Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Black Death. 2
Walaupun Aku boleh masuk, aku hanya boleh melihat Ayu dari jarak yang cukup jauh. "Apakah dia baik baik saja?" tanyaku ke suster Rani. "Apakah dia makan dengan baik? Dia terlihat jauh lebih kurus daripada terakhir kali aku melihatnya."
"Dia hanya bisa di kasih makan saat tidur. Lihat ada selang besar yang masuk ke mulutnya kan?" kata suster Rani sambil menunjuk ke arah yang dia maksud. "Dari sanalah makanan di masukkan ke dalam perut Ayu secara langsung."
"Ayu." aku memanggilnya. Ayu hanya menatapku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa di baca karena tatapan matanya kosong walaupun ada reaksi sedikit dari dia. "Hai. Apakah aku boleh ke sana?" Tangan Ayu melambai pelan. Tanpa ragu, aku langsung melangkah dan mendekat ranjang Ayu. "Hai cantik, apa kabar sayang?"
Tangannya menggapai wajahku yang penuh bekas luka. Walaupun terasa sedikit perih karena lukanya belum tertutup sempurna, tapi aku membiarkan dia menyentuhnya.
"Aku tidak apa apa kok. Ayu juga cepat sembuh ya?" kataku sambil membalas belain tangannya. Dia mengangguk pelan.
"Sulit di percaya." kata dokter yang bertanggung jawab atas Ayu. "Dia tidak ngamuk."
"Mungkin, mas itu orang yang sangat penting buat adik itu." jawab Suster Rani. "Biarkan mereka bersama lebih lama lagi. Siapa tahu Ayu mengalami kemajuan yang baik."
"Ya. Siapa tahu dia akan segera sembuh."
Setelah itu, aku menawari Ayu makan. Dan dia mau saat aku suapi. Lalu, setelah dia kenyang, dia tertidur pulas dengan wajah yang sangat tenang.
Nex
Keesokan harinya lagi, aku di jemput pulang oleh Pak Zainal Abidin. Ternyata, dia lah yang membayar semua pengobatan yang aku jalani selama ini. "Kita mampir ke kantor polisi atau kamu ingin langsung pulang?" tanya dia.
"Kalau di perbolehkan, saya ingin mengunjungi makam Cikita." jawabku.
"Maaf, itu lain kali saja. Kantor polisi atau rumah?" tegas Pak Zainal Abidin.
"Kantor polisi, saya ingin melihat rekaman video Udin saat melakukan pembantaian itu. Saya benar benar tidak percaya sama sekali. Dia teman saya, saya mengenal nya dengan baik. Saya..."
"Aku mengerti perasaan mu. Tapi, setiap manusia pasti memiliki rahasia yang mereka inginkan orang lain tidak ingin mengetahuinya kan? Manusia bisa berubah menjadi iblis, manusia bisa menjadi baik seperti dewa. Itu sudah hal yang lumrah terjadi."
"Terus. Bagaimana dengan keluarganya Ayu. Apakah mereka semua menjadi korban juga?"
"Lebih baik kamu lihat sendiri rekaman video itu. Ayo, cepat berkemasan nya. Aku tidak punya banyak waktu."
Nex
Di lobi rumah sakit. Lenny bersama Levi dan Ine, teman sekelas ku. Saat tatapan mata kami bertemu, dia langsung berlari dan menyapa. "Hei! Sudah boleh pulang?"
"Yah, begitulah." jawabku. Aku memberi salam kepada Levi dan Ine. Mereka jaga terlihat senang saat melihatku sudah sembuh. "Walaupun masih harus tetap memakai perban di wajah."
"Mirip mumi." kata Ine. Dan kami langsung tertawa bersama. "Langsung pulang kah?"
"Tidak, aku mau mampir ke kantor polisi dulu. Ada hal yang ingin aku sampaikan kepada kepolisian." jawabku. Aku tidak mau jujur apa rencana ku yang sesungguhnya ke kantor polisi. Bisa gawat kalau mereka memaksa ingin ikut. "Mereka memintai aku keterangan lebih lanjut perihal kasus ini."
"Aku tidak percaya kalau Udin lah yang...." Ine tidak berhasil menyelesaikan kata katanya karena air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa dia bendung.
"Nak. Kita sudah membuang banyak waktu. Ayo." Pak Zainal Abidin memperingatkan aku. Dan aku langsung berpamitan kepada mereka, dan berterima kasih karena sudah mau menjenguk. Aku janji setelah selesai urusanku di kantor polisi, aku akan langsung mampir ke rumahnya Lenny. Dia begitu antusias mendengar janjiku.
Dan, berangkatlah aku ke kantor polisi.
Nex
Ada lebih dari sepuluh video, dan videonya tidak ada yang sampai sepuluh menit. Tapi, di dalam video itu, keberingasan Udin benar benar terpampang dengan jelas. Bagaimana wajahnya yang biasanya konyol, kini terlihat begitu mengerikan. Dia membacok setiap orang yang dia temui, tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Dia benar benar seperti kesetanan.
Aku tidak bisa menahan rasa mual dan muntah. Dan Pak Zainal Abidin langsung ngamuk ngamuk kepadaku karena telah mengotori ruang kerjanya.
"Bu Tassa. Antar Riyono ke ruang sebelah, beri dia air hangat. Lihat, wajahnya sudah mirip mayat hidup." kata Pak Zainal Abidin ketika melihat salah satu polwan memasuki ruangan itu.
"Ayo sini." dia menuruti perintah Pak Zainal Abidin tanpa protes sedikitpun. Aku mengikutinya.
"Jangan lupa panggilkan petugas kebersihan, dan suruh dia membersihkan kotoran anak itu."
Mukaku langsung memerah karena malu. Tapi, mau bagaimana lagi, kan ga sengaja. Maaf Pak Kumis, lain kali saya akan muntahi lagi ruangan kerjamu.
Nex
Teh hangat telah tersaji di depanku. Aku langsung meminumnya hingga habis lebih dari separuh gelas, saat Bu polwan tadi masuk dan memberikan aku cemilan. "Terima kasih, Bu Tassa."
"Sama sama." jawabnya sambil tersenyum.
"Anda baik sekali. Ga seperti Pak Kumis."
"Pak Kumis?" dia keheranan.
"Pak Zainal Abidin. Kumisnya tebel banget sih, jadi aku panggil dia Pak Kumis."
"Hahahah, kamu bisa saja. Kami akan berbuat baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena kami di tuntut untuk mengayomi masyarakat. Ini sudah hal yang biasa. Aku permisi dulu, ada yang harus aku lakukan. Salam."
"Salam."
Cemilan tadi adalah kue kering yang ada selain merahnya. Mungkin rasa strawberry, tapi begitu melihat warna merah itu, aku jadi ke ingat bagaimana wajahnya Udin yang berlumuran darah para korbannya. Perutku kembali mual, tapi aku bisa menahannya. Aku memakan kue kering itu dengan terpaksa, tidak sopan kalau sudah di suguhi tapi di sia siakan. Ya kan gaes?
Nex
"Di sini saja." Aku menyuruh Pak polisi muda yang di perintahkan oleh Pak Zainal Abidin untuk mengantar aku pulang.
"Bukan kan rumah kamu masih masuk ke dalam kampung itu?" dia menunjuk ke arah perempatan jalan Mulyorejo.
"Saya ingin mampir dulu ke rumahnya temanku."
"Di mama?"
"Perempatan itu, tapi belok ke arah yang berlawanan." dan dia memasukkan mobilnya ke jalan yang menuju rumahnya Lenny.
"Lho? Lho? Lho?"
"Nanggung, sekalian jalan jalan." kata Pak Pol muda itu. "Suntuk di kantor polisi terus. Aku ingin menjadi personil yang melakukan penggrebekan, tapi aku malah di tempatkan sebagai resepsionis."
"Ahahaha. Saya turut berduka."
"Kamu memang ceplas ceplos seperti yang di katakan oleh Pak Zainal Abidin ya?"
"Maaf, beginilah saya." aku menggaruk garuk kepalaku.
"Santai saja. Lagipula, kamu berani benar memanggil Pak Zainal Abidin itu sebagai Pak Kumis. Dia itu atasan yang sangat galak dan tegas lho."
"Soalnya, Bu Cikita sangat senang kalau aku memanggil ayahnya seperti itu sih."
"Bu Cikita?" Dia menatapku dengan tajam. "Siapa?"
Deg!! Jantungku seolah mau copot mendengar jawaban Pak Pol muda itu.
"Putri beliau."
"Aneh. Setahuku anaknya Pak Jatmiko masih SMP. Kok kamu memanggilnya dengan sebutan 'Bu'?."
"Lho bukannya dia seorang Bripda? Emang wajahnya mirip anak SMP sih. Tapi, dia lebih dewasa ketimbang kelihatannya."
Pak Pol muda itu menggaruk garuk kepalanya seperti aku tadi. "Aneh.... Aneh... Ternyata memang seperti yang di katakan oleh Pak Zainal, kamu masih sedikit terguncang oleh kejadian itu. Lebih baik, setelah urusanmu selesai, kamu segera pulang dan beristirahat."