Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD24
Malik menaiki jalan terjal dengan napas terengah-engah. Diterobos nya ratusan pepohonan untuk mencapai rumah sang tuan.
Ya, Malik merupakan kaki tangan dari monster sinting itu. Dan, hanya Malik lah yang mengetahui bagaimana rupa sang tuan. Jika rekan-rekan kantornya berada di bawah perintah Dirham Mangkujiwo untuk menjaga kasus sang putra agar tak diselidiki, Malik justru ditugaskan Dirham untuk menjadi kaki tangan sang anak. Pria itu bertugas membereskan kekacauan yang ditinggalkan Edwin, dan juga bertugas melaporkan semua ulah putranya kepada sang ayah, Dirham Mangkujiwo.
Sebenarnya, Malik sudah berencana akan mengundurkan diri dari kepolisian. Ia juga ingin mundur, tak lagi menjadi antek Edwin maupun Dirham. Tugas terakhirnya yang melenyapkan nyawa Davina, benar-benar merusak mental pria itu. Tak pernah terbayangkan, ia akan membunuh seseorang. Namun, entah siapa yang membocorkan, Edwin mengetahui semua rencananya itu. Hingga hari ini, sang tuan meminta Malik untuk mengunjunginya.
"Apa dia ingin mencegah dan menyogokku dengan bertumpuk-tumpuk uang?" gumam Malik dengan penuh binar. Rumah sang tuan sudah di depan mata.
Malik kembali berjalan, mendekati rumah Edwin. Namun, langkahnya terhenti sejenak, telinganya menangkap suara keributan yang berasal dari dalam rumah bernuansa gelap milik sang tuan.
"Sial, itu pasti ulah Kapten Bella. Kenapa dia belum juga kembali ke kantor, sih? Ah, merepotkan saja!" umpat pria itu dengan suara pelan.
Dengan langkah mengendap-endap ia menaiki anak tangga, lalu mengintip dari balik tembok. Malik terperangah melihat Edwin tengah menikmati pukulan yang membabi buta.
"Gawat! Jika Mas Edwin tertangkap, bisa-bisa aku juga akan masuk dalam jeruji besi ...!" Malik menggigit ujung bibirnya dengan perasan kalut. "Bagaimana ini?!"
Sepasang bola mata miliknya mengedarkan pandangan, mencari-cari apa saja yang bisa ia gunakan untuk menghambat aksi Bella. Netra hitamnya membulat ketika melihat kaleng cat yang diletakkan di atas meja teras.
Tanpa pikir panjang, Malik menyambar benda itu dan segera masuk ke dalam ruangan. Dengan menghilangkan belas kasihan, pria itu menghantam kuat kepala Bella hingga sang kapten tak sadarkan diri.
Kaleng cat dalam genggamannya terlepas, wajahnya pias. Pria itu mengira sang kapten mati di tangannya. Berkali-kali ia meneguk kasar ludahnya. Tawa Edwin yang membahana semakin membuat suasana terasa mencekam.
"Lik, sekali saja kau membunuh ... maka kau akan terus-terusan haus dengan hal yang sama ...," ujar Edwin. Pria itu segera menyingkirkan tubuh Bella.
"A-apa dia benar-benar mati?" tanya Malik cemas.
"Mati atau tidak, itu akan jadi keputusan ku. Yang perlu kau lakukan saat ini adalah membawa wanita ini ke rumah Ayah ku ...," sahut Edwin dingin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Jadi, kau benar-benar ingin pergi dari kota ini?" Edwin menelisik dengan tatapan. Bibirnya tersenyum tenang.
"Benar, Mas. Saya ingin memulai hidup baru di luar sana. Mas tenang saja, rahasia Mas Edwin akan aman bersama saya ...," sahut Malik polos.
Edwin menampilkan senyuman miring sembari menyugar rambut bergelombang nya yang berkilau di timpa cahaya lampu ruangan.
"Aku jadi terharu. Sayang sekali kau harus pergi secepat ini, padahal kerja mu sangat bagus, Lik." Tutur Edwin membuat kepala Malik tertunduk.
"Pergilah ke sudut ruang itu, Lik. Tepatnya di samping lemari tua itu, di sana ada kotak usang. Bukalah, aku sudah menyiapkan hadiah untukmu. Orang ku tak boleh pergi begitu saja tanpa membawa hadiah," lanjutnya dengan senyuman manis.
Malik mendongak lalu menatap sang tuan dengan perasaan tak nyaman. "T-tidak perlu, Mas. Bayaran dari Pak Dirham dan Mas Edwin sudah sangat banyak sejauh ini. Jadi, tidak perlu repot-repot menyiapkan hadiah."
"Diam dan menurut lah. Aku sangat tidak suka mendengar bantahan," tak ada senyuman lagi yang tersungging di bibir Edwin. Kini wajahnya kembali dingin dan datar.
Malik masih diam di posisi semula sembari meneguk kasar ludahnya. Kedua kakinya lemas, firasatnya amat buruk. Ingin rasanya ia kembali menolak. Namun, tatapan tajam dari Edwin membuatnya tak memiliki pilihan.
Pria itu bangkit dari duduknya, dengan langkah gontai ia berjalan menuju sudut ruangan yang ditunjuk Edwin. Lama ditatapnya kotak usang dengan dilema. Malik menarik napasnya dalam-dalam, lalu dengan tangan bergetar ia membuka kotak tersebut. Namun, bola matanya seketika membeliak. Beberapa paku tembak melesat cepat, menembak dan tertanam di kepalanya.
Jeritan Malik memenuhi seisi ruangan, seketika ia tumbang dengan tubuh menggelepar. Wajahnya berlumuran darah.
Sementara Edwin, pria itu duduk di kursinya dengan tenang. Setelah melihat tak ada lagi pergerakan dari Malik, pria itu bertepuk-tepuk tangan dengan riang. Tubuhnya berguncang akibat tawa yang menggila.
"Ah, ha ... ha ... lucu ... sekali, ha ... ha ...!" jeritnya dengan tawa keras.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Edwin menutup pintu kulkas kemudian berbalik badan, lalu pria itu bersandar di pintu lemari freezer sembari menatap Bella dengan tatapan aneh.
Bibirnya tersenyum miring. Dari tadi ia sudah tau jika wanita yang sejak tadi pingsan itu, kini sudah sadarkan diri.
Kakinya melangkah pelan, mendekati Bella yang masih berakting pingsan. Bibirnya mengulum senyum menahan tawa. Kini ia duduk bercangkung tepat di depan kepala Bella. Wajahnya mendekat, napasnya yang memburu berhembus hangat.
Bibir Edwin mendekati telinga Bella. "Kau sudah bangun, kan?" bisiknya disusul tawa tertahan.
Ia mengamati bulu-bulu halus di tangan Bella yang berdiri tegak. Baginya, Bella terlihat menggemaskan. Matanya berlabuh pada bibir ranum Bella yang tiba-tiba mendorong hasrat kelelakian nya.
Edwin mengecup hangat, kemudian membasahi bibir wanita itu dengan ujung lidahnya yang menyeruak. Bella seketika membelalak.
BUGH!
Edwin terjerembab di atas lantai ketika Bella menghantam wajahnya dengan ujung dahi.
"APA-APAAN KAU, MONSTER MESUM SIALAN?!" teriak Bella dengan suara bergetar. Edwin langsung tergelak.
Pria itu menutupi bibirnya dengan kedua telapak tangan, menatap Bella dengan wajah malu-malu.
"Jangan menatapku dengan wajah palsu mu itu!" bentak Bella keras.
"Jadi, aku harus menatapmu seperti apa, Bella? Apa ... seperti ini?" Edwin menatap penuh gairah. Membuat Bella bergidik ngeri.
"Kau ... buang jauh-jauh pikiran kotor mu itu!" desis Bella geram.
"Ah, kolot sekali kamu, Bell. Padahal ciuman itu sudah membuatku melayang. Hasratku untuk melenyapkan mu juga hilang. Sepertinya, bibir mu menjinakkan diriku. Apa ... aku harus memotong bibirmu lalu mengawetkan nya? Siapa tau, bibir mu itu mampu menahan hasratku untuk membunuh yang lainnya ...." Edwin menyeringai kejam.
Tubuh Bella seketika membeku mendengar ide gila Edwin.
"Tapi, Bell ... apa ... kau pernah berciuman sebelumnya?" pertanyaan Edwin membuat Bella terkesiap.
Bella tak menjawab, ia hanya menghujani pria itu dengan tatapan tajam.
"Sepertinya ini ciuman pertama mu, ya?" Edwin terkekeh. "Sama ... ini juga ciuman pertama ku."
"Berarti, itu tandanya kau juga belum pernah bercinta, kan?" Edwin menangkup kan kedua tangannya di dada dengan bola mata penuh binar.
Bella mulai gelisah ketika sorot mata Edwin mulai menggerayangi tubuhnya. Ia merasa ditelanjangi.
"Aku ... aku juga belum pernah!" Edwin tertawa renyah.
"Bagaimana ini? Apa kita harus melakukannya di sini? Wah! Jantung ku berdegup kencang! Kau dengar ini?" Lanjut Edwin sembari mendekatkan dadanya ke telinga Bella. Wanita itu memejam kuat matanya.
"Jangan gilaaaaa!" Bella menyundul dada pria itu dengan ujung kepalanya. Edwin kembali tertawa.
"Ah, ayo lah! Jangan membuat mood ku berantakan!" Edwin melompat-lompat bagai bocah yang meminta permen pada sang ibu.
"Pokoknya, kita harus bercinta!" Edwin melonggarkan tali pinggangnya. Wajah Bella pias seketika.
"K-kau, jangan main-main! Jangan bercanda! Ini tidak lucu, Sialan!" maki Bella.
Edwin menghentikan aksinya, lalu menatap dingin Bella. "Kenapa kau seperti ini? Biasanya kau ramah sekali padaku. Apa kau merasa terhina karena aku akan menidurimu dengan tangan kosong saja? -- Kau ingin hadiah? -- Aku punya hadiah, kau pasti akan suka. Tunggu di sini sebentar ...."
Edwin berjalan menuju sebuah ruangan yang tertutup dengan pintu berbahan besi. Entah apa yang dikerjakan nya di dalam sana.
Tak berselang lama, netra Bella berhasil dibuat membola. Edwin keluar dari ruangan tersebut sembari mendorong ranjang besi beroda. Tidak, bukan ranjang beroda yang membuat Bella terkejut setengah mati, tetapi, sosok yang ada di atas ranjang tersebut. Tommy Aditya Bakti, terbaring lemah di atas ranjang dengan kondisi tak sadarkan diri.
Edwin mendorong ranjang tersebut sampai tiba di sisi Bella, pria itu tak berhenti tertawa.
"Aku sudah membawakan mu hadiah, jadi, kita bisa memulai nya sekarang kan?" Edwin menyeringai mesum.
*
*
*
Selamat hari senin readers, semoga mood kalian minggu selalu 💖
Amankan kuota vote nya ya buat author🤭
Jangan malu-malu ninggalin jejak cinta di karya ini 💖
Interaksi bersama kalian, membuat Author semangat berkarya 💖
edwiiinnnnn kamu bajingaaaannnnnn
Edwin psikopat yang udah ... entahlah sulit menjelaskannya 😀
Keren kamu Kak❤️
tolong triple up 🤭
jantungku kicep tor 😩
udah kyk nonton film Hollywood.
sama film horor korea, yg cowoknya jatuh ke dalam peti yg ada pakunya itu looo, lgsg nancep ke muka 😩