"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Quarrel
Yudha duduk di kursi kayu yang elegan di ruang tamu rumahnya, wajahnya tampak tegang, rambut dengan potongan textured crop itu terlihat berantakan karena ia yang sibuk meremas kepalanya.
Ruang tamu itu luas, dengan lantai marmer berkilau dan perabotan mewah yang tampak sempurna dan meja yang terbuat dari marmer. Lampu gantung kristal besar di langit-langit memberikan cahaya putih kekuningan yang menyelimuti ruangan.
Ibunya, Sely berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius, tangan terlipat di depan dada dengan rambut panjang yang di biarkan tergerai. Hujan yang deras di luar rumah seolah menambah ketegangan di dalam ruangan.
"Ibu, aku sudah bilang kan, jangan menjelekkan Riana tepat di wajahku lagi," kata Yudha dengan suara yang rendah, namun penuh penekanan, menahan amarah yang hampir meledak.
Sely mendekat, dan matanya penuh dengan kekecewaan yang tampak jelas. "Ibu tidak menjelekkan istrimu, ibu hanya bicara fakta yang ada sekarang, Riana sudah lima tahun jadi istrimu, dan belum ada tanda-tanda dia hamil. Dia juga sudah berusia 25 tahun Yudha ibu takut dia sudah kehilangan masa suburnya, Jika begini terus kapan ibu akan punya seorang cucu, kau lupa kau satu-satunya putra yang ibu punya dan juga usiamu itu sudah menginjak 28 tahun yudha?"
Yudha mengerutkan kening, berusaha menenangkan dirinya meskipun setiap kata ibunya semakin membuat darahnya mendidih. "Ibu, aku tidak bilang tidak akan memberikan ibu seorang cucu, aku hanya minta ibu bersabar sedikit lagi saja" jawabnya dengan nada tenang, tatapan matanya menajam.
"Riana dan aku sudah berusaha sebaik mungkin, Bu. Kami sudah pergi ke dokter, dan hasilnya jelas-tidak ada yang mandul di antara kami. Jadi, tolong hentikan berkata bahwa istriku mandul!" Nada suara Yudha meninggi, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kami bahkan meminum berbagai macam jamu yang ibu kirim, apa ibu tidak bisa melihat usaha yang kami lakukan selama ini?"
Sely memutar matanya dengan geram, lalu melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Yudha. "Berusaha?" suaranya penuh sindiran. "Itu alasan yang sama yang selalu kamu ucapkan! Kurang sabar apa ibu ini, Yudha?"
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang bergetar karena emosi. "Ibu bersabar saat kau memaksa menikahi Riana-wanita dari keluarga biasa-biasa saja, jauh dari harapan ibu. Padahal, ibu sudah mencarikan calon yang lebih pantas untukmu. Tapi apa yang ibu lakukan? Ibu yang membujuk ayahmu agar merestui pernikahan kalian, karena ibumu ini akan melakukan semuanya untuk kebahagiaanmu."
Sely menunjuk dirinya sendiri dengan mata berkaca-kaca, tapi tatapan penuh amarah. "Kurang baik apa ibu ini? Kurang sabar apa ibu, Yudha? Ibu mengalah karena ibu tau kau mencintainya, karena kau anak ibu satu-satunya! Tapi apa balasan yang ibu dapat sekarang? Menunggu bertahun-tahun tanpa hasil, hanya karena egomu untuk mempertahankan istri yang bahkan tak bisa memberi keturunan!"
"Kalau kau tidak mau menceraikan istrimu, setidaknya menikahlah lagi, Yudha. Apa kau tidak kasihan pada ibumu ini?" ujar Bu Siti, kali ini suaranya lebih lembut, berusaha melunakkan hati putranya.
Ia menatap Yudha dengan pandangan memohon, melanjutkan dengan nada yang nyaris berbisik. "Ibu juga lelah, Nak... lelah mendengar teman-teman ibu terus membicarakan keluarga kita. Apa kau ingin ibumu terus jadi bahan pembicaraan orang-orang."
Yudha berdiri dengan tubuh yang bergetar menahan amarah, mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut ibunya membuat kepala nya mendidih.
Tatapannya tajam, namun suaranya pecah saat berbicara. "Riana adalah satu-satunya wanita yang akan menjadi istriku, Dan kumohon... tolonglah tutup mulutmu itu ibu!" katanya dengan nada suara yang meninggi, tak mampu lagi menahan kekesalannya.
Sely melangkah mundur, menatap putranya dengan pandangan yang penuh kekecewaan bercampur luka. Wajahnya mengeras, tetapi matanya berkaca-kaca. "Bagaimana bisa... bagaimana bisa kata-kata seperti itu keluar dari mulutmu, Yudha?" Ujarnya lirih.
Ia menatap Yudha tajam, tangannya gemetar menahan emosi. "Aku ini ibumu! Orang yang melahirkanmu ke dunia ini, orang yang mempertaruhkan nyawanya untukmu! Semua yang kulakukan adalah demi kebaikanmu. Dan sekarang... lihatlah dirimu! Kau berani membentak ibumu... hanya demi seorang wanita!"
Hening sesaat memenuhi ruangan, hanya suara hujan deras di luar yang memecah keheningan. Kata-kata ibunya barusan menusuk hati nurani Yudha.
Setiap ucapan ibunya menusuknya, mengingatkannya pada kenangan pahit saat ia berjuang mati-matian agar pernikahannya dengan Riana diterima oleh orang tuanya.
"Jangan bahas ini lagi. Terutama di depan Riana, ibu" ucap Yudha akhirnya, suaranya lebih rendah namun penuh ketegasan. Ia membuka matanya dan menatap ibunya lurus.
"Kami akan terus berusaha, tapi tolong... beri kami waktu. Aku juga lelah, aku lelah harus terus bertengkar dengan ibu seperti ini."
Sely terdiam sepenuhnya, wajahnya terlihat kecewa.
Akhirnya, ia hanya berbalik, melangkah pergi dengan langkah pelannya, meninggalkan Yudha sendirian di ruangan itu.
Yudha tetap di tempatnya. Ia memijat pelipisnya perlahan, mencoba meredakan amarah yang dirasakannya. Hujan di luar semakin deras, seolah ikut memberikan suasana tegang pada perdebatan mereka.
Pikiran Yudha melayang ke Riana, istrinya. Bagaimana keadaannya sekarang? Riana sedang menginap di tempat sahabatnya, di sebuah apartemen yang jaraknya sekitar 30 menit dari rumah orangtuanya.
Riana memintanya untuk tidak menghubungi dulu sampai dia yang melakukannya. Permintaan itu membuat Yudha tidak bisa berbuat banyak, meskipun saat ini dia sangat ingin memeluk istrinya dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Sayangnya, hubungan Yudha dengan sahabat istrinya itu tidak pernah akrab. Tari jelas tidak menyukai dirinya.
Meskipun wanita itu selalu tersenyum setiap kali bertemu dengannya, Yudha tahu senyum itu palsu.
Mata Tari tidak pernah ikut tersenyum. Bahkan seperti nya orang buta pun bisa menyadarinya.
Namun, Yudha tidak bisa tidak menyukai tari sepenuhnya. Setidaknya, wanita itu adalah sahabat yang baik bagi Riana. Itu sudah cukup membuat Yudha sedikit tenang.
Suatu hari, Yudha pernah mengantarkan pakaian Riana yang tertinggal ke apartemen tari. Ketika dia memencet bel, tak lama pintu terbuka, dan sayangnya tari lah yang muncul membukakan pintu.
Hari itu menjadi momen yang membuat Yudha semakin yakin bahwa Tari benar-benar membencinya.
"Ah, Yudha. Kau mengantarkan pakaian Riana, kan? Kemarikan. Kalau begitu, sampai jumpa," ucap Tari cepat tanpa menunggu jawaban.
Tari langsung menutup pintu, tetapi Yudha buru-buru mencoba menahannya. Sayangnya, tangannya malah terjepit di pintu.
"Auch!" Yudha meringis, sengaja memasang ekspresi kesakitan untuk menarik simpati. Ia berharap Tari akan membiarkannya masuk.
Namun, Tari hanya memandangnya datar. Matanya seperti berkata, "Kau ini bodoh sekali, pakai lah sedikit matamu itu."
Wanita itu tersenyum tipis dan berkata, "Kalau begitu, sampai jumpa."
Pintu besi berwarna abu-abu tertutup di depan wajahnya, meninggalkan Yudha yang mematung tidak percaya.
Bahkan basa-basi untuk bertanya apakah dia baik-baik saja pun tidak keluar dari mulut Tari.
Yudha menyerah. Ia datang ke apartemen itu dengan harapan bisa melihat Riana, tetapi pemikiran itu langsung hangus dikarenakan ada naga betina yang menjaga pintu masuknya.
"Ah, sial sekali hari ini," gumam Yudha sambil memandangi tangannya yang memar.