(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah besar
Tibalah mereka di sebuah bangunan megah yang bagi Via lebih layak disebut sebagai istana. Seorang pria kemudian membukakan pintu mobil, sehingga Via segera turun dari mobil mewah itu.
Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut bangunan di depannya yang tampak dijaga dengan ketat. Ada banyak pria berseragam hitam yang berdiri di berbagai sudut.
Bagaimana aku kabur dari sini. Setiap sudut rumah ini bahkan dijaga dengan ketat.
"Ayo masuk!" ajak Tuan Gunawan.
"Tu-Tuan... ini rumah siapa?" tanya Via terbata-bata saat mengikuti langkah Tuan Gunawan yang sudah akan memasuki rumahnya.
"Ini rumahku, ayo masuklah."
Via masih terlihat ketakutan, sendi-sendinya terasa lemas, membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Pikirannya menebak, jika bukan mafia, Tuan Gunawan pasti orang penting di negeri ini.
Memasuki rumah itu, Via kembali terkesiap. Betapa megah dan mewahnya rumah itu. Setiap bagian tertata dengan sangat menarik. Beberapa pelayan wanita terlihat menyambut kedatangan tuannya. Lalu untuk apakah Tuan Gunawan membawa Via ke rumah itu?
"Ikut denganku!" ucap Tuan Gunawan melangkah memasuki sebuah kamar, membuat seluruh tubuh Via terasa meremang. Cairan bening pun mulai menggenangi bola matanya.
Merasa tidak punya pilihan lain, Via mendekat, kemudian berlutut di bawah kaki pria paruh baya itu. Isak tangis pun mulai terdengar menggema.
"Tuan ampuni saya! Saya tidak mau menjadi seorang wanita penghibur. Tolong lepaskan saya, Tuan... Saya akan membayar uang yang sudah Tuan keluarkan untuk membebaskan saya hari ini. Tapi saya mohon, lepaskan saya."
Lagi-lagi pria itu menyeringai misterius. "Berdirilah! Dan ikut aku ke kamar."
Seorang wanita muda yang menggunakan seragam hitam putih membuka pintu sebuah kamar, mempersilakan tuannya masuk. Namun, Via masih dalam posisi berlutut di lantai, dengan air mata yang mengalir, sehingga seorang asisten pribadi Tun Gunawan menghampirinya.
"Nona, Tuan meminta anda masuk ke kamar itu, jadi masuklah ke sana," ucapnya.
Mengusap air mata, Via memberanikan diri bangkit, lalu memasuki kamar itu. Kini, ia hanya dapat berpasrah pada Yang Kuasa.
Via membeku di ambang pintu. Tatapannya menyapu sebuah kamar besar dan mewah. Di sudut sana, Tuan Gunawan duduk di sebuah kursi tunggal. Bukan Tuan Gunawan yang membuatnya terpaku. Akan tetapi seorang wanita paruh baya yang duduk di atas kursi roda. Pelan-pelan, Via melangkahkan kakinya memasuki kamar itu.
"Duduklah," Tuan Gunawan menunjuk kursi di depannya. Namun pandangannya tidak lepas dari wanita paruh baya yang duduk lemah di kursi roda. Beberapa saat kemudian, ia mengalihkan pandangannya pada Via.
"Ini istriku, beberapa tahun lalu, dia mengalami depresi akibat sebuah kejadian menyedihkan yang terjadi di keluarga kami," tutur Tuan Gunawan. "Bisakah kau membantuku merawatnya? Aku akan memberimu uang lebih dan memenuhi semua kebutuhanmu jika kau mau."
Via membeku, entah harus menjawab apa, namun ia merasa sudah sangat lega karena pria itu hanya memintanya merawat seorang wanita yang sedang sakit. Segala pikiran buruknya pun melayang.
Dalam keadaan masih bingung, Via kembali bertanya. "Hanya merawatnya, Tuan? Apakah itu artinya saya harus tinggal di sini?"
"Tidak ... Kau tidak perlu tinggal di sini. Datanglah setiap hari jika kau punya waktu luang, kau hanya perlu menemaninya dan bicara dengannya. Aku mempekerjakan banyak orang perawat untuk menjaganya, tapi istriku tidak begitu menyukai mereka. Setelah melihatmu, aku yakin dia akan menyukaimu."
"Tapi bagaimana kalau nyonya juga tidak menyukai saya."
"Dia pasti akan menyukaimu. Menantu kami Shera, sangat dekat dengannya, mungkin usianya hampir sama denganmu. Tapi sayang, dia tidak di sini lagi."
"Lalu kapan saya bisa mulai, Tuan?"
"Terserah kau saja. Besok juga bisa. Aku percayakan istriku padamu." Pria itu melirik arah jarum jam di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Sudah malam, pulanglah! Sopir akan mengantarmu."
Betapa lega hati Via, apa yang ia takutkan ternyata hanyalah pikiran buruknya belaka. Tuan Gunawan ternyata adalah seorang pria yang sangat baik.
Setelah berpamitan, ia pulang dengan diantar seorang sopir.
******
Selepas kepergian Via, Tuan Gunawan memasuki ruangan kerjanya. Tak lama berselang, Surya, seorang pria berusia 30tahun yang menjadi asisten pribadinya ikut masuk ke ruangan itu dengan membawa secangkir teh hangat.
"Tuan ... Apa Tuan yakin ingin gadis itu merawat nyonya? Bukankah kita bisa menyewa perawat profesional jika yang merawat nyonya masih kurang?" tanya Surya.
Tuan Gunawan menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis. "Entahlah ... sejak pertama melihatnya, aku sangat menyukai gadis itu. Terlebih hari ini, saat aku melihatnya merawat seorang anak kecil di panti asuhan dengan penuh kasih sayang. Aku bisa melihat ketulusan dari sikapnya."
"Tapi apa gadis itu bisa dipercaya?"
"Aku juga penasaran ingin tahu." Tuan Gunawan lalu menyeruput teh hangat yang dibawakan oleh sang asisten. "Entahlah, aku sangat tertarik dengan gadis itu. Tidak banyak gadis sepertinya yang sanggup berkorban begitu besar untuk seorang anak yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya."
"Ya, semoga dia memang seorang gadis baik," sahut Surya. "Sudah larut malam, Tuan. Anda sebaiknya beristirahat."
"Apa Wira tidak pernah pulang ke rumah?"
"Tidak, Tuan. Sepertinya sekarang dia tinggal di rumah barunya. Sudah beberapa hari ini saya tidak melihatnya."
Tuan Gunawan menyandarkan punggungnya di kursi seraya menarik napas dalam. Memikirkan putra semata wayangnya yang akhir-akhir ini menjadi seorang pemabuk.
"Biarkan saja dia ... Dia pasti tertekan setelah semua yang terjadi padanya. Kehilangan anaknya pasti sangat menyakitinya."
"Baik, Tuan. Apa anda masih membutuhkan sesuatu?"
"Tidak, istirahatlah."
****
_
_
_
_
_
Malam sudah semakin larut ketika Via menjalankan ibadah malamnya. Inilah yang ia lakukan setiap malam. Berdoa dan berdoa kepada Sang Pencipta akan datangnya sebuah keajaiban. Derai air mata yang mengiringi setiap sujudnya seolah tidak akan cukup untuk mewakili rasa sesal karena telah menjerumuskan diri ke dalam dunia malam yang kelam.
Manusia hendaklah berserah dan meyakini, bahwa tidak ada kejadian tanpa sebuah alasan. Sebabnya, Via berusaha untuk ikhlas dan sabar menjalani.
Selepas menjalankan ibadah, ia mendekat pada seorang gadis mungil yang sedang tertidur dengan wajah pucat. Ia kecup kening balita itu dengan hati-hati agar tidak sampai membangunkannya.
"Lyla Sayang ... Maafkan kesalahan bunda yang menempuh jalan pintas untuk membiayai Lyla. Tapi, bunda janji, setelah ini akan mencari uang yang halal untuk Lyla berobat. Bunda terlalu sayang Lyla sampai lupa untuk berserah diri."
Ia meraih jemari kecil Lyla dan mengecup punggung tangannya. Rasanya tidak ada yang lebih sakit dari melihat anaknya terbaring lemah seperti sekarang, walaupun sejatinya Lyla bukanlah anak yang terlahir dari rahimnya.
Tiba-tiba, ia kembali teringat pesan dokter, bahwa Lyla dapat tertolong dengan pencangkokan sumsum tulang belakang yang berasal dari pendonor keluarganya.
"Kemana aku harus mencari keluarga Lyla? Kenapa mereka begitu tega membuangnya?" Pertanyaan itulah yang selama ini ada di benak Via.
****