Sehat itu mahal harganya! Dan itu memang benar, keluarga Giovani Mahardika rela membayar seorang gadis untuk menikah dengan putra bungsu mereka demi menyembuhkan gangguan mentalnya.
Dialah Alleta Rindiani, setelah melewati beberapa pertimbangan dan penilaian akhirnya gadis inilah yang dipilih oleh keluarga Gio.
Di tengah usaha keras Alleta, secercah harapan akhirnya muncul, namun Gio nyatanya jatuh cinta pada Alleta.
Akankah Alleta membalas cinta Gio di akhir masa perjanjian? Terlebih sesuatu telah tumbuh di dalam sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bungee~ bab 2
Alleta baru saja melompati pagar tanaman yang menghalangi rumahnya dan rumah budhe Gendis, bersama ibu yang sudah masuk duluan sembari mengomel-ngomel serta mencetuskan hadist-hadist agama tentang betapa berdosanya orang yang menguping.
Maklumlah, ibunya itu lagi getol-getolnya nontonin ceramah di tv, jadi bawaannya itu ya...jama'ahhhh! Yang dikit-dikit inget dosa, nguap dikit terus ngga baca istigfar aja dianggap bestian sama setan.
Namun sepertinya Tuhan menghendakinya jadi paparazzi, atau justru terlibat di dalam sebuah kasus besar yang akan menentukan nasib Alleta kedepannya.
Jeblughh!
Hampir saja jantung gadis ini copot dan nyetop ojek. Lehernya otomatis menengok ke arah sumber suara, dimana sosok anak luthung pergi dengan tergesa penuh raut kemarahan.
Tunggu...apakah ia terluka, wajahnya itu lebih mirip dikatakan odading, ketimbang muka manusia pada umumnya karena bengkak-bengkak. Bercak da rah, sepertinya itu yang barusan Gio ludahkan ke arah samping, hingga tak sengaja tatapan mereka bertemu membuat Letta mati kutu dibuat sorot mata tajam, persis lagi dicolok garpu! Terlebih wajahnya itu terlihat begitu tak bersahabat.
"Apa liat-liat! Mau upil bilang?!" sengaknya keluar, ditatap begitu yo pasti gadis ini marah, bukan pasal sorot mata atau wajah keruh penuh dendam...namun keduanya memang terkenal tak pernah akur seantero jagat raya.
Lain dari hari biasanya, Gio justru tak menggubris pertanyaan sengak Leta, ia lebih memilih pergi dengan motornya disusul suara riuh yang mulai memaki dari arah dalam rumahnya.
"Bocah si alan! Pergi kemanapun kamu mau, jangan harap bisa kembali!" hardik Rangga memenuhi gawang pintu, cocok untuk ukuran liang lahat, 2×1 meter.
Leta semakin terjengkat kaget mendengar makian dan hardikan Rangga yang terkesan sarkasme nan anarkis, ia tau mas-mas satu itu beda sama si mas ganteng kalem Tama, Rangga lebih serem ngalahin seremnya isian dompet di akhir bulan. Tapi magrib-magrib begini ia mengamuk, apa engga kerasukan tuh?!
"Giooo!" panggil Tama kemudian.
"Astagfirullah hal'adzim..." ucap budhe Gendis di sela-sela tangisannya, semakin membuat Leta kebingungan sekaligus penasaran, apa yang terjadi disana? Satu yang ia percayai...keluarga budhe Gendis sedang tidak baik-baik saja saat ini, dan si anak luthunglah penyebabnya.
Langkah menuju pintu rumah yang sudah setengah jalan terpaksa membatu di tempat sebab melihat budhe Gendis menangis meraung-raung, meratapi asap knalpot motor Gio yang bahkan sudah pergi entah kemana. Yang jelas Gio benar-benar terlihat marah, karena ia benar-benar menggas motornya begitu kasar tadi, sekasar tembok rengginang.
Kendati demikian, Leta tak cukup nyali untuk sekedar bertanya melihat wajah mas Rangga yang sudah mirip pan tat siamang, merah-merah mempesona! Ia lebih memilih bergegas masuk ke dalam rumah saja ketimbang uji nyali bertanya pada para aparat negri itu, atau budhe Gendis yang ditarik masuk padhe.
Ia berjalan tergesa mencari ibu, "bu, bu...budhe nangis bu...nangisin si anak luthung.." ucapnya panik menghampiri ibunya yang baru saja selesai ambil wudhu.
Wajah ibu seketika mengernyit, "Anak luthung mana yang ditangisin budhe?" masa iya mbakyu Gendis nangis cuma gara-gara anak kete...
"Siapa lagi, masa mas Tamaku...ya adeknya yang kurang seons itu loh, si Gio..."ucapnya.
Seketika ibu mencubit anak prawannya, "biasakan bermulut manis, jangan mulut kotor begitu...anak orang kamu sebut luthung, terus anak luthung kamu sebut opo?!" pelototnya tak terima jika sang putri itu bermulut bar-bar, kebanyakan nongkrong sama anak karta di tempatnya ya begini, jadi kebawa nyinyir plus kurang aj ar.
"Besok-besok ngga usah ikut cengar-cengir di kantor Karta, pinggirannya itu ada selo kan, jadi mulut kamu kebawa comberan begitu..." omel ibu menyengit sambil melewatinya masuk ke kamar.
"Ih, ibu dengerin dulu. Ini belum masuk klimaksnya..." jelas Alleta mengikuti ibu.
Plok!
Ibu justru menepuk pan tatnya kencang, "ambil wudhu sana. Biar se tan ngga bisikin terus hal jelek sama kamu, terus solat." perintahnya mutlak Leta lakukan, membuat bibir gadis ini melengkung keriting, "ish...ngga di dengerin, padahal penting banget loh bu...kayanya si Gio bikin masalah gede, soalnya mas Rangga sampai ngamuk-ngamuk...mas Tama juga. Budhe Gendis sampai nangis guling-guling di lantai persis klepon yang ibu bikin, belepotan...." ocehnya masih terdengar di pendengaran ibu, bahkan ketika gadis itu sudah berlalu menuju kamar mandi.
Ibu mengernyitkan alisnya di balik mukena, apa iya yang dikatakan Leta? Kenapa, ada apa?
Rambutnya basah tanda ia sudah mandi. Sebelum benar-benar melahap sarapannya, Leta memilih untuk mengeluarkan si Bejo, motor matic berwarna hijau kesayangannya berniat untuk memanaskannya terlebih dahulu sebelum ia kendarai ke sekolah.
//
Tama duduk di kursi bambu, bersama secangkir kopi hitam dan menggenggam ponsel ditangannya setelah selesai berkabar dengan istri tercinta yang minta dibawakan oleh-oleh sepulangnya nanti. Tak lupa Clemira juga memintanya pulang cepat-cepat, maklumlah putri perwira tengil itu lagi manja-manjanya.
Baru ingin beranjak, Rangga ikut duduk disana, semakin memperberat beban si kursi saja.
"Gimana mas, aku ngga bisa lama-lama disini..." Tama menoleh menatap kakaknya. Sementara Rangga, yang juga ingin mengatakan hal sama mendengus sumbang, "memang benar kata orang, satu ibu bisa mengurus 3 anak bahkan lebih, tapi 3 anak belum tentu bisa ngurusin ibu yang cuma satu..."
Tama berdehem untuk itu, sedikit tak nyaman dengan ucapan Rangga namun itu memang faktanya.
"Ngga mungkin cuma ngandelin bapak yang sama-sama sudah tua..." Rangga menyulut batangan tembakaunya, menikmati suasana pagi di kampung terlebih tanpa beban pekerjaan dan keluarga yang dipikulnya untuk sejenak mampu membawanya membayangkan kembali suasana sewaktu masih kecil.
Terbersit di otak Rangga, bayangan masa kecil mereka, dimana Tama...adik yang paling kalem, terbilang soleh dan selalu mengalah sementara ia, adalah sosok antagonis disini, kakak yang galak, sering menindas adik-adiknya meskipun tetap saja membela di kala kedua adiknya itu diusili teman dengan catatan hanya ia yang boleh membuat kedua adiknya menangis. Dan Gio, si anak emasnya ibu...selalu Gio dan Gio, walau tak jarang Gio juga yang dapet baju bekasan ia dan Tama.
*Le, jaga adik-adikmu...kelak kamu akan jadi pengganti ibu dan bapak. Rukun-rukun nanti jikalau ibu dan bapak sudah tak ada*....
Rangga menghela nafasnya bersama Tama yang menoleh juga, "gimana caranya bikin Gio normal mas?"
"Kamu tanya aku, Tam? Mana ku tau...kerjaanku cuma grebek, dapet begituan aku lempar ke panti sosial atau jeblosin ke sel tahanan..." jawab Rangga.
Tama menghela nafasnya sedikit memberikan ruang bernafas dan berpikir, "bukan tidak mungkin Gio bisa kembali ke jalan yang benar, kalau dia menemukan seseorang yang dia sukai...tentunya perempuan itu juga mau terima Gio apa adanya, terus mau dan sanggup bawa Gio kembali normal..." ujar Tama memberikan solusi, tentu saja gadis itu tak boleh kalah oleh Gio.
"Hah, cewek gila mana yang mau sama cowok ngga normal?" tanya Rangga menantang.
*Ceklek*!
Leta menenteng sepatunya dan duduk di kursi plastik depan rumah, sebelum benar-benar memakainya ia terlebih dahulu memutar kunci motor dan menyalakan itu. Dalam sekali starter mesinnya menyala mulus tanpa terbatuk-batuk persis orang tbc.
"Baik-baik kamu Jo, nanti kalo aku punya duit...aku kasih kamu oli yang top nomor 1...biar kamu entengan jalannya. Do'ain aku cepet lulus terus dapet kerjaan bagus kalo bisa yang cuma duduk anteng tapi dapet uang segede pintu sambil kuliah...biar ngga kaya anak tetangga yang cuma bisa nyusahin orangtua! Biar aku juga bisa beliin ibu perhiasan seabrek-abrek persis bu haji yang kemaren umroh ke 3 kalinya..." ocehnya sah-sah saja, wong namanya juga impian... Leta berbicara dengan motor seperti orang yang baru saja divonis gangguan mental sembari menggas mesin motornya.
Tama terkekeh melihat gadis itu, termasuk Rangga yang sudah tertawa renyah. Merasa ada yang memperhatikan, Leta menoleh, "eh mas...lagi pada ngaso?"
"Kamu ngapain to Ta?" tanya Rangga, "ngobrol sama motor pake manas-manasin anak tetangga?"
Jakun Tama naik turun tertawa geli seraya menggelengkan kepala dengan sikap Leta, memang sihh ia tak aneh lagi dengan tindak-tanduk gadis yang merupakan tetangga sekaligus kerabat jauhnya itu, gadis itu pula yang sering gombalin Tama, catat!
"Manasin motor mas, emang keliatannya aku lagi ngapain?" tanya Leta.
"Piye to, manasin motor sambil ngoceh-ngoceh ngga jelas?" tanya Rangga.
"Bukan ngoceh ngga jelas mas, tapi aku lagi manasin motor ala aku....dipanasin pake omongan juga biar cepet panas motornya..." jawabnya polos, dan praktis Rangga serta Tama tertawa dengan pengakuan Leta.
Gadis itu kini duduk di kursi dan mulai memakai sepatunya, "budhe Gendis kemana mas? Biasanya kalo jam segini budhe udah sapuin halaman..." pengakuannya lagi begitu perhatian.
Tama dan Rangga saling melirik dengan anggukan alis, "cocok."
.
.
.
.
.
nunggu letta sadar pasti seru ngamuk2 nya ma gio...
ndak ada juga yang bakal masukin ke penjara
biar si letta gk pergi2 dri kmu
jangan to yo,kasian si leta masih gadis