Desya yang terlahir dari keluarga sederhana ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang lelaki yang dimana lelaki itu inti dari permasalahannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veli2004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Hangat
"Deal" ucap mereka bersamaan.
Evan mendorongku ke arah pria itu dengan kasar, sontak saja membuat tubuhku terjatuh kepelukan pria itu.
Tubuhku gemetar, aku mencoba untuk memberontak namun tidak bisa. Evan terus menatapku dengan tatapan dingin membuatku tak nyaman.
"Lepaskan aku pria brengs*k!! " umpat ku lalu meludahi wajah pria itu.
Seketika membuat pria itu murka, wajahnya merah padam menahan amarah kepadaku. Dia mendorong tubuhku dengan sekuat tenaga.
Bughhhh!! prang!!!....
Tubuhku menghantam meja kaca yang berada didepan, dengan beberapa minuman terjatuh ke lantai. Noda merah mulai membasahi lantai itu yang keluar dari dahiku.
Semua orang terkejut sehingga ada beberapa diantara mereka yang langsung keluar karena ketakutan.
"Dasar wanita gil*!! wanita nggak tau diri! " umpat pria itu lalu meludah ke lantai.
Dor Dor Dor....
Tiga suara tembakan dilepas, tepat mengenai paha serta bahu pria itu membuat tubuhnya ambruk seketika. Darah yang keluar sangat banyak menggenang di lantai.
Arghhhhhh!!! ...
Pekik pria itu yang tengah kesakitan menahan luka dipaha nya serta di bahunya, sementara tanganku terus gemetar melihat pemandangan dihadapanku yang membuat siapapun ngeri melihatnya.
Saat aku menoleh kebelakang terlihat Evan tengah memegang sebuah pistol di tangan kanannya, raut wajahnya biasa saja seperti tak ada ketakutan didalam dirinya.
”Jadi dia yang menembak pria itu” batinku dalam hati.
Suara teriakan orang-orang yang berada di ruangan itu terdengar jelas, mereka sangat ketakutan. Sebagian dari mereka langsung keluar dari ruangan itu.
Dor Dor !!!......
Dua tembakan lagi mengenai pria itu yang sudah tersungkur lemas dengan kedua tangannya yang terus menahan darah yang mengalir dari perutnya.
Seketika itu tak ada lagi pergerakan dari pria itu, wajahnya pucat sekali dengan darah yang berceceran dilantai itu membuatku sangat takut karena jarak pria itu sangat dekat denganku.
Kedua tanganku gemetar, mataku terbelalak tak menyangka akan ada kejadian yang tidak seharusnya aku lihat.
"Ayo pergi" ucap Evan meraih tanganku dan membawaku keluar dari ruangan itu.
Sementara tas yang berisikan uang itu tak lupa Evan membawanya juga, namun tak ada satupun diantara banyaknya orang yang berani untuk menghalang Evan.
Beberapa orang yang belum keluar hanya bisa terdiam melihat Evan yang tengah memapahku, darah terus keluar dari dahiku sehingga baju yang kupakai bercampur dengan noda merah.
Mobil pun di lajukan dengan kecepatan tinggi, pasanganku yang tadinya jernih kini buram dan saat itulah aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.
Saat aku membuka kedua mataku, aku kini sudah berada dirumah tepatnya di kamarku. Ku pegang kepalaku yang masih terasa sakit dibagian dahiku ada kasa steril yang menempel.
"Sudah sadar ternyata" Ucap Evan yang tengah berdiri sambil meminum wine yang ada ditangannya.
Tak kuhiraukan perkataan Evan, kini otakku mengingat kembali kejadian yang sebelumnya dimana kejadian itu tepatnya terjadi di hadapanku. Membuatku ketakutan apalagi itu baru bagiku melihat pemandangan darah yang banyak bahkan sampai berceceran dilantai.
"Kenapa? " ucap Evan yang memegang pipiku.
Sontak saja membuatku kaget, karena dirinya yang tiba-tiba berada disampingku.
”Kenapa tiba-tiba dia ada disini? bukannya tadi sedang berdiri? ” batinku bertanya-tanya dalam hati.
"Tidak" ucapku menepiskan tangannya.
"Kau takut melihatku? " tanya Evan.
Aku tak menjawab hanya menatap Evan dengan tatapan kosong sama seperti yang selalu dilakukannya kepadaku.
Tak menjawab, Evan lalu pergi meninggalkanku sendirian di kamar.
Setelah Evan pergi perlahan-lahan aku memaksa tubuhku agar bangun, namun rasa sakit di tubuhku masih sangat terasa apalagi dibagian pinggang.
"Dasar pria sial*n!! tubuhku yang kecil begini dengan kasar di dorong nya sampai ngena meja" umpat ku kesal.
Aku berdiri dengan masih memegang pinggang ku yang sakit, baru saja mau membuka pintu tubuhku langsung terjatuh ke lantai.
"Sialan" teriakku dengan sekeras mungkin, bahkan suaraku mungkin saja terdengar sampai ke lantai bawah.
"Ada apa Nyonya? apa ada yang bisa saya bantu? " ucap seorang pelayan wanita yang sudah masuk kedalam kamarku.
"Mengapa kau bisa seenak masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu? " ucapku dengan tatapan tajam .
"Maaf Nyonya, suara anda sampai ke lantai bawah. Saya hanya khawatir terjadi apa-apa kepada anda" sahut wanita itu sembari menunduk takut.
"Tidak ada, aku baik-baik saja. Karena itu keluar sekarang dan hentikan khawatir tentangku" dengan tatapan tajam aku menyuruh pelayan wanita itu keluar dari kamarku.
Aku mengetahui bahwa tidak seharusnya aku bersikap kasar kepada pelayan wanita itu, namun aku tidak peduli. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekati kamarku ketika aku berada dalam suasana hati yang buruk.
Setelah wanita itu pergi, aku hanya bisa terduduk lagi. Untunglah sakit di punggungku semakin lama semakin membaik.
"Hufttt" aku menghela nafas.
Baru saja ingin merebahkan tubuhku, aku mendengar suara langkah kaki yang sangat cepat menuju kearah kamarku.
Tok Tok Tok....
Suara ketukan itu membuatku kesal, dengan tatapan tajam aku melihat kearah pintu tersebut.
"Siapa lagi itu hah!! " Teriakku kesal.
Suara yang ku dengar seolah-olah membuatku merinding. Aku yakin semua orang di sini telah membuatku muak. Aku bangkit dari posisi dudukku dan berjalan ke arah pintu. Aku meraih kenop pintu kemudian membukanya dengan gerakan yang lebih keras dari biasanya.
Namun saat aku membuka pintu terlihatlah seorang wanita paruh baya tersenyum kepadaku dia tak lain adalah ibu dari Evan yaitu mertuaku.
"Mamah? " ucapku seolah tak percaya.
Aku langsung memeluk erat tubuh wanita yang berada dihadapanku dengan erat, aku sangat kangen dengan dirinya.
"Aku merindukanmu Mah " ucapku dengan tenang sembari memeluknya erat. Bahkan ketika dalam suasana hati yang buruk, dia selalu saja berhasil membawa sukacita dalam hatiku.
"Saya juga sangat kangen denganmu sayang" jawab wanita itu sembari mengelus kepalaku dengan pelan.
Setiap kali aku melihatnya, aku selalu teringat kepada kedua ibuku. Aku sangat kangen dengan mereka ingin sekali rasanya bertemu dengan mereka namun, keadaan yang tak menentu aku hanya bisa terus mengirim pesan kepada mereka tanpa melihat wajah kedua orang tuaku.
"Bagaimana keadaanmu? " tanya wanita itu.
"Baik Mah" jawabku pelan.
Namun, ingin rasanya aku menceritakan semua yang terjadi kepada diriku saat pertama kali datang kerumah ini hingga sekarang dan juga kejadian sebelumnya.
Tapi mulut ini rasanya tidak bisa dibuka, seperti ada yang menahannya. Aku juga takut dengan Evan kalau saja aku melaporkan semua kekerasan yang aku alami yang diperbuat oleh anaknya sendiri.
"Bagaimana dengan Mamah sendiri? " tanyaku balik.
"Baik sekali, tapi ada yang kurang rasanya kalau beberapa minggu ini Mamah nggak melihatmu Desya" ucapnya lalu memelukku dengan erat.