Hai..
Namaku Ziqiesa. kalian bisa memanggilku dengan sebutan,Zi. Aku seorang gadis cantik yang masih erat kasih sayang dari Ayah dan Ibuku. suatu hari aku tersesat ke dunia yang tidak aku ketahui. dan kasih-sayang itu masih sama adanya, tapi seakan terputus karena jarak kami yang tidak dapat di ketahui.
Aku,ingin mengajak kalian untuk ikut menemani perjalanan ini, sampai kembali pada pangkuan Ayah,dan Ibuku. bagaimana? kalian mau kan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Karlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Air Suci
Suara isakan kecil dari ruangan itu membuat Zi mengerutkan dahinya. Matanya menyipit seraya mempertajam indera pendengarannya. Sayup-sayup terdengar suara pecahan kaca, suara gebrakan meja dan terakhir suara datar penuh frustasi dan suara kesakitan yang lebih dominan.
"Graysen?" panggil Zi masih dengan tatapan penuh kebingungan. "Kamu kenapa menangis?" Zi berjalan hampiri pemuda balok kering yang terlihat meringis sambil memegangi perutnya.
Suara lembut dan terdengar sangat kecil itu membuat tangis Graysen seketika menyurut. Dia, menghapus air matanya secepat mungkin kemudian berbalik badan ke belakang, menatap Zi dengan sorot mata bersinar.
"Zi? Apakah itu benar kamu? Anak kecil ingusan itu?" Pekik Graysen dengan sedikit tersenyum. Wajahnya sudah kembali seperti biasanya. Hanya saja ada beberapa lebam di leher, kedua tangan dan wajahnya yang cukup parah.
"Hem. Apa yang Anda lakukan disini sendirian? Siapa yang memukulimu hingga babak belur? Jangan-jangan Anda bertarung dengan Jusy hingga tangan dan wajah Anda babak belur seperti itu!" Tunjuk Zi dengan suara ejekan yang membuat siapa saja akan merasa tersindir.
"Ck. Apa yang anak kecil ketahui,selain dari pada menangis dan ingin di peluk?" sahut Graysen dengan pongah. Rasa sakitnya seketika hilang setelah melihat bahwa Zi baik-baik saja. Tidak seperti apa yang di katakan oleh Ayahnya barusan.
Tadi, Graysen sudah sangat percaya diri akan memeluk tubuh Zi dengan erat,dan menggendongnya sambil berputar-putar di udara,jika Zi kembali ke kediamannya. Namun nyatanya semua khayalan tinggi nya itu menguap di udara,di hapus hembusan angin begitu saja.
Zi, tertawa sambil menutupi mulutnya dengan satu tangannya. "Katakan saja jika Anda rindu dengan saya,iya kan?" Zi, mengedipkan matanya genit, menggoda Graysen yang kini tengah bersedekap dada menatapnya dengan tajam.
"Terlalu percaya diri sekali." Malas Graysen. tapi di dalam hatinya kini menjerit bahagia karena gadis kecilnya sudah kembali.
"Apa kamu sudah makan?" Graysen,berjalan menghampiri Zi, mengangkat tubuhnya dengan satu tangan dan meletakkan di kursi yang tadi di dudukinya. Jika tidak di bantu, Zi, tidak akan bisa naik sendiri ke atas kursi tersebut.
Zi, palingkan wajah ke arah lain, karena merasa malu. "Sudah." Jawabnya singkat. Tidak mau menatap balik Graysen yang kini menatapnya dengan dalam.
"Jusy,kemana? Aku rindu dengannya." Zi, mengalihkan pembicaraan agar Graysen tidak lagi menatapnya dengan lamat.
"Koma." Jawab Graysen datar dan tenang. Pemuda balok kering itu mengusap lebam di wajahnya yang kini berdenyut ngilu.
"Anda, benar-benar bertarung dengannya? Sungguh tidak sebanding!" Zi,kini mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela yang terbuka, semilir angin lembut masuk dari celah jendela yang terbuka lebar.
"Itu urusan pribadiku. Tapi ini bukan karena pertarungan dengan, Jusy." Jawab Graysen datar namun terdengar santai. Pemuda itu menatap lukanya di cermin,memang cukup mengerikan,ini efek dari pertarungannya dengan Iblis.
"Bagaimana cara menyembuhkannya,apa Anda memiliki obat yang bisa di oleskan?" Zi, menekan luka yang ada di tangan Graysen, membuat pemuda itu terperanjat.
"Apa yang kamu lakukan? Anak kecil!" Suara Graysen menggelegar di dalam ruangan tersebut. Membuat Zi menutup kedua telinganya dengan bantal kursi,berbulu,yang ada di samping kiri dan kanannya.
"Maafkan aku, yang mulia pangeran. Aku hanya menekannya sedikit, se..di..kit." Zi, mencontohkan dengan gerakan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Huh.." Graysen menghembuskan napas panjang. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Zi, yang menurutnya aneh itu. Sudah tau tangannya terluka, membentuk goresan memanjang,dan kini mulai membengkak,tapi gadis kecil itu malah menekannya dengan gemas.
"Tidak bisa di sembuhkan dengan obat apapun, karena aku bukan kamu." Kini Graysen kembali menatap Zi dengan sorot mata teduh. Zi,terpana melihat bola matanya Graysen yang bergulir indah.
"Lalu?"
"Apanya?"
"Biasanya jika Anda terluka parah, siapa yang mengobatinya?" Zi,ingin kembali menekan luka Graysen yang lainnya karena pemuda itu sulit sekali mengerti dengan ucapannya.
"Jusy."
"Jusy? Sudah tau dia penyelamat untuk Anda, kenapa membuatnya koma?" Heran Zi yang tidak bisa lagi di elakkan. Zi, memanggil Graysen dengan sebutan formal karena ia sudah mengetahui bahwa Graysen adalah seorang pangeran. Zi, tidak ingin lancang!
"Karenanya kamu dalam bahaya." Lirih Graysen tidak peduli. Padahal Dia sekarang butuh kekuatan penyembuh dari perempuan kaku itu. Tapi lihatlah tampangnya yang minta di pukuli oleh,Zi.
"Yah. Tidak seratus persen kesalahan,Jusy. Saya yang ingin datang ke ruangan itu untuk menemui,Anda. Yang mulia pangeran!" Zi, menekan kalimat terakhirnya. Membuat Graysen sedikit terbatuk dan salah tingkah.
"Untuk apa?" Graysen, mengalihkan pandangannya ke arah Zi, yang sudah merebahkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Hanya ingin saja, bertemu dengan Anda."
"Kenapa, tidak memberi tahukannya terlebih dahulu?"
"Anggap saja, itu surprise dari Saya, yang mulia pangeran!"
"Terserah kamu saja, gadis kecil!"
Zi, mengangkat kepalanya dan duduk tegak. "Bagaimana kalau sekarang kita melihat keadaan,,Jusy. Yang mulia pangeran? Mana tau perempuan kaku itu sudah bangun." Zi, sedikit antusias. Ia, benar-benar khawatir dengan kondisi Jusy, karena kesalahannya Jusy jadi sakit hingga koma.
Graysen berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Ya. Ayo!" Graysen menggendong kembali tubuh Zi yang bagaikan kapas kering itu,dan menghilang dari ruangan tersebut.
•••
Zi, turun dari gendongan Graysen,dan berlari kecil menghampiri Jusy yang terbaring di atas ranjang yang ukurannya dua kali lipat dari ranjang tidur milik,Zi.
"Apakah Jusy tidak bisa bangun?" Zi, terlihat sangat khawatir. Wajahnya sedikit memucat dengan air mata yang hampir tumpah ruah.
"Jusy? Maafkan aku. Ini semua kesalahanku." Zi memegang jemari tangan Jusy dengan kedua telapak tangannya. Memang cukup besar dan panjang untuk ukuran manusia seperti Zi, yang tubuhnya kurus dan kecil.
"Judy? Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, barusan?" Zi,pandangi Judy yang hanya menunduk, saat Zi mendongak untuk melihat pria tinggi itu, Zi, kerutkan dahi.
"Kenapa kalian,pada luka-luka dan babak belur,sih?" Zi, menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba merinding. Apakah dunia mereka seperti ini? Jika ada masalah cara menyelesaikannya dengan saling bertarung? Pikir,Zi. Memang tidak kalah jauh dengan dunianya, seperti waktu itu, Zi, bertarung melawan pria jelek yang menghadang jalannya.
"Ah, itu?" Judy tidak ingin menjawab pertanyaan Zi karena Graysen menatapnya dengan tajam.
"Karena kami butuh hiburan!" Jawab Graysen dengan datar. Pemuda itu juga berdiri di samping Jusy,seberang,Zi. Menatap dengan tatapan tenang dan rileks. Tidak sekhawatir Zi yang memang merasa sangat bersalah padanya.
Zi, tidak lagi bersuara. Dia, memejamkan mata sambil mengusapnya beberapa kali. Berharap bisa melihat kejadian dua hari sebelumnya. Tapi..entah kenapa, setiap kali berada di kediaman Graysen, kekuatan kecilnya tidak berfungsi sama sekali. Lebih tepatnya kurang berfungsi.
"Air suci? "Tiba-tiba saja Zi mengingat sesuatu dari buku yang di bacanya saat berada di ruangan pustaka milik,Muchen. Graysen dan Judy saling pandang sebelum kembali mengalihkan pandangan mereka pada,Zi. "Hanya dengan satu tetes air suci, Jusy bisa di sembuhkan dan sadarkan diri dari komanya." Ulas Zi tersenyum tipis karena mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berputar di benaknya.
"Dimana kami bisa mendapatkan air suci, yang Anda maksud,yang mulia Putri?" Judy kini putuskan untuk bertanya, karena tanpa Jusy, tubuhnya benar-benar terasa melemah.
"Di dunia penyihir." Jawab Zi dengan santai. Tidak melihat ekspresi keterkejutan Graysen dan Judy, yang kini menelan ludah mereka masing-masing sedikit susah payah.