem yang korup, penuh kebusukan dan seorang pengkhianat. Mereka menghancurkan banyak kehidupan demi keuntungan mereka sendiri. Aku hanya membalas apa yang mereka lakukan."
Arka merasa perutnya mual mendengar penuturan Kirana. Dalam benaknya, ia mengenang sosok Kirana yang dulu—seorang wanita cerdas, tenang, dan penuh perhatian. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi seseorang yang bisa melakukan hal seperti ini?
"Apa Anda menyesal?" tanya petugas itu lagi.
Kirana menggeleng pelan. "Tidak. Aku hanya menyesal karena harus melibatkan Arka dalam ini. Dia tidak seharusnya tahu."
Setelah sesi interogasi selesai, Kirana dibawa kembali ke ruang tahanan sementara. Arka meminta waktu untuk berbicara dengannya.
"Kenapa, Kirana?" tanya Arka ketika mereka akhirnya sendirian. "Kenapa kau melakukan ini?"
Kirana menatapnya dengan tatapan lembut yang anehnya terasa menyesakkan bagi Arka. "Aku tahu kau tidak akan memahaminya, Arka. Kau orang yang hidup dengan aturan, dengan moralitas yang jelas. Tapi aku... aku tidak punya itu. Semua yang kulakukan hanyalah untuk bertahan, dan untuk membalas."
Arka menggeleng, mencoba mencari kata-kata. "Kirana, kau bisa memilih cara lain. Kau bisa melaporkan mereka, kau bisa mencari keadilan tanpa harus mengambil nyawa orang lain."
"Keadilan?" Kirana tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepahitan. "Keadilan tidak pernah nyata, Arka. Dunia ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kadang-kadang, kita harus menjadi monster untuk melawan monster."
Arka terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai.
"Tapi aku tidak akan melawanmu, Arka," lanjut Kirana. "Kalau kau percaya bahwa aku harus dihukum, maka lakukanlah. Aku akan menerima apa pun keputusanmu."
Arka menunduk, merasakan beban yang luar biasa di pundaknya. Ia tahu bahwa tugasnya sudah selesai, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Wanita yang ia kenal atau setidaknya yang ia pikir ia kenal, telah membuat pilihan yang menghancurkan segalanya.
Ketika Kirana dibawa pergi ke ruang tahanan, Arka hanya bisa berdiri di sana, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Di dalam hatinya, ada satu pertanyaan yang terus menghantui:
"Apakah aku melakukan hal yang benar, atau aku baru saja menghancurkan hidup seseorang yang sebenarnya masih bisa diselamatkan?"
"Pak Arka, apakah Anda baik-baik saja?" tanya Bayu khawatir.
Arka tidak menjawab, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia merasa telah melakukan kesalahan dengan membiarkan mereka membawa Kirana menuju jeruji besi.