Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Sudah puas sekarang? Apalagi yang kamu inginkan, memintaku untuk menidurinya malam ini juga?" tanya Zayn saat Salwa masuk ke dalam kamar mereka.
"Bukankah semakin cepat abang melakukannya, kita akan semakin cepat memiliki anak?" ucap Salwa.
Zayn mengusap wajahnya kasar, ia benar-benar tak menyangka Salwa dengan sadar mengatakannya.
"Maafkan Salwa, bang. Aku hanya ingin memberikan apa yang tidak pernah bisa aku berikan. Aku ingin abang bahagia dengan adanya seorang anak diantara kita,"
Zayn mendekati Salwa yang terisak, Ia berjongkok di depan istri pertamanya tersebut, "Berapa kali harus aku bilang, aku tidak perlu anak untuk hidup bahagia denganmu. Kamu saja sudah cukup, Salwa," ucapnya lembut. Sedalam itu cintanya untuk Salwa sampai dia mau menuruti keinginan sang istri yang menurutnya sangat tidak masuk akal tersebut.
Salwa menyentuh pipi Zayn, "Aku hanya ingin memberi abang kebahagiaan yang sempurna. Aku juga pengin ada suara tangis dan tawa bayi di rumah ini, tapi aku nggak bisa ngasih langsung buat abang, maaf kalau permintaanku menyakiti abang terlalu dalam," ujarnya.
Salwa juga tahu seperti apa penyesalan dan rasa bersalah pria itu atas apa yang dulu pernah menimpa mereka hingga berujung pada pengangkatan rahim dan kakinya yang tidak bisa berjalan.
Tapi, kajadian itu justru menyelamatkan rumah tangganya yang saat itu sudah berada di ujung tanduk. Pertengkaran hebat keduanya yang berujung pada kecelakaan, di picu oleh Salwa yang ketahuan selingkuh oleh Zayn. Seharusnya Zayn tak terbawa emosi, seharusnya mereka bisa membicarakannya dengan duduk baik-baik, bukan sambil menyetir dan berakibat fatal. Karena rasa bersalahnya atas apa yang menimpa Salwa, Zayn memilih memaafkan wanita yang sangat ia cintai tersebut. Bahkan ia menyimpan sendiri rasa sakit hatinya di selingkuhi.
Zayn mengusap air mata yang menetes di wajah Salwa, "Jangan nangis lagi. Mudah-mudahan secepatnya kita bisa memiliki anak, sesuai keinginan kamu," ucapnya lembut.
Salwa tersenyum, "Keinginan abang juga," ucapnya.
Zayn tersenyum tipis, "Iya keinginan abang juga. Jangan sedih lagi, ya?" Zayn mengalah, ia memeluk Salwa lalu mencium kening wanita tersebut.
Salwa tersenyum penuh arti, ai matanya memang selalu bisa di andalkan untuk meluluhkan suaminya. Ia yakin, jika nanti sudah ada anak, Hubungannya dengan Zayn akan semakin harmonis.
Pasti Zayn akan berpikir kalau Salwa terlalu mencintainya hingga rela melakukan apapun demi membahagiakannya. Padahal ia lebih khawatir ATM berjalannya itu akan mencari wanita lain secara diam-diam jika semakin lama rumah tangga mereka tidak ada tangis dan tawa seorang anak. Karena akhir-akhir ini Zayn sering membicarakan kelucuan anak teman-temannya. Bahkan tanoa sadar pria itu berkata, "Lucu sekali mereka, seandainya kita punya sendiri, pasti lucu!"
Jadi, Salwa memilih bergerak lebih cepat dengan mencari seorang ibu pengganti dan kebetulan ia bertemu dengan pak Anwar yang sekitar satu bulan lalu sedang kesusahan uang untuk membayar administrasi biaya rumah sakit sang istri.
******
Salwa sudah menunggu Zayn yang baru saja mandi di meja makan. Pria itu langsung mencium puncak kepalanya lalu duduk.
"Bi, tolong panggilkan Dhisty ya?" perintah Salwa pada bibi.
Zayn tak mempedulikannya, justru ia berharap gadis yang siang tadi sah menjadi istri keduanya tersebut tidak ikut makan malam dengan mereka.
Adhisty masih meringkuk di lantai pinggir ranjang saat bibi mengetuk pintu kamarnya. Ia bahkan belum mandi.
"Non, di tunggu tuan dan nyonya di bawah untuk makan malam," kata bibi sopan. Bibi tahu gadis di depannya habis menangis, wajahnya sembab, matanya sedikit bengkak.
"Bibi tolong sampaikan sama mbak Salwa dan suaminya kalau aku tidak lapar," ucap Adhisty.
"Tapi non?"
"Tolong ya, bi?" Adhisty kembali menutup pintu kamarnya.
**********
"Non Dhisty bilang tidak lapar, nyonya!" lapor bibi begitu sampai di meja makan.
"Masa sih, dari siang dia belum makan apa-apa padahal," ucap Salwa.
"Biarin aja, dia bukan anak kecil. Kalau lapar juga makan," ujar Zayn.
"Masalahnya Dhisty masih marah bang posisinya. Jadi mana mau dia makan meskipun lapar. Nanti dia bisa sakit kalau tidak makan," timpal Salwa.
Tentu saja kalau Adhisty sakit, itu akan semakin lama buat mewujudkan keinginanya. Sehingga ia harus memastikan Adhisty baik-baik saja.
"Biar nanti, bibi antar saja makannya ke kamar non Dhisty, nyonya!" tawar bibi yang juga khawatir setelah melihat kondisi Adhisty tadi. Gadis itu terlihat pucat.
"Tidak usah, bi. Biar nanti bang Zayn yang bawa makan malam untuk Dhisty ke kamarnya," ujar Salwa. Yang mana langsung mendapat tatapan dari sang suami.
"Biar dia cari sendiri kalau lapar!" ucap Zayn.
"Bibi boleh melanjutkan pekerjaan bibi," Salwa abai dengan ucapan Zayn. Ia malah mengajak bibi bicara.
"Adhisty masih shock dengan kenyataan ini, bang. Dia pasti sekarang masih menangis di kamarnya. Abang nanti bujuk dia ya? Abang tidur dengan Dhisty malam ini," ucap Salwa lembut.
"Tidak, abang belum siap. Abang tidur dengamu saja malam ini," tolak Zayn.
"Bang.... Dhisty butuh abang. Yakinkan dia, buat dia merasa nyaman dan aman bersama Abang. Semakin dapat chemistri kalian, kita akan semakin cepat punya anak," ujar Salwa.
Zayn meletakkan sendok dan garpunya lalu menatap Salwa.
"Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Kamu siap dengan resiko yang mungkin akan terjadi ke depannya antara aku sama dia?" tanya Zayn.
Salwa mengangguk, "Aku percaya sama abang," ujarnya.
"Setidaknya aku sudah memperingatkanmu, Salwa. Kau tahu segala sesuatu pasti ada resikonya. Dan aku tidak akan bertanggung jawab akan hal itu,"
"Salwa percaya abang," timpal Salwa kekeuh, yang mana membuat Zayn hanyak tersenyum tipis.
***
Zayn tak melihat Adhisty di kamar saat ia membuka pintu kama Adhisty. Ia melangkah masuk dengan membawa nampan berisi makan malam untuk Adhisty. .
Baru satu langkah kakinya masuk Adhisty baru saja keluar dari kamar mandi. Ia pikir pria itu tidak akan datang, sehingga kini ia hanya mengenakan kimono handuk.
"Aku tidak lapar!" ucap Adhisty yang melihat nampan di tangan Zayn.
Zayn meletakkan nampan itu di atas nakas, "Terserah kamu mau makan atau tidak. Saya tidak peduli!" ujarnya.
"Ngapain lihat-lihat? Jangan macam-macam, ya?" ujar Adhisty dengan nada bergetar tangannya menyilang di dadanya. Sebenarnya ia takut pada suaminya tersebut, tapi berusaha berani.
Zayn memperhatikan Adhisty yang susah payah menahan rasa gemetarnya.
"Saya tidak akan menyentuhmu sampai saya memastikan kalau kamu benar-benar sehat, subur tidak ada masalah supaya cepat hamil anak saya! Saya tidak ingin melakukan hal yang sia-sia!" ujar Zayn dingin.
***
Keesokan harinya, Salwa mengajak Adhisty ke rumah sakit untuk melakukan serangkaian pemeriksaan soal kondisi tubuhnya. Terutama soal kondisi rahim perempuan tersebut.
"Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Salwa tak sabar mendengar penjelasan dari dokter. Di sampingnya Adhisty hanya duduk diam.
"Semuanya sangat bagus, nona. Tidak ada yang perlu di khawatirkan," jawab dokter.
Salwa menoleh pada Adhisty yang tetap diam, lalu kembali menatap dokter, "jadi, adik saya bisa segera hamil, dok?" tanyanya.
Adhisty sedikit berdecak, ingin tertawa rasanya saat mendengar Salwa menyebutnya adik.
"Iya, nona. Tentunya harus dengan kondisi suaminya yang bagus juga, maka akan mempermudah untuk proses pembuahan,"
Setelah mendengar penjelasan dokter, Salwa merasa lega dan senang.
" Kamu tidak senang, Dhisty? kata dokter kondisi rahim kamu bagus, kamu bisa segera hamil," tanya Salwa saat mereka berada di mobil dalam perjalanan pulang.
"Harusnya kan yang senang mbak Salwa. Nanti kan yang akan punya anak kalian, bukan aku," sahut Adhisty yang duduk di samping sopir dengan wajah datar.
"Nona," pelayan yang selalu menemani salwa kemana-mana memperingatkan Adhisty untuk bicara lebih sopan lagi terhadap majikannya.
Namun, Salwa menggelengkan kepalanya kepada pelayannya tersebut sebagai isyarat untuk membiarkan Adhisty.
*****
Sore harinya, Salwa menyambut kepulangan Zayn dari kantor. Wanita itu tak sabar untuk memberitahu hasil pemeriksaan Adhisty siang tadi.
Seperti biasa, Zayn tersenyum hangat menghampiri Salwa, ia langsung mencium kening Salwa. Namun, Salwa menahan tengkuk Zayn, saat pria itu hendak menegakkan badannya. Salwa mencium bibir Zayn. Mereka berciuman beberapa saat.
Adhisty yang baru akan turun dari kamarnya, langsung berhenti saat melihat adegan di depannya. Zayn bisa melihat Adhisty di sana dengan ekor matanya. Ia tak peduli dan melanjutkan ciumannya dengan Salwa dengan mata terus melirik kearah Adhisty.
Adhisty memilih memutar badan dan kembali ke kamarnya. Ia malas melihat adegan yang tak senonoh menurutnya itu.
Setelah Adhisty pergi, Zayn menghentikan ciumannya, ia mengusap bibir Salwa yang basah akibat ulahnya, "Kenapa? kayaknya lagi senang?" tanyanya, ia merubah posisi menjadi di belakang kursi roda Salwa lalu mendorongnya ke kamar mereka.
Sampai di kamar, Salwa memberikan hasil pemeriksaan Adhisty. Reaksi Zayn terlihat datar.
"Lakukanlah malam ini, bang. Semakin cepat, abang akan semakin cepat punya anak," ucap Salwa lembut.
Zayn menatap Salwa tak percaya. Terlalu egois hingga tak memikirkan perasaannya. Tanpa memberi tanggapan, Ia memilih pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Sepanjang makan malam, Salwa terus saja membicarakan rencana-rencananya jika sudah memiliki anak nanti. Zayn hanya sesekali menimpali. Sementara Adhisty, sama sekali tak bicara. Jika bukan karena di paksa, ia malas untuk ikut makan malam di meja makan. Ia segera menyelesaikan makannya dan kembali ke kemar.
Hari semakin larut, Zayn masih sibuk di ruang kerjanya. Salwa datang dengan membawakan minum untuk suaminya tersebut.
"Terima kasih sayang, kenapa repot-repot?" ujar Zayn seraya menerima secangkir teh yang di buat oleh Salwa.
"Buat temani abang kerja. Em... Bang..." Salwa tampak ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Ya, Salwa?" tanya Zayn.
"Tidak apa-apa, abang minum, ya? Aku ke kamar dulu," pamit Salwa.
"Tunggu abang di kamar, ya?" sahut Zayn. Salwa hanya tersenyum tipis sebelum memutar kursi rodanya lalu pergi.
Tanpa curiga, Zayn meminum teh buatan Salwa tadi. Awalnya biasa saja, tapi lama-lama ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Terasa panas dan bergairah secara tiba-tiba.
Semakin lama, rasa itu semakin membuat Zayn ingin segera melakukan penyatuan dengan Salwa. Entahlah, mungkin karena mereka sudah satu minggu tak melakukannya, pikir Zayn.
Zayn yang sudah tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya, segera menyudahinya. Ia ingin segera menemui Salwa. Namun, saat sampai di depan kamar pintu kamar sengaja di kunci oleh Salwa.
Zayn menggeram, ia tahu pasti ini akal-akalan Salwa. Wanita itu pasti sudah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya tadi.
"Salwa buka pintunya! Aku tahu kamu belum tidur!" teriak Zayn sembari menggedor pintu.
Salwa yang mendengarnya abai, meski hatinya sakit tapi dia harus melakukan ini demi suaminya. Eh bukan, lebih tepatnya demi dirinya sendiri. Toh Zayn tidak ernah menuntut apapun darinya, dirinya saja yang selalu negatif thinking, takut kehilangan sumber uangnya selama ini.
Menunggu beberapa saat sembari berusaha menahan gejolak yang semakin menjadi ia rasakan, akhirnya Zayn menyerah," Baiklah kalau ini maumu, jangan salahkan aku kalau aku melakukannya sekarang dengannya!" ujarnya kecewa.
Zayn segera bergegas ke lantai atas. Kebiasaan Adhisty yang tidak mengunci pintu kamarnya, membuat Zayn bisa masuk dengan mudahnya.
Zayn mendekati ranjang Adhisty, ia melihat gadis itu tidur meringkuk memeluk guling. Melihat baju piyama Adhisty sedikit tersingkap sehingga memperlihatkan punggungnya yang putih bersih membuat hasrat Zayn semakin tinggi.
Zayn merangkak naik ke ranjang. Merasa ada pergerakan di atas ranjangnya, Adhisty bangun. Ia terkejut melihat Zayn disana.
"Ma-mau apa kamu?" tanya Adhisty, rasa kantuknya hilang seketika melihat mata Zayn yang sudah di kuasai oleh kabut gairah.
Tanpa bicara, Zayn mencium bibir ranum Adhisty. Gadis itu berusaha melawan, namun sia-sia. Tenaga Zayn jauh lebih kuat menahan dorongannya.
Air mata Adhisty menetes begitu saja ketika Zayn terus menciumnya secara brutal karena sudah di kuasai hasrat
Zayn melepas ciumannya, ia menatap Adhistu penuh gairah. Sialnya, meski berusaha menahannya, melihat Adhisty justru semakin membuatnya bergairah.
"Bukankah kau di bayar untuk ini? Memberiku dan istriku anak? Jadi mulailah tugasmu dari sekarang!" Zayn kembali mencium bibir Adhisty.
Tak hanya itu, Zayn mulai membuka kancing baju Adhisty bagian atas, menyentuh bagian atas wanita tersebut.
Adhisty hanya bisa menangis, tangannya menggenggam erat tangan Zayn yang sedang bekerja di dadanya.
Tetesan air mata Adhisty di tangan Zayn, membuat pria itu menghentikan aktivitasnya dan sedikit mendorong Adhisty supaya menjauh.
"Kau bisa menolaknya sekarang sebelum aku berbuat lebih, pergilah!" usir Zayn.
Adhisty bergeming, air matanya terus mengalir meski ia berusaha menahannya. Ingat perjanjian ayahnya dengan Salwa, membuatnya tak bisa lari. Cepat atau lambat ia memang harus melakukannya dengan Zayn.
Adhisty mengusap wajahnya kasar, ia menatap suaminya, "Ayo lakukan sekarang!" ucapnya ragu namun tegas.
Zayn yang mendengarnya cukup terkejut, namun ia juga sudah tidak tahan lagi untuk mengelak, "Baiklah, jangan pernah menyesali keputusanmu ini, setidaknya aku pernah memberimu kesempatan untuk membatalkannya, Adhisty," ucapnya parau.
Kamar itu menjadi saksi bagaimana Zayn mengambil mahkota yang Adhisty jaga selama ini. Tangannya meremat sprei berwarna putih bersih itu dengan sangat kuat ketika Zayn melakukan penyatuan. Mungkin karena pengruh obat, Zayn melakukannya dengan kasar, membuat Adhisty yang baru pertama kali melakukannya merasa kesakitan luar biasa.