Sebuah Seni Dalam Meracik Rasa
Diajeng Batari Indira, teman-teman satu aliran lebih suka memanggilnya Indi, gadis Sunda yang lebih suka jadi bartender di club malam daripada duduk anteng di rumah nungguin jodoh datang. Bartender cantik dan seksi yang gak pernah pusing mikirin laki-laki, secara tak sengaja bertemu kedua kali dengan Raden Mas Galuh Suroyo dalam keadaan mabuk. Pertemuan ketiga, Raden Mas Galuh yang ternyata keturunan bangsawan tersebut mengajaknya menikah untuk menghindari perjodohan yang akan dilakukan keluarga untuknya.
Kenapa harus Ajeng? Karena Galuh yakin dia tidak akan jatuh cinta dengan gadis slengean yang katanya sama sekali bukan tipenya itu. Ajeng menerima tawaran itu karena di rasa cukup menguntungkan sebab dia juga sedang menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya di kampung. Sederet peraturan ala keraton di dalam rumah megah keluarga Galuh tak ayal membuat Ajeng pusing tujuh keliling. Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyai Gendeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah, Galau, Merana
Sepanjang jalan, Ajeng jadi diam seribu bahasa. Wajahnya jadi tertekuk. Beberapa kali pula nampak terguncang. Sebenarnya, Galuh tak tega. Secara tak langsung, dia sudah menghancurkan masa depan Ajeng walau kenyataan sebenarnya mereka bahkan belum begituan. Tetap saja, mereka akan menikah.
"Gak ada dalam kamus Ajeng bakalan nikah secepat ini!" Ajeng meraung, memukul dashboard mobil Galuh.
"Semuanya udah terjadi, udah, lo ikut rencana gue deh. Gue janji, lo bakal dapet banyak uang dari gue setelah ini."
"Heh! Lo pikir semua hal bisa diukur pake uang?!" Ajeng bersidekap, Galuh hanya tersenyum smirk melihatnya.
"Ajeng, lo juga diuntungkan dong dengan pernikahan palsu kita nanti. Lo bisa terbebas dari perjodohan sama orang di kampung lo itu. Dan gue gak ngelarang lo buat bebas selama kita menikah. Pernikahan kita juga berjangka, gak akan selamanya."
Ajeng nampak berpikir dan dipikir-pikir ada benarnya juga. Ia jadi lebih tenang sekarang. Galuh membawanya ke sebuah restoran. Mereka berhenti di sana karena hari juga sudah beranjak malam.
"Lo laper kan?"
"Ya iyalah, lo kira ngibulin orang tua gak pake tenaga apa?" Ajeng berdecak sebal. Galuh tertawa singkat melihat respon Ajeng itu. Dia tahu, gadis cantik nan seksi itu sudah sangat marah kepadanya.
"Ya udah, kita makan dulu. Biar besok-besok lo semakin kuat dan bertenaga untuk terus sandiwara."
Ajeng melengos mendengarnya, lalu ia keluar dari mobil Galuh. Galuh segera menyusul Ajeng ke dalam. Mereka mengambil tempat jauh di sudut. Ajeng sebenarnya tak bernafsu untuk makan, tetapi perutnya memang harus segera diisi karena sudah hampir seharian tidak ada makanan mampir di perut rampingnya.
"Sorry deh, Sayang. Gue janji lo gak akan terkekang selama jadi istri bohongan gue." Galuh berusaha meluluhkan hati Ajeng yang sekarang menatapnya dengan lebih tenang.
"Gue mimpi apa sih, bisa ketemu dan terlibat kesepakatan gila sama lo." Ajeng memukul-mukul meja dengan kesal. Galuh hanya tertawa.
"Tau! Mimpi basah kali lo," balas Galuh santai.
Ajeng bersidekap lagi, Galuh fokus pada dua benda bulat milik Ajeng yang memang sudah besar dari pabriknya itu.
"Lihat apa lo?!" Ajeng melempar wajah Galuh dengan tisu sementara Galuh hanya mengangkat bahunya sok cool. Gengsi mau mengakui kalau Ajeng punya aset yang oke punya, bikin panas dingin yang ada di bawah sana.
"Sekarang, gue pengen lo bawa gue ke kampung lo besok. Kita ketemu sama nyokap bokap lo."
"Gue gak siap, belum siap tepatnya."
"Ya udah, itu berarti lo mesti siap kalo keluarga gue ketemu duluan sama mereka."
Ajeng nampak menggigit bibirnya, Galuh memperhatikan itu, dia jadi pengen digigit juga jadinya.
Sepertinya, apa yang Galuh bilang ada benarnya juga. Setidaknya, babah jadi punya alasan untuk membatalkan perjodohan dengan pak Karta juga tidak lagi terkejut jika nanti kedua orangtua Galuh datang ke rumah mereka.
"Ya udah, berarti besok kita berangkat?" tanya Ajeng ragu.
"Iya, lebih cepat lebih baik kan?"
Ajeng menarik nafas panjang sambil menenangkan dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti jika dia bilang kepada mima dan babah bahwa dia sudah hamil duluan meski itu adalah cerita palsu yang tak benar-benar ada. Sudah kepalang tanggung memang, ia akan ikut rencana gila Galuh yang sekarang sudah asyik menyantap makanannya.
Ajeng juga akhirnya ikut makan, tadinya dia tidak bernafsu sama sekali untuk makan tetapi setelah berdebat panjang lebar, akhirnya dia jadi lapar sungguhan. Ia makan dengan lahap. Galuh tertawa kecil melihatnya.
"Gue butuh kesepakatan di atas materai," ujar Ajeng sembari mengunyah.
"Gue siapin setelah kita balik dari kampung halaman lo."
Ajeng mengangguk. Mereka makan dengan lahap tanpa banyak bicara lagi setelah itu. Malam harinya, Ajeng tidak pulang ke kosan. Sudah berapa kali dia menolak panggilan telepon dari Vira. Ajeng masih di apartemen Galuh.
"Lo tetap mau ke club malam ini?" tanya Galuh yang baru saja selesai mandi.
"Iya, club rame malam ini. Gue juga gak bisa gak masuk soalnya Riko lagi izin."
"Gue anterin deh."
Ajeng mengangguk. "Gue bersih-bersih dulu deh."
Galuh mengangguk, membiarkan Ajeng masuk ke dalam kamarnya dan segera membersihkan diri. Saat Galuh tengah berbalas pesan dengan temannya, ia mendengar bel apartemennya berbunyi. Ia membukanya dan menemukan seorang kurir dengan kantung belanjaan.
"Maaf, Pak, ini pesanan mbak Ajeng."
Galuh menerimanya dan mengangguk. Setelah itu ia meletakkan benda itu di atas meja di depannya. Ajeng ternyata sudah selesai mandi. Ia hanya memakai handuk yang melilit di tubuhnya.
"Ada yang anterin belanjaan gak?"
"Ada tuh. Isinya apaan?" tanya Galuh penasaran.
"Perangkat dalem sama baju gue nge bar malam ini." Ajeng menjawab singkat. Masih dengan handuk yang hanya melilit di tubuhnya, ia berjalan mendekati Galuh, lalu menunduk untuk meraih kantung belanjaan yang membuat belahan dadanya jadi terlihat di mata Galuh.
Galuh mengalihkan pandangannya ke televisi yang dia sendiri tidak mengerti sedang menayangkan acara apa. Ajeng berlalu begitu saja. Beberapa menit kemudian ia sudah keluar lagi dengan rok jeans pendek dan kaus crop top dengan pusar berhias anting yang terlihat.
Aneh, Galuh jadi tidak kuat melihat gadis itu terlalu lama sekarang. Namun, ia segera menepis perasaan abstrak yang datang tiba-tiba itu.
"Udah siap?" tanya Galuh sambil berusaha menepis rasa nano-nano di dalam hatinya kini.
"Udah kok."
Galuh mengangguk lalu bersama Ajeng yang sudah seksi, ia melangkah keluar. Saat di luar apartemen, banyak sekali lelaki memandang Ajeng dengan tatapan penuh arti. Ajeng tampak acuh tak acuh sedangkan Galuh jadi kesal sendiri.
"Bisa gak sih lo kalo mau kerja itu pake kemeja aja."
"Lo kira gue anak magang?" tanya Ajeng sama kesalnya.
"Lo tuh jadi santapan lapar mata cowok-cowok!" Galuh jadi kesal betulan.
"Pekerjaan gue menuntut gue buat kayak gini. Lagian gue nyaman-nyaman aja kok. Lagian udah biasa juga. Lo kan udah biasa juga lihat cewek seksi. Bahkan udah sering lihat yang gak pake baju."
"Iya juga sih." Galuh jadi garuk-garuk kepala. Sekarang giliran Ajeng yang sebal. Di dalam lift, mereka berdua hanya saling menatap dengan jengkel. Semakin jengkel Ajeng, karena setelah sampai di club malam, Galuh tak langsung pulang atau pergi ke table lain. Ia duduk dengan tenang di depan meja bar Ajeng yang sedang bekerja.
"Ngapain sih lo masih di sini?" tanya Ajeng jengah.
"Suka-suka gue lah. Emang ini club malem punya nenek moyang lo?" balas Galuh judes.
Ajeng melotot, ingin rasanya dia menjejalkan es batu yag sedang ia bentuk ke dalam mulut Galuh. Bak Tom and Jerry, keduanya memang sulit untuk akur.