"Aku pikir, kamu malaikat baik hati yang akan membawa kebahagiaan di hidupku, ternyata kamu hanya orang sakit yang bersembunyi di balik kata cinta. Sakit jiwa kamu, Mas!"
Kana Adhisti tak menyangka telah menikah dengan lelaki sakit jiwa, terlihat baik-baik saja serta berwibawa namun ternyata di belakangnya ada yang disembunyikan. Akankah pernikahan ini tetap diteruskan meski hati Kana akan tergerus sakit setiap harinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran Panas
Adnan dan Kana terlibat dalam pertengkaran yang semakin memanas. "Ap-apa? Guling? Guling apa? Ngaco, kamu! Pasti kamu salah lihat, Kana. Rara masih hidup!" Adnan tak terima saat Kana mengatakan kalau Rara yang ia sayangi hanyalah sebuah guling.
"Mas, sadar. Mbak Rara sudah tiada!" balas Kana.
"Tidak. Rara masih hidup. Kamu tak tahu dan tak pernah tahu!" balas Adnan tak mau kalah.
"Aku tahu. Mbak Rara sudah meninggal karena sakit. Kenapa sih Mas harus mengingkari kenyataan ini?" balas Kana.
"Kamu yang mengingkari kenyataan kalau Rara istri pertamaku baik-baik saja!" balas Adnan.
"Baik-baik bagaimana, Mas? Sadar dong! Mbak Rara sudah meninggal!"
Setelah berdebat panjang mengenai keberadaan Rara, Adnan akhirnya tersudut dan marah besar. Ia tidak terima dengan tuduhan Kana bahwa Rara sudah tiada.
Dalam kemarahannya, Adnan menantang Kana untuk membuktikan ucapannya. "Kalau kamu merasa Rara sudah meninggal, apa buktinya?"
Kana yang sudah muak dengan kebohongan Adnan, memutuskan untuk mengakhiri semuanya. "Baik, akan kubuktikan ucapanku!"
Dengan penuh keberanian, Kana mengajak Adnan ke kamar utama. Kana berdiri di depan pintu kamar utama, di depan mata Adnan, Kana membuka pintu kamar utama yang selama ini dikunci dengan mudahnya. Tentu saja Kana tahu dari buku diary milik Rara yang sudah ia baca semuanya.
Mata Adnan membola melihat Kana yang dengan mudahnya membuka pintu kamarnya padahal selama ini hanya dirinya dan Bu Erin yang tahu. "Ka-kamu? Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu memata-mataiku saat masuk ke dalam?" tanya Adnan.
Kana tak menjawab pertanyaan Adnan. Bak sudah hafal dengan tata letak kamar utama, Kana menyalakan lampu lalu berjalan menuju ranjang. "Kamu bilang apa tadi? Aku tak punya bukti?" tanya Kana.
Mata Adnan terbelalak melihat Kana menyingkap selimut yang menutupi guling yang didandani bak Rara. Ia mengangkat guling tersebut tinggi-tinggi, membuat Adnan terlihat ketakutan saat guling yang dianggapnya sebagai Rara tersebut akan terluka. "Kana, apa yang kamu lakukan? Turunkan Rara! Jangan kau sakiti dia!" perintah Adnan.
"Ini yang kamu anggap Mbak Rara? Ini bukan Mbak Rara, Mas! Sadar kamu, Mas!" pekik Kana.
"Kamu yang sadar, Kana! Kamu sudah menyakiti Rara-ku! Turunkan sekarang juga!" perintah Adnan dengan mata melotot marah.
"Mas, lihat sendiri dengan mata kepalamu! Ini hanya sebuah guling yang dihias dengan wig dan dipakaikan baju! Ini bukan Mbak Rara!" balas Kana.
Adnan meneriaki Kana, "Diam! Itu bukan guling. Itu Rara! Jangan kau sakiti Rara-ku!"
"Rara-mu? Rara-mu sudah tidak ada, Mas! Kamu harus sadar!"
Adnan berusaha merebut guling itu dari tangan Kana. Terjadilah pergumulan singkat antara mereka. Dalam kekacauan itu, wig yang menutupi guling terlepas. Adnan terdiam menatap guling itu dengan tatapan kosong. "Rara? Ya Tuhan, Sayang." Adnan nampak shock.
Dengan tatapan marah, Adnan kembali memaki Kana. "Kamu menyakiti Rara, Raraku! Kamu wanita jahat!"
"Oh ya? Maka aku akan semakin menyakiti guling ini!" Kana mengangkat guling tersebut lalu merobeknya dengan sekuat tenaga lalu melemparnya ke lantai.
"Jangaaaan!" Adnan berlari ke arah guling yang Kana buang. Ia memeluk guling yang dianggapnya sebagai Rara dengan tatapan marah. "Kamu tidak boleh menyakitinya! Rara itu baik! Kamu jahat, Kana! Kamu jahat bak iblis!" teriaknya histeris.
Kana hanya menggelengkan kepala, merasa kasihan namun juga marah. "Mas, sadarlah! Itu hanya sebuah guling!"
"Tidak! Dia hidup! Dia adalah Raraku. Istriku!" Adnan semakin erat memeluk guling itu.
Mendengar suara orang yang sedang bertengkar, Bu Erin dengan tergopoh datang dan melihat pertengkaran hebat antara Kana dan Adnan. Bu Erin melihat kondisi Adnan dan Kana yang kacau, Bu Erin langsung mendekati mereka. "Tuan Adnan, Nyonya Kana, ada apa ini?"
Adnan menoleh ke arah Bu Erin. Sambil memeluk guling yang sudah koyak, Adnan menangis, mengadu pada Bu Erin. "Dia menyakiti Rara, Bu!" tunjuknya ke arah Kana. "Dia jahat pada Rara kita."
Bu Erin menghela napas panjang. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Dengan lembut, Bu Erin mencoba melepaskan guling yang sudah koyak tersebut dari pelukan Adnan. "Tuan Adnan, mari kita bicara baik-baik."
Adnan menolak untuk melepaskan guling itu. Ia terus menangis dan berteriak-teriak memanggil nama Rara. "Rara! Huaaa ... Rara! Kasihan sekali nasibmu huaaa .... Kamu jahat, Kana! Kamu menyakiti Rara yang sangat baik! Apa salah dia sama kamu? Dia bahkan mau berbagi suami denganmu! Kamu wanita serakah. Jahat. Iblis!"
Kana merasa sangat lelah. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia hanya ingin Adnan segera sadar dan menerima kenyataan kalau Rara sudah tiada. Hatinya sudah sangat sakit. Suami yang ia anggap sebagai pelindung dan ia cintai malah memakinya serta mengatainya jahat bak iblis.
"Tuan Adnan, anakku Rara sudah lama tiada. Bukankah Tuan hadir di pemakamannya? Tuan saat itu memakai baju serba hitam. Tuan menguburkan Rara tepat di samping kuburan almarhum suamiku, Tuan Adnan ingat tidak?" bujuk Ibu Erin dengan lembut.
Adnan menggelengkan kepalanya. "Rara belum meninggal, Bu. Rara masih hidup," kata Adnan bak anak kecil yang sedih saat mainannya rusak.
"Tuan harus terima kenyataan ini. Kita memang berat menerimanya karena kita berdua amat menyayangi Rara. Nyonya Kana benar, jika kita terus berbuat seperti ini, kita akan membuat Rara semakin sedih. Tuan mau Rara tak bahagia di sana?" bujuk Bu Erin.
Adnan kembali menggelengkan kepalanya. "Tapi Rara masih hidup 'kan, Bu?"
Kana menghela nafas dalam. Hatinya bimbang, antara cemburu, marah, sedih dan kasihan melihat Adnan yang biasanya terlihat gagah dan tampan kini terlihat sakit.
Ting tong!
Suara bel pintu berbunyi.
Kana pergi membukakan pintu. Tak lama Kana datang bersama seorang laki-laki. "Dok, tolong sembuhkan suamiku. Aku tak mau melihatnya seperti ini terus," pinta Kana.
Dokter Rendy datang menepati janjinya pada Kana. Kana sengaja menghubungi Dokter Rendy, salah seorang dokter kenalannya yang bisa dipercaya. Kana menceritakan semua pada Dokter Rendy tentang keadaan Adnan. Ia meminta dengan sangat agar Dokter Rendy merahasiakan perihal penyakit Adnan. Kana tak mau berita ini tersebar luas karena akan merusak karir Adnan dan nama baiknya di mata masyarakat.
Dokter Rendy mengamati Adnan yang sedang memeluk guling sambil menangis dengan tatapan iba. Di depannya nampak seorang politikus hebat yang pintar dan terkenal bijak serta merakyat namun kondisinya kini amat memprihatinkan. "Aku akan periksa Pak Adnan dulu. Tolong tinggalkan kami berdua."
Kana dan Bu Erin menunggu dengan cemas saat Adnan diperiksa oleh Dokter Rendy. Kana tak tenang. Ia sampai bolak-balik menunggu Dokter Rendy selesai memeriksa dan keluar dari kamar utama. "Tenanglah, Nyonya Kana. Tuan Adnan pasti baik-baik saja," kata Bu Erin mencoba menghibur Kana.
"Semoga saja, Bu. Aku ingin Mas Adnan sembuh dari rasa kehilangannya," balas Kana.
Setelah memeriksa Adnan secara menyeluruh, Dokter Rendy keluar dari kamar dan menemui Kana dan Bu Erin. Wajah Dokter Rendy tampak serius.
"Bagaimana keadaan suamiku, Dok?" tanya Kana tak sabaran.
"Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan bahwa Bapak Adnan mengalami gangguan psikologis yang cukup serius. Kita harus memeriksanya lebih dalam dan melakukan beberapa tes agar lebih pasti. Ini adalah kondisi yang bisa diatasi, namun membutuhkan perawatan intensif dan dukungan dari orang-orang terdekatnya," ujar Dokter Rendy.
Kana dan Bu Erin saling pandang, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. "Aku mau suamiku sembuh, Dok. Katakan, apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanya Kana lirih.
"Pertama, Tuan Adnan perlu dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Kedua, beliau membutuhkan terapi psikologis untuk membantu mengatasi trauma dan pikiran-pikiran negatifnya. Ketiga, dukungan dari keluarga sangat penting dalam proses penyembuhan, kalian harus sering mengunjunginya serta menghiburnya," jelas Dokter Rendy.
"Ap-apa? Dirawat di rumah sakit? Maaf, Dok, apa tidak bisa dilakukan terapi dengan dokter datang ke rumah ini saja secata rutin?" protes Kana. Banyak yang membuat Kana berat membawa Adnan ke rumah sakit. Kana tak mau karir Adnan hancur kalau masyarakat tahu dirinya mengidap penyakit kejiwaan. Kana takut ketika Adnan sembuh, ia tak lagi punya semangat hidup karena karir politiknya sudah hancur.
Dokter Rendy menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Kana. Banyak yang harus kami lakukan. Pak Adnan tak bisa dibiarkan terus larut dalam imajinasinya, bisa saja ia melakukan hal yang berbahaya suatu hari nanti. Namun kamu tenang saja, kami akan menempatkan Pak Adnan di tempat khusus. Kami jamin tak akan ada yang membocorkan keberadaan Pak Adnan di rumah sakit kami."
Kana memikirkan ucapan Dokter Rendy. Ia bimbang, di satu sisi Kana ingin Adnan sembuh namun di sisi lain ia menjaga apa yang selama ini Adnan jaga, yakni nama baiknya.
"Apa yang menyebabkan kondisi Tuan Adnan seperti ini, Dok?" tanya Bu Erin dengan suara bergetar di kala Kana sedang berpikir akan mengambil keputusan apa.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara dan informasi yang saya dapatkan, saya menduga bahwa kondisi Tuan Adnan ini dipicu oleh trauma yang mendalam akibat kehilangan orang yang amat dicintainya. Kehilangan Ibu Rara telah memberikan dampak yang sangat besar pada psikologis beliau sehingga beliau menciptakan imajinasinya dengan membuat sesuatu agar sosok Rara tetap hidup," jawab Dokter Rendy.
Kana merasa hatinya hancur mendengar penjelasan Dokter Rendy. Ia merasa bersalah karena telah membuat keadaan Adnan semakin parah. "Aku yang membuat suamiku makin terguncang. Aku juga yang memaksanya menerima kenyataan kalau Mbak Rara sudah meninggal karena itu dia makin terpuruk. Ini salahku, Dok." Kana meneteskan air matanya. Air mata putus asa dan penuh kesedihan saat melihat keadaan suaminya yang terpuruk seperti ini.
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu, Kana. Langkahmu sudah tepat untuk memanggilku datang. Ini membuktikan kalau kamu amat peduli dengan keadaan suamimu dan mau suamimu sembuh, Kana," kata Dokter Rendy menenangkan Kana.
"Tentu aku mau suamiku sembuh, Dok. Aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan suamiku, Dok," ujar Kana dengan penuh tekad. Kana pun akhirnya setuju agar Adnan dirawat di rumah sakit jiwa. Semua demi kesembuhan Adnan.
Dokter Rendy mengangguk. "Aku yakin dengan dukunganmu, Kana, Pak Adnan akan segera pulih."
****
hemmm,,, mungkin sih memaafkan bisa ya, karena bagaimanapun kesalahan itu di buat berdua, ga baik juga menyimpan dendam seumur hidup, lebih baik memaafkan drpd terus menyimpan dendam, tapi melupakan itu pasti sulit,,, apalagi kesalahan yg sampai fatal dan mengubah hidup Kana,,,,, ga mudah ya Awan kinton,,,,,,,,
tapi dgn memaafkan tak semudah itu melupakan
apalagi utk pengalaman pahit, yg mungkin sdh mengubah hidupnya, mengubah pola pikirnya ttg sesuatu
apapun itu
hhmmm Adnan kah yg selalu memantau Kana
makasih kak Mizzly up nya 🙏🏻❤️
Adnan apakah sudah sembuh...gimana kabarnya setelah setahun bercerai
semangat terus Kana
makasih kak Mizzly up nya 🙏🏻❤️
Bu Erin juga sangat kuat sekarang menyayangi Kana
makasih kak Mizzly up nya 🙏🏻❤️
makasih kaak Mizzly up nya 🙏🏻❤️