Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Mencari tahu penyebab perubahan Ariana
Sudah 3 hari Samudera berangkat ke pulau Dewata jadi sudah 3 hari pula Tatiana pulang ke rumah yang sudah ditempatinya selama 2 tahun ini. Setelah 3 hari mengurung diri, Tatiana pun keluar kamar pagi-pagi sekali untuk menemui Ariana.
"Ana," panggil Tatiana lembut sambil mengusap kepalanya. Ariana yang masih tidur pun segera mengerjapkan matanya.
"Bunda,' gumamnya sambil mengucek mata. Ariana tersenyum lalu mengulurkan tangannya ingin dipeluk seperti biasanya. Tatiana pun segera memeluk Ariana sambil mendusel lehernya dengan hidung membuat gadis kecil itu terkekeh geli.
"Bunda, geli," ujarnya sambil terkekeh. Tatiana yang sudah lebih dari seminggu ini mengurung diri dan tidak tersenyum pun melebarkan senyumnya. Ia senang sebab penyemangat harinya kembali tersenyum padanya. Ia pikir Ariana bersikap dingin sebelumnya karena takut mengganggu Tatiana yang sedang bersedih.
Namun saat mereka sedang tertawa, Riana reflek melepaskan pelukannya. Tatiana bingung, apalagi saat Ariana tiba-tiba menjauh dan masuk ke kamar mandi.
"Ana, kamu kenapa, Sayang? Ana, Ana marah sama bunda, ya? Bunda minta maaf kalau bunda ada salah?" ujar Tatiana mencoba membujuk sambil mengetuk-ngetuk pintu, tapi Ariana tidak menggubrisnya sama sekali. Tatiana bingung. Tiba-tiba pintu kamar Ariana terbuka dari luar. Tatiana pikir ibu bi Una, tapi ternyata Triani lah yang masuk.
"Mbak Triani?" Tatiana jelas mengerutkan kening. Melihat perempuan itu masuk seenaknya ke kamar Ariana jelas menimbulkan perasaan tak suka di benak Tatiana.
"Ah, kamu, Dek. Mbak pikir kamu masih di kamar. Mbak datang pagi-pagi ingin membantu Ana bersiap ke sekolah. Kamu mending kembali istirahat atau pergi sarapan saja. Serahkan urusan Ana padaku," ujar Triani santai.
"Oh nggak perlu, Mbak. Aku sudah tidak apa-apa kok. Biar aku saja yang urus Ana. Mbak silahkan duduk di luar," ucap Tatiana berusaha tetap ramah.
Alis Triani terangkat ke atas. Entah apa maksud ekspresinya itu.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, kepala Ariana menyembul. Tatiana bergegas mendekat sambil tersenyum, namun saat Ariana justru memanggil nama Triani membuat dada Tatiana rasanya bergemuruh.
"Tante, bantu Ana mandi. Ana juga lupa bawa handuk, Tan," ujar Ariana tanpa menoleh ke arah Tatiana. Tatiana juga baru sadar ternyata Ariana sudah tidak memanggil ibu para Triani, tapi Tante.
''Mungkin Mas Samudera sudah menjelaskannya,' pikir Tatiana.
"Sama bunda aja ya, kan Tante baru datang, Sayang," ujar Tatiana mencoba membujuk.
Ariana menatap Tatiana, lalu berganti ke Triani. Triani memberi isyarat gelengan dengan pelan membuat Ariana akhirnya juga menggelengkan kepalanya.
"Mau sama Tante," cicitnya.
Tatiana tersenyum miris. Entah apa yang terjadi pada Ariana? Mengapa sikapnya mendadak berubah setelah bertemu Triani?
Mengalah, Tatiana pun memilih keluar.
Di dalam kamar mandi, Triani memuji Ariana karena sudah menurutinya.
...***...
Tatiana melamun di taman samping rumah itu. Ia benar-benar sedih memikirkan sikap Ariana yang benar-benar berubah padanya. Saat melamun, tiba-tiba Samudera menghubunginya. Awalnya Tatiana mengabaikannya, tapi karena Samudera begitu gigih menghubunginya hingga berkali-kali, Tatiana pun terpaksa mengangkatnya.
"Halo, assalamu'alaikum," ucap Tatiana datar.
"Wa'alaikumussalam. Tiana, apa keadaanmu sudah lebih baik?" tanya Samudera.
Dengan rasa enggan, Tatiana pun mengangguk. Samudera tersenyum miris. Padahal sudah seminggu lebih berlalu, tapi sikap Tatiana tetap sama saja. Diabaikan seperti ini, jelas saja membuat Samudera gelisah. Padahal ia juga sudah menjelaskan kemana ia hari itu dan meminta maaf berkali-kali, tapi sepertinya rasa kecewa Tatiana belum juga menghilang. Samudera hanya bisa pasrah dan mencoba memperbaiki, meskipun ia tak tahu sampai kapan Tatiana akan marah padanya.
"Ana mana?"
"Ana sudah pergi ke sekolah dengan Tante kesayangannya," ucap Tatiana dingin.
Terdengar helaan nafas kasar dari seberang telepon.
"Nanti aku akan bilang ke Triani agar biar kau saja yang mengurus Ana."
"Tak perlu. Mungkin Ana memang hanya menginginkan Mbak Triani. Bukankah Mbak Triani begitu mirip dengan Mbak Triana? Mungkin ia bisa menemukan sosok ibunya dari dia."
"Tepi tetap saja, ibunya sekarang itu kamu. Yang lebih berhak atas Ana juga kamu, bukan Triani."
"Tapi kalau Ana sendiri yang meminta, aku bisa apa? Sudahlah, Mas. Aku ada kerjaan. Assalamu'alaikum," ucapnya sambil menutup panggilan dengan begitu saja tanpa menunggu respon Samudera.
...***...
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9, sedangkan Ariana pulang jam 10. Tatiana yang berencana menjemput Ariana pun sengaja datang lebih awal untuk menghalangi gadis kecil itu pulang lebih dulu dengan Triani. Tatiana masih penasaran dengan perubahan sikap Ariana. Bukan bermaksud berburuk sangka, tapi perubahan sikap Ariana dimulai sejak kedatangan Triani. Bisa saja kan gadis kecilnya itu terpengaruh oleh ucapan Triani. Namun benak Tatiana tetap berusaha berpikir positif. Ia harap, pikirannya salah. Ia harap ini hanya kesalahpahaman saja.
Beruntung, saat tiba di sekolah, anak-anak ternyata pulang lebih awal. Jadi saat melihat Ariana, Tatiana pun segera turun dari dalam mobil dan menyambutnya. Ariana sempat terkejut dan tersenyum lebar, tapi tiba-tiba senyumnya meredup membuat rasa penasaran Tatiana kian membuncah.
"Ana mau main ke suatu tempat atau membeli apa dulu gitu?" tanya Tatiana sambil menjalankan mobilnya.
Mulut Ariana hampir saja terbuka, tapi belum sempat ia menyuarakan keinginannya, mulutnya sudah kembali terkatup rapat.
"Ana mau apa? Bilang aja sama, Bunda. Mau makan ice cream, pizza, burger, atau mau ke tempat permainan? Ayo, sayang, bilang aja. Mumpung kita masih di jalan," bujuk Tatiana lagi.
Setelah berkali-kali membujuk, akhirnya Ariana pun mengatakan kalau ia ingin makan es krim di kedai yang sedang viral dengan boneka saljunya itu. Tatiana pun tersenyum dan segera melajukan mobilnya ke sana. Setibanya di sana, Ariana dan Tatiana pun segera memesan es krim yang mereka mau.
Saat menyantap es krim, Tatiana pun mulai menanyai Ariana mengenai perubahan sikapnya.
"Na, boleh bunda bertanya?"
Ariana mengangkat wajahnya kemudian mengangguk pelan.
Tatiana lantas pindah duduk di samping Ariana, "Ana kok jauhin bunda sih? Apa Bunda ada salah sama Ana? Kalau ada, bunda minta maaf ya?"
Ariana diam sambil menundukkan kepalanya.
Tatiana tak tinggal yang pun menggenggam tangan Ariana.
"Ana bilang aja, Bunda ada salah apa? Apa ada kata-kata bunda yang buat Ana sedih? Katakan saja, Sayang! Bunda nggak akan marah, kok," bujuk Tatiana lagi.
"Benar bunda nggak akan marah?" Akhirnya Ariana mulai bersuara.
"Memangnya Ana pernah liat bunda marah?"
Ariana menggeleng.
"Nah, kenapa takut bunda marah? Bunda itu sayaaaang banget sama Ana. Masa' bunda akan marahin Ana sih?" Tatiana memasang wajah sedih. "Sekarang jujur sama bunda, Ana kenapa? Kenapa Ana marah sama bunda? Apa bunda ada salah? Apa bunda udah jahatin Ana?"
Tiba-tiba air mata Ariana mengalir deras.
"Bunda nggak salah kok. Bunda nggak pernah jahatin Ana juga. Ana cuma ... takut."
"Takut?"
Ariana mengangguk.
"Kata tante, Bunda itu ibu tiri. Ibu tiri itu jahat. Ibu tiri itu cuma pura-pura baik. Nanti bunda akan rebut ayah dari Ana. Terus kalau bunda punya adik bayi, Ana akan dibuang. Nggak disayang lagi," ucapnya membuat Tatiana terkesiap dengan mata terbelalak.
"Astaghfirullah, Ana, bunda nggak mungkin begitu, Sayang. Bunda itu sayang banget sama Ana. Kalaupun bunda punya adek bayi nanti, Bunda akan tetap sayang Ana. Malah seharusnya Ana senang kalau Ana punya adek bayi. Artinya Ana punya saudara dan temen main. Adik bayi itu lucu lho. Pasti Ana senang sekali nanti. Bunda juga nggak mungkin rebut ayah. Kan ayah juga sayaaaang banget sama Ana. Bunda janji, sampai kapanpun Ayah sama bunda akan tetap sayang sama Ana," ucap Tatiana mencoba menjelaskan kalau apa yang dikatakan Triani itu tidaklah benar. Bagaimana mungkin ia bisa sejahat itu dengan anak sambung yang sudah membuatnya jatuh hati ini. Tatiana sungguh tidak mengerti, mengapa Triani sampai setega itu mengotori pikiran anak sekecil Ariana dengan kebohongan seperti itu.
"Bunda beneran akan selalu sayang, Ana?"
"Bener. Memangnya kapan sih bunda bohong?"
Ariana pun tersenyum lebar. Lalu ia memeluk Tatiana dengan erat.
"Ana sayang, bunda."
"Bunda juga sayang, Ana."
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
menyiksa diri sendiri.