Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjual Rumah
Ratna kini dihadapkan pada kenyataan pahit atas kesalahannya sendiri. Hukuman penjara 15 tahun atau denda 600 juta adalah sesuatu yang berat. Ratna, yang merasa masih bisa memanipulasi keadaan, meminta Nia untuk membantu membayar dendanya. Namun, respons Nia sangat mengejutkan:
“Maaf, Bu Ratna, itu bukan urusan ku. Lagian aku kan menikah dengan Angga, bukan mau ngurusin masalah yang Ibu buat sendiri?,” ujar Nia dengan dingin.
Ratna tidak terima dengan jawaban itu. “Kalau begitu, lebih baik kamu pergi dari hidup anak ku! Kamu nggak pantas menjadi menantu ku kalau nggak bisa membantu keluarga!” bentaknya.
"Oh, jadi Ibu mau aku dan Angga pisah? Baiklah akan aku pikirkan terlebih dahulu," ucap Nia sambil meninggal Ratna yang saat ini masih berada didalam sel tempat orang membesuk tahanan.
Ratna memandang Nia dengan tatapan penuh amarah, Ratna yakin kalau Nia tidak akan pernah mau meninggalkan Angga karena dia tahu Nia begitu mencintai anaknya itu.
Sementara itu perkataan Ratna itu justru membuat Nia semakin mempertimbangkan untuk meninggalkan Angga. Ia merasa hidup bersama Angga hanya membawa kesialan. Kedua orang tuanya sudah menjauh darinya, dan kini ia harus menghadapi keluarga Angga yang penuh masalah.
Suatu malam, Nia berbicara serius dengan Angga.
“Mas, aku capek. Hidup kita nggak pernah tenang sejak kita menikah. Aku rasa ini bukan jalan hidup yang aku inginkan,” ucap Nia.
Angga terkejut. “Maksud kamu apa, Nia? Apa kamu mau pergi?” tanyanya dengan suara lirih.
“Ya, Mas. Aku rasa kita lebih baik berpisah. Aku mau hidup yang lebih baik, bukan hidup seperti ini yang aku mau. Dulu hidupku sangat enak uangku selalu ada sekarang lihat saja aku ikutan miskin hidup bersamamu,” jawab Nia tanpa ragu.
Angga tidak mampu menjawab. Ia tahu, cinta Nia kepadanya tidak pernah sebesar ambisinya untuk hidup nyaman.
Tanpa banyak drama, Nia akhirnya pergi dari rumah Angga. Ia menyatakan bahwa ia ingin hidup bebas dari masalah keluarga Ratna dan ingin memulai hidup baru. Nia juga berkata untuk Angga segera menceraikannya.
“Mas Angga, aku tahu aku salah. Aku nggak bisa jadi istri yang baik untukmu. Maafkan aku, tapi aku harus pergi, dan aku mohon cepat ceraikan aku supaya aku cepat mendapatkan kebebasan" ucap Nia sebelum meninggalkan Angga.
Angga merasa hancur. Ia kehilangan istri dan rumah tangga yang ia coba pertahankan. Kini, ia hanya fokus untuk membantu ibunya, meskipun hatinya terasa kosong.
Di sisi lain, Loli yang mendengar tentang rencana Angga ingin menjual rumah merasa sangat sedih. “Mas, rumah ini satu-satunya kenangan kita dengan Ayah. Kamu yakin mau menjualnya?” tanya Loli.
Angga mengangguk. “Aku nggak punya pilihan, Loli. Bagaimanapun juga, dia tetap ibu kita. Kalau aku nggak berusaha membantu, Mas nggak akan bisa hidup tenang,” jawabnya dengan berat hati.
Reza, yang semakin dekat dengan Loli, ikut memberikan saran. “Mas Angga, kalau boleh aku kasih pendapat, lebih baik Mas pikirkan dulu matang-matang. Apakah ini langkah terbaik? Karena menjual rumah mungkin bisa menyelesaikan masalah sekarang, tapi bagaimana dengan masa depan?”
"Iya, Mas. Lagian walaupun kita jual rumah ini belum juga bisa membayar dendanya, 600 juta itu bukan uang yang sedikit. Aku yakin rumah ini hanya laku berkisar 150 juta aja," jelas Loli.
"Iya benar, sisinya akan aku usahakan. Entah meminta di perusahaan atau apapun itu akan Mas lakukan demi Ibu kita," jelas Angga dengan tekat kuat.
Reza dan Angga saling pandang mereka tahu yang dapat membantu mereka hanya Amira.
Kini Ratna mengetahui bahwa Nia pergi dari hidup Angga, Ratna semakin tertekan. Ia kehilangan harapan untuk melunasi dendanya dan menyelamatkan dirinya dari penjara.
Di dalam hatinya, Ratna mulai menyesali perbuatannya. Namun, ia tahu, penyesalan itu datang terlambat. Kini, ia harus menerima hukuman atas keserakahannya.
"Aku nggak mau mati dalam penjara, aku harus keluar. Amira ya! hanya Amira yng bisa menolong ku," gumam Ratna nampak prustasi.
Pagi itu Ratna duduk di lantai sel tahanan yang dingin, wajahnya terlihat kusut, dan matanya penuh harapan saat Loli dan Reza mendatanginya. Ketika mereka menyampaikan kabar bahwa rumah keluarga telah terjual dan Angga bersama Loli kini tinggal di sebuah kontrakan kecil, Ratna hanya menghela napas berat. Namun, ketika mendengar bahwa Amira mungkin bisa mencabut tuntutannya, wajahnya berubah penuh harap.
“Loli, Reza, tolong bicarakan ini dengan Amira,” kata Ratna memohon, suaranya penuh kepasrahan. “Aku tahu aku salah, aku tahu aku telah membuat banyak orang menderita. Tapi aku sudah sangat menderita di sini. Tidur di lantai yang dingin setiap malam, makan seadanya... aku nggak sanggup lagi.”
Loli memandang ibunya dengan mata berkaca-kaca. Meski marah atas apa yang dilakukan Ratna, ia tetap anaknya. Namun, ia tidak bisa memutuskan sendiri.
“Ibu pikir meminta maaf saja cukup, Bu? Setelah semua yang Ibu lakukan ke Kak Amira?” balas Loli dengan nada kecewa.
Ratna terisak. “Aku tahu, Loli. Aku tahu aku nggak pantas dimaafkan. Tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Tolonglah, bicarakan ini dengan Amira. Katakan padanya aku akan melakukan apa saja agar dia percaya kalau aku benar-benar menyesal.”
Reza yang mendengar itu merasa skeptis. Ia tahu Ratna cukup pandai memanipulasi orang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun, ia tetap menyampaikan kabar ini kepada Amira dan Bram.
Beberapa hari kemudian, Amira datang ke penjara bersama Bram, Arka, dan Bu Sari. Bram memutuskan untuk mendampingi Amira karena ia ingin memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik untuk Amira dan anaknya.
Saat melihat Amira membawa Arka, mata Ratna langsung berkaca-kaca. Ia mengulurkan tangannya melalui jeruji besi, berharap bisa menyentuh yang pernah ia jual sebelumnya.
“Amira... maafkan aku,” ujar Ratna dengan suara penuh harap.
Amira menatap Ratna dengan dingin. Ia merasa getir melihat wanita yang pernah menyiksanya kini memohon belas kasihan. “Bu Ratna, aku ke sini bukan untuk mendengar permintaan maaf yang terlambat. Aku ingin tahu, apa benar Ibu menyesal atas apa yang sudah terjadi?” tanyanya tegas.
Ratna terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan cepat. “Ya, Amira. Aku menyesal. Aku nggak tahu apa yang merasukiku waktu itu. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya. Tolong, maafkan aku.”
Bram menatap Ratna tajam. “Jika Ibu benar-benar menyesal, Ibu harus menerima apa yang sudah terjadi sebagai konsekuensi. Tapi kalau ini hanya trik untuk membuat kami mencabut tuntutan, aku jamin Ibu nggak akan mendapatkan apa yang Ibu inginkan,” ucap Bram dengan nada tegas.
Ratna tergagap, mencoba menjelaskan. “Aku bersungguh-sungguh! Aku hanya ingin kesempatan kedua. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku jahat. Tapi... tolong, tolong berikan aku kesempatan.”
Amira menoleh ke arah Bram, lalu memandang Arka yang tertidur dalam gendongannya. Hatinya berperang antara rasa kasihan dan dendam. Bu Sari, yang melihat kebimbangan di wajah Amira, akhirnya angkat bicara.
“Amira, kadang memaafkan itu lebih berat daripada menghukum. Tapi memaafkan juga bisa menjadi pelajaran, bukan hanya untuk orang yang salah, tapi juga untuk kita sendiri. Kalau kamu merasa ini keputusan yang tepat, kami semua akan mendukungmu,” ujar Bu Sari lembut.
Setelah beberapa saat terdiam, Amira akhirnya berbicara. “Baik, aku akan mempertimbangkan mencabut tuntutan ini. Tapi aku ingin Ibu benar-benar berubah. Kalau Ibu berani mengulangi perbuatan seperti ini lagi, aku tidak akan ragu untuk membawa Ibu kembali ke sini.”
Ratna mengangguk berulang kali, wajahnya penuh rasa lega. “Terima kasih, Amira. Terima kasih. Aku janji, aku akan berubah. Aku akan menebus semua kesalahanku.”
Amira dan Bram pun meninggalkan penjara setelah percakapan itu, membawa rasa campur aduk dalam hati mereka. Apakah keputusan ini benar, ataukah mereka hanya memberi peluang bagi Ratna untuk kembali menyakiti? Hanya waktu yang akan menjawab.
Angga yang baru saja akan menemui ibunya terlihat bersembunyi saat Amira terlihat akan pergi, dia begitu malu bertemu dengan Amira walaupun dari tempat persembunyian ingin sekali melihat Amira dan Arka. Entah kenapa Angga merasa ikatan batin dengan anak tersebut setelah tahu kalau Reza waktu itu hanya berpura-pura mengaku kalau itu anaknya karena tidak kuat mendengar hinaan dari Nia dan Ratna waktu itu.
sukses selalu untuk penulisnya