NovelToon NovelToon
DEVANNA

DEVANNA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi / Office Romance
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Evrensya

Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.

Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bersama Senja Yang Merona

Langkah Anna mengayun cepat di antara beberapa orang yang berlalu lalang sambil bergandengan tangan bersama kekasihnya. Sesekali suara cekikikan manja keluar dari bibir sang wanita yang sedang menikmati obrolan kecil di tengah kebisingan suara kendaraan yang padat di penghujung sore ini.

Kali ini Anna tak ragu-ragu begitu Devan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil Audi R8 itu. Untuk apa memelihara keraguan yang bertolak belakang dengan hasratnya yang ingin selalu berada di dekat pria itu. "Ah, betapa lancangnya bisikan hati ini. Dan betapa bodohnya gerak tumbuh ini. Mengapa otak ku tidak mampu menolak dorongan aneh ini." Pertahanan yang Anna bangun tinggi-tinggi, selalu roboh sia-sia.

Anna pun segera menyambut baik panggilan itu dan langsung melakukan perintah Devan dengan berlari kecil, lalu mengambil tempat duduknya tepat di samping Devan yang kini duduk di kursi kemudi. Anna lalu menutup pintu mobil dengan tarikan yang kuat seperti sebelumnya, sehingga menimbulkan suara yang cukup keras—membuat pria di sebelahnya itu sedikit tersentak. Namun yang nampak setelahnya justru senyuman lebar dari pria berwajah eropa yang terlihat senang menyambut kehadiran Anna.

"Sudah bisa memakai sabuk pengaman atau—mau aku pakaikan?" Devan memberikan pertanyaan dalam bentuk godaan.

"Saya bisa!" jawab Anna dengan tegas, namun hatinya begitu gugup. Detak jantung yang tak kunjung mereda ini sangat mengganggu gaya bicaranya.

"Apa yang kau beli?" tanya Devan pada Anna yang sedang melingkari tubuhnya dengan sealt belt. Sedang barang belanjaannya ia letakkan pada pinggiran tempat duduknya.

"Obat pereda nyeri." Jawab wanita yang masih fokus dengan kesibukannya sendiri.

Devan mendengus kecil, namun lembut. "Mengapa tadi ketika di kantor kau terlihat baik-baik saja, seolah kakimu tidak mengalami cidera."

"Saya harus bekerja secara profesional dalam keadaan apapun," jawab Anna seraya mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman.

"Tapi di depanku kau tidak bisa berpura-pura, aku bisa melihat betapa sulitnya dirimu menahan sakit, nampak jelas dari raut wajahmu yang sesekali mengetat. Karena itu, aku juga sudah menyiapkan perawatan kaki untukmu." Devan menunjuk ke belakang dengan jempolnya.

Anna melongok ke arah dimana benda yang di maksudkan Devan itu berada. Sebuah kotak medis berwarna putih terlihat duduk manis di atas sofa mobil bagian belakang.

"Anda sungguh di luar dugaan." Tukas Anna. Ya, Devan sungguh tak terduga, pria yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap wanita itu mampu menyelindapkan sebuah kesan penghormatan yang tinggi di dalam dada Anna.

Devan hanya menanggapinya dengan anggukan halus, sambil sebelah tangannya menjamah tisu di atas dashboard mobil, lalu mengusapkan ke kening Anna yang menyimpan tetes-tetes air itu.

Manik hijau Anna menangkap potret pria yang memasang wajah berseri itu sejenak, lalu beralih ke arah depan. Segurat senyuman manis nampak di balik tingkahnya yang tersipu. "Boss..." lirihnya.

"Namaku Devan Artyom. Kau tidak perlu menggunakan etika formal ketika di luar. Aku suka ketika kau menyebut namaku."

"Tapi—"

"Ini perintah! apa harus berkata seperti itu baru kau mau menyenangkan aku?" Devan melepaskan kata-katanya begitu saja tanpa beban.

Anna mengangguk, dua kali, tanda patuh. "Baiklah." Kali ini Anna menyimpan kuat-kuat senyuman besar di dalam mulutnya, dan hanya memperlihatkan segaris senyum kecil di bibir. Ini tanda bahagia yang tak berani ia nampakkan secara nyata.

Oke! Tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan Devan. Lagi pula dalam hati kecilnya, Anna pun sangat senang menyebut nama itu, Devan Artyom. Sebuah nama yang paling lekat dalam sanubarinya, adalah hal yang sangat menguntungkan jika di izinkan menyebut nama itu di depan pemiliknya. Bahkan Anna ingin sekali meneriakkan nama Devan keras-keras hingga menggema di seluruh alam semesta.

"Oke, mari kita berangkat." Devan memindahkan tuas persneling mobil, melepaskan pedal rem perlahan hingga roda mobil ini melaju ke jalan besar.

Anna hanya diam memandang pemandangan yang tampil silih berganti. Jalanan terlihat padat oleh kendaraan, karena ini adalah waktu orang-orang berangkat serta pulang dari aktivitas sehari-hari. Anna menoleh ke arah Devan, lalu memperhatikan sketsa wajah nan sempurna yang nampak begitu tampan dari samping.

"Apa ada yang hendak kau katakan padaku?" Devan kembali menyumbang tanya di balik kesibukannya memusatkan fokus pada jalan. Cahaya kuning di langit yang mulai meredup telah tergantikan oleh sorot lampu-lampu mobil yang menyilaukan.

"Apa tuan Daniel benar-benar orang yang berpengaruh besar dalam menghancurkan hidupmu?" secara blak-blakan, Anna melontarkan tanya, melupakan sejenak soal etika, batasan, atau apapun itu antara dirinya dan Devan. Kali ini ia harus membedah sendiri penderitaan yang bertopeng itu. Yang selalu di gunakan pria dengan paras datar ini untuk menutupi rahasia jiwanya rapat-rapat.

Kening yang di kerutkan wanita itu seolah mewartakan kepada Devan bahwa dia tengah bersungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Binar matanya yang menyala tajam seolah mengisyaratkan kejujuran yang harus di katakan oleh pria itu saat ini juga.

"Iya, kau benar." Devan pun tak ragu-ragu menjawab. "Hidupku hancur karenanya. Segala hal yang seharusnya menjadi milikku telah di ambil seluruhnya. Sehingga aku hidup seperti rongsokan kosong yang tak berharga, bahkan aku di kendalikan dengan remote control yang di pegang oleh seseorang yang membuatku wajib tunduk padanya, dialah Ibuku."

Devan mengalihkan kepala kepada wanita berponi tebal lurus di sampingnya ini. Ia dengan sengaja merobek lesakan rahasia yang tertimbun pada ingatannya. Dan mengatakan dengan sebenar-benarnya pada Anna yang sedang menatapnya nanar penuh iba.

Anna tersenyum getir mendengar kalimat kejujuran yang sangat giris. Dan di atas permukaan hati Anna kembali di sentuh segaris luka.

"Aku penasaran, bagaimana caramu memandang dunia setelah mendapatkan begitu banyak rasa sakit darinya. Dunia yang seolah-olah hanya kejam kepada manusia yang memelihara kemurnian hatinya. Dan di paksa mengalah pada setiap langkah yang di penuhi oleh sayatan luka tak berdarah. Aku tak ingin bertanya apa kau baik-baik saja, aku hanya ingin tau apa yang membuatmu tetap utuh dengan kemurnian jiwa yang sama, tak berubah. Aku sama sekali tidak memandang itu adalah sebentuk kelemahan, kendatipun aku merasa prinsip tersebut bagai tombak beracun malaikat maut yang tanpa henti akan terus mengoyak jiwa."

Nada suara Anna datar. Tapi sangat lancip dan giris di hati Devan yang mendengarnya, bagai pecahan beling yang di iriskan ke urat lengan. Yang di katakan Anna itu benar adanya, wanita ini selalu bisa membuat perumpamaan tentang hati Devan yang bahkan ia sendiri tidak pernah mampu mengartikan maknanya.

Devan mengambil tarikan nafas berat dalam-dalam. Menghempaskannya teratur, melesatkan kabut-kabut, lalu duduk santai dengan punggung berat. Devan sungguh tidak ingin menjawabnya, ia tidak ingin membebani Anna dengan tumpukan sampah busuk yang memenuhi liang jiwanya yang kelam.

"Bagaimana denganmu? akupun bisa melihat ada banyak luka yang kau pelihara." Pria itu justru melemparkan jawabannya kepada Anna. Ia lebih memilih agar Anna lah yang membuka tabir hatinya, sebab jawabannya hanya di miliki oleh wanita ini.

Manik wanita itu memusatkan sinarnya pada segaris wajah yang berusaha tenang di depan matanya. "Aku... jiwaku tidaklah murni, ada banyak kebencian yang tertimbun didalamnya. Hasrat hati ingin menghancurkan dunia dan seisinya. Tapi aku tau kalau hal itu hanya akan menghancurkan diriku seorang. Lalu, luka itu membuatku memandang dunia seperti jalanan yang di penuhi oleh duri beracun yang siap mengoyak ku ketika melangkahinya."

"....."

"Tidak ada jalan untuk membelok ataupun mundur, karena di sekelilingku seolah di jaga oleh pasukan rompi baja yang siap memenjarakan ku dengan hukuman sadisnya. Tapi seseorang pernah mengatakan padaku bahwa kita harus siap berperang melawan hidup ini sampai kita menjadi pemenangnya."

"....."

"Aku kemudian memantapkan hati. Tidak ada jalan lain selain melangkah maju, meski harus terkoyak, dan tak akan utuh. Setidaknya aku bukanlah seorang pecundang kehidupan yang bersembunyi di atas kegelapan rasa takut yang diam-diam menancapkan pedangnya ke jantungku. Aku harus berjalan lurus sampai pada titik dimana dunia tak lagi memiliki cara untuk mengalahkan ku." Suara Anna kian serak. Ia duduk dengan tubuh menegang dengan dada yang di tumbuki langkisau, lumat oleh perasaan yang menyayat.

Mendengar jawaban yang di berikan Anna membuat Devan tak sanggup lagi menahan banjir kesedihan di matanya. Ia membiarkan wajahnya mengkerut begitu sakitnya di depan mata Anna yang sedang menatapnya dengan kelopak berkaca-kaca.

"Anna, kau sungguh menyatu dengan duniamu dengan sangat baik. Walau disana yang kau lihat hanya pemandangan tentang luka. Tapi apa kau tidak menyadari, hatimu memproduksi antibody yang sanggup bertahan dalam kondisi apapun. Kau berhasil melampaui duniamu sendiri yang saat ini sedang terengah-engah mengejar mu yang tidak lagi memperdulikannya. Karna bagimu, baik luka ataupun bahagia, tidak ada bedanya, bukan?"

Anna menghela nafas lemah. "Devan, aku bertanya bagaimana denganmu? Bagaimana dengan lukamu?" Anna menekan tanyanya.

"Bukankah kau sudah menjawabnya sendiri?"

"Tapi aku ingin mendengar satu patah kata darimu." Suara Anna memelas, namun memaksa.

Devan menarik satu tarikan nafas panjang sebelum membuka suara. "Kau bertanya bagaimana aku memandang dunia yang kejam ini, kan? mulai sekarang aku tidak akan lagi memandangnya dalam sebuah makna apapun, aku akan meletakkannya di bawah kakiku, dan akan melumatkannya tanpa ampun."

Devan mendenguskan keyakinan. Tatapannya fokus ke depan. Mata tajamnya yang serupa mata elang, meski sungguh di balik kilatannya itu terlihat kilauan mutiara-mutiara yang begitu sendu, bersinar redup.

Anna menekuk kepalanya ke belakang, menyandar kuat pada leher sofa mobil, dengan mata memejam. Ia meresap semua kekuatan yang ada dalam kata-kata Devan. Jelas sekali pria itu sedang mendeklarasikan peperangan terhadap segala bentuk kekuatan gelap yang telah menghancurkan hidupnya. Kini dia bukanlah sosok pipit jantan yang hanya memandang hidup dengan harapan sinar hangat matahari paginya. Dia kini berubah menjadi segagah elang di angkasa yang menantang panas matahari memantau mangsanya dari atas sana.

Devan lalu memelankan laju mobilnya. "Sepertinya kita akan menghabiskan banyak waktu di jalan," ujarnya yang sedang melihat kondisi jalanan yang seluruh sisinya di penuhi oleh kendaraan yang sedang berjejer, tanda kemacetan mungkin akan terjadi.

Anna kembali menegakkan kepalanya pada posisi semula.

"Devan..." lirihannya begitu halus membelai telinga orang di panggilnya.

Suara lembut Anna yang memanggil si pemilik nama itu seketika membuat satu hentakan keras pada jantungnnya, seperti terlepas paksa dari tempatnya, hingga tanpa sadar ia menginjak pedal rem hingga mobil itu berhenti mendadak.

"Devan, ada apa?" tanya Anna sedikit panik.

"Bukan apa-apa, Anna." Timpal Devan lembut seraya melajukan mobilnya kembali. Berusaha menormalkan derap jantungnya, mengatur hembusan nafasnya yang memburu bagai iringan gelombang air laut yang menghempaskan tepian pantai hatinya. "Oiya ada yang ingin kau bicarakan lagi?"

"Emm, sebenarnya ini bukan pertanyaan yang penting. Jika kau merasa terganggu dengan pertanyaan ku kali ini, kau boleh mengabaikan nya."

"Memangnya itu pertanyaan seperti apa, kau terlihat ragu mengucapkannya."

Netra hijau Anna masih menancap kuat pada wajah Devan. "Devan, apa kau merasa pernah bertemu dengan seorang gadis di masa lalu, pada malam saat hujan di sebuah halte bus itu?" tanyanya dengan nada yang terdengar penuh harap di dadanya sendiri.

Devan diam sejenak, ia tidak langsung menjawab, terlihat ia sedang memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan kepada Anna. Ia tidak menduga kalau Anna akan mempertanyakan soal kenangan berharga itu. Jika ia mengakuinya sekarang, kemungkinan baiknya adalah hubungannya dengan Anna akan tumbuh semakin subur, sebab ia akan semakin leluasa melimpahkan seluruh bentuk isi hatinya selama ini.

Namun kemungkinan buruknya adalah, hubungan mereka akan semakin terlihat nyata dalam pandangan semua orang. Ia akan kesulitan menahan diri untuk tidak merekatkan diri pada wanita ini. Ketika sekali perasaan nya di tumpahkan maka tidak akan pernah terbendung lagi. Apalagi jika keluarganya sampai mengetahuinya, tentu Anna akan menjadi target incaran yang harus di singkirkan. Revy pun tidak akan tinggal diam, wanita serakah itu pasti akan menyeret Anna pada situasi yang mengerikan.

Tidak! Ini adalah perang pribadi yang tidak boleh menyeret siapapun di dalamnya. Apalagi jika itu adalah Anna yang harus ia lindungi dalam benteng yang kokoh. Yang tak akan terjamah siapapun.

Untuk saat ini, tidak ada pilihan lain selain berpura-pura tidak mengenal Anna. Nanti bila telah tiba masanya, di saat Devan sudah berhasil mengatasi semuanya, barulah ia akan mengikat Anna erat-erat dan tak akan di lepaskan lagi. Ini pasti berat bagi Devan sendiri. Menahan hati pada seseorang yang ingin sekali di rengkuhnya. Setiap detik harus selalu menahan diri untuk tidak mengatakan kata-kata hatinya.

Pastinya ini berat juga bagi Anna, yang akan terus bertanya-tanya tentang arti dari bentuk perhatian Devan padanya. Biarlah... biarlah begini adanya... membiarkan takdir mengalir seperti air yang kelak akan bermuara dalam satu tempat yang sama, lautan cinta.

"Anna. Aku tidak begitu yakin, pernah atau tidaknya. Tapi jika aku sudah mengingatnya, aku akan mengatakannya padamu." Hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari bibirnya.

"Ohh, mungkin tidak pernah, aku hanya asal bertanya, maaf." Anna tertunduk lemah.

Apakah Devan benar-benar tidak mengenali dirinya? sedangkan semua penyamarannya sudah tidak berguna di hadapan pria itu. Devan sudah melihat Anna baik tanpa riasan palsu ataupun cat rambut yang menutupi warna rambutnya yang khas. Pada tengah malam ketika hujan sehari yang lalu telah membuka semua tabir kepalsuannya. Yang terpampang di hadapan Devan adalah sosok Anna yang sesungguhnya—yang pernah bertemu dengannya dahulu. Ataukah memang Devan menganggap pertemuan itu tidak penting? sedangkan bagi Anna, malam itu adalah suatu waktu terbaik yang pernah ada dalam hidupnya.

Devan melirik ekspresi wanita itu yang tiba-tiba kehilangan semangatnya, netranya menatap lekat tanpa mengerjapkan mata, sebelum membuang matanya ke arah kaca laminated mobil yang di bagian mukanya nampak seorang anak laki-laki melintas sambil memeluk sebuah kotak dengan berbagai barang dagangannya.

"Anna, baik di masa lalu ataupun masa kini apa bedanya, jika yang kau temui adalah bentuk kemurnian jiwa yang sama." Lalu Devan berupaya menghibur nya kembali.

Anna tidak menimpali kata-kata Devan lagi, namun pria itu yakin kalau Anna cukup cerdas untuk mengerti makna kalimat yang di ucapkannya barusan. Dan Devan juga yakin sesungguhnya kini wanita itu sedang gagal membunuh perasaannya sendiri yang mengkerut mendengar jawaban Devan, kau ia tidak terlalu memperdulikan soal pertemuan di masa lalu itu.

"Kau mengerti maksudku kan?" Devan merasa perlu memastikan.

Anna hanya memberikan anggukan tipis.

"Apa gunanya aku menanyakan tentang masa lalu yang mungkin saja adalah awal ikatan hati itu terjalin. Bahkan sekalipun pertemuan singkat di masa lalu itu tidak pernah ada, bertemu kembali dengan jiwa yang sama di masa depan yang panjang adalah hal yang patut di syukuri. Jiwa yang sama, manusia yang sama, dan perasaan yang sama. Bukankah itu berarti Tuhan sedang memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk kita?" Perlahan, air wajah Anna berubah membaik seperti sedia kala.

"Anna Isadora, kau sudah berdamai, kan?" Lirih Devan membatin.

Senyuman hangat yang di berikan Anna seolah memberikan jawaban dari lontaran kata yang di bisikkan hatinya.

Hingga tak terasa, kemacetan yang menghadang mereka dalam waktu lebih dari puluhan menit itupun berlalu begitu saja. Bahkan lajunya mobil menembus jalanan kota yang ramai hingga sampai pada titik tujuan di gang sempit nan sepi itu, terasa begitu singkat. Mobil hitam itu berhenti di tempat yang sama seperti sebelumnya saat mengantarkan Anna pulang, pada sisi jalan kecil yang terdapat sebuah pohon mangga disana.

Gurat jingga yang menawan terlukis indah di ujung barat sana. Menandakan sang Surya siap-siap untuk tenggelam. Menjemput mesra ketenangan malam yang sebentar lagi akan datang. Di atas sana pada sebuah tiang yang berdiri kokoh, sebuah lampu jalanan mulai berpijar cukup terang namun tidak mampu menjangkau area yang luas. Anna kini bersiap membuka pintu mobil namun segera di hentikan oleh Devan.

"Tunggu, biarkan aku melakukan sesuatu untukmu." Ucapnya terburu.

Anna tidak membantah atau pun menolak kali ini. Ia membiarkan pria itu melakukan apapun untuknya. "Baiklah, lakukan saja," sahut Anna senang.

Anna sudah tau, apa lagi yang akan di lakukan pria itu selain memberikan sebuah perhatian yang begitu tulus padanya. Jadi kali ini Anna akan menerimanya dengan lapang dada. Tidak perlu bertanya-tanya apa artinya. Tidak perlu bersikeras menolaknya karena merasa tidak pantas menerimanya. Itu tidak akan berlaku lagi sekarang.

Devan segera keluar dari mobilnya setelah mengambil sebuah kotak medis yang masih dalam posisi yang sama. Lalu mengambil langkah memutar menuju sisi dimana Anna berada. Ia menarik pintu mobil hingga terbuka lebar. Nampak lah sosok wanita berwajah ayu yang sedang duduk tegap dengan sealt belt yang sudah terbuka.

Devan yang sedang berdiri menenteng kotak putih di tangan kanannya itu perlahan menurunkan tubuhnya dari posisi berdiri dengan berjongkok sebelum beralih ke tekukan kedua lututnya yang lurus ke depan. Ia lalu membuat satu tumpuan dari sendi lutut kanannya yang memijak kuat di atas aspal hitam yang keras.

"Anna, bawa kakimu ke hadapanku," ucapnya sambil meletakkan benda yang di tangannya tepat di sisinya.

Anna langsung menuruti kata-kata Devan dengan memutar tubuhnya menghadap pria gagah itu. Lalu tanpa permisi Devan segera melepas sandal jepit hitam yang masih bertengger di kaki Anna yang putih dengan tumit yang meronakan merah muda. Devan melongok memutar arah kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk melihat kondisi kaki wanita yang kelihatannya mengalami pembengkakan pada pergelangan kaki sebelah kiri.

"Ini tidak akan lama. Tunggu sebentar saja, agar besok nyeri dan bengkaknya hilang. Dan malam ini kau bisa tidur dengan nyaman." Devan menundukkan kepala sambil mencondongkan tubuhnya ke bawah. Lalu kedua tangannya sibuk memainkan benda yang di ambilnya dari kotak medis yang tersedia di dekatnya.

Devan mulai membalut kaki Anna menggunakan perban elastis di antara jari dan telapak kakinya. Selanjutnya, memperluas area balutan dari telapak kaki dan naik ke arah tumit hingga pergelangan kaki Anna. "Bagaimana? Apa rasanya lebih nyaman? Katakan kalau balutannya terlalu kencang, aku akan melonggarkan nya agar kakimu tidak mati rasa."

"Sangat nyaman." Sahut Anna dengan nafas yang begitu tenang. Matanya memusat pada tengkuk pria itu yang nampak putih bersinar, kontras dengan garis rambutnya yang hitam. Punggung Devan yang kokoh terlihat dengan sangat leluasa dari jarak yang hanya beberapa jengkal saja dari atas sini. Tubuh pria yang bersedia membungkukkan diri di bawahnya itu terlihat bergoyang mengikuti gerakan lengan dan bahunya yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

Ah, pria ini membuat Anna mabuk kepayang. Ingin rasanya ia meletuskan lahar rasa yang membuncah menguasai dirinya. Ia tidak bisa menahan haru menerima kebaikan sebesar ini dari seorang pria yang di anggapnya bagai bintang Andromeda yang paling indah menghiasi luasnya langit di atas sana. Seseorang yang pada awalnya ia anggap tak mungkin bisa di sentuhnya, kini justru sedang menundukkan diri untuk merawatnya. Walau rasa tidak pantas masih ingin mendominasi pikirannya, tapi segera di hapusnya karena bahagia lebih kuat bertandang dalam dada.

"Devan..." panggilnya penuh arti. Entah mengapa ia ingin sekali menyebut nama itu ribuan kali, jutaan kali, bahkan tak terhitung.

"Hm?" jawab pria itu yang kini sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia mendongakkan kepala ke atas menatap wajah Anna yang menunduk hanya untuk bertemu mata dengannya. Devan lalu menunggu ucapan Anna selanjutnya dengan menyunggingkan senyuman tipis dan mata terbuka lebar.

"Jika kau membutuhkan seseorang untuk kau gunakan dalam segala kondisi, aku siap memberikan seluruh hidupku untukmu." Ungkap wanita itu begitu leluasa.

Devan menyeret senyumannya perlahan. Lalu menyimpan nya rapat-rapat. Ia tidak setuju dengan ucapan Anna yang ini.

Ia bangkit lalu memegang ujung kursi yang di duduki Anna dengan kedua tangannya, sambil bertumpu, ia menenggelamkan dirinya di atas tubuh Anna, memberi jarak hanya satu jengkal saja, memberikan sebuah dekapan tanpa sentuhan. Matanya menelan wajah Anna secara utuh, yang kini sedang membaringkan tubuhnya beberapa derajat. Dada wanita itu naik turun memompa nafasnya yang menggebu.

"Nona, tolong jangan pernah memberikan hidupmu pada siapapun. Kau di lahirkan untuk memiliki hidupmu sendiri, bukan mengorbankan nya atas nama kehidupan orang lain." Bola mata Devan memerah menatap Anna tanpa kedip. Nafasnya yang wangi menyembur halus menjamah seluruh wajah Anna. Wanita yang juga tak mau mengalihkan pandangan darinya itu hanya mengernyitkan dahi. Ia tak memberontak meski posisinya yang tersandera di bawah dada bidang milik Devan. "Kau bisa mengerti maksud ucapan ku, kan?"

"Iya tapi, kau terlalu dekat."

"Seperti ini saja kau terlihat tertekan, apanya yang mau berkorban?" Pria itu justru semakin menekan wajahnya kebawah.

"Lagi pula bukan pengorbanan yang seperti ini yang aku maksud." Tipis sekali suara Anna yang sedang berusaha mengalihkan pandangan dari seonggok wajah tampan yang berada tepat di depan bola matanya.

"Seharusnya kau tidak perlu pilih-pilih." Devan lalu menarik tubuhnya dari dekat Anna dan membereskan semua belas peralatan—perawatan kaki Anna, dan meletakkannya di tempat semula. Lalu ia kembali lagi menghadap Anna, dan membantu wanita itu berdiri dari duduknya. Dan berlutut kembali untuk memasangkan sandal di kedua kakinya.

Devan bangkit dan meletakkan satu lengannya mengelilingi punggung Anna, dan lengan lainnya di belakang lututnya. Ia menarik tubuh Anna mendekatinya dan langsung menggendong nya. Devan merangkul tubuh wanita itu kuat-kuat hingga melekat sempurna ke dalam dekapan nya.

"Devan, kau tidak perlu melakukan ini." Anna mencoba menolak untuk di gendong, meskipun reaksi tubuhnya berbeda dari apa yang keluar dari mulutnya.

Setelah mendorong pintu mobil dengan kakinya, Devan membawa tubuh Anna berjalan dengan langkah yang sengaja ia rapatkan—lambatkan—menikmati moment yang menggetarkan ini perlahan. "Lingkarkan tanganmu pada leherku," kata pria itu, tak peduli dengan reaksi Anna seperti apa. "Aku bahkan sudah menyentuh telapak kakimu, apakah hal seperti ini masih kau anggap berlebihan?"

Tanpa menjawab apapun, Anna langsung meraih leher Devan dan menyentuh tengkuk pria itu yang terasa hangat, lalu mengikat jemarinya disana. Pria yang terlihat begitu sexi dalam pandangannya ini melepaskan aroma testosteron dari dalam tubuhnya yang siap memabukkan.

Cahaya di langit mulai redup tergantikan oleh warna keabuan yang mengisyaratkan malam telah menjelma. Sedangkan langkah Devan yang mengayun lambat seolah memerintahkan kepada waktu agar tak bergegas menjangkau tiap detiknya. Tembang angin malam berkelana mengalunkan sebuah romansa yang harmoninya menggugah jiwa setiap rasa yang mendengarnya.

Seorang wanita yang tak mengalihkan matanya sedikitpun dari pemandangan wajah milik pria yang terlihat sangat sempurna dari bawah sini, tak henti-hentinya menebar senyum kebahagiaan. Kebahagiaan ini, Anna ingin memilikinya selamanya. Selama-lamanya, tanpa batas.

"Anna. Aku akan datang dalam dua jam kemudian, bersediakah kau menungguku menjemput izin dari ibumu? makan malam kita aku akan mempersiapkannya dengan sempurna." Ucap nya di sela-sela langkahnya yang semakin mendekati kediaman Anna.

"Apa kau tak ragu? karna mendapatkan izin itu mungkin akan menyulitkan mu."

"Hei nona, apa kau belum tau? kala nurani bertutur padamu, dengarkan apa katanya, dan kau akan selamat dan mendapatkan keinginanmu. Lalu kenapa aku harus ragu ketika nurani ku membisikkan sebuah keyakinan?"

"Baiklah, kau menang, tuan." Anna terkekeh manja. Lalu di balas oleh bahakan Devan yang mempesona.

Angin yang berhembus tenang, langit yang bergemuruh, air sungai yang bersenandung, pohon yang menggugurkan daunnya, gunung yang menjulang, lembah yang menurun, tanah humus yang subur dan Padang yang gersang. Seluruh alam serempak memberikan sinyal cinta yang memerintah kan pada malam agar mengabadikan hati mereka yang bercahaya.

...• • •...

1
Filanina
Hahaha... hanya kalau ada ayang impotennya sembuh.

btw, ga diceritakan kalau dia selalu teringat 'Anna'?
Filanina
berbaring? Kursinya panjang? Kirain sambil duduk dan bersandar di sandaran kursi.
Evrensya: eh iya, harusnya blm terbaring sih, krna kursinya blm di miringkan sama si pemilik. tengkiyuu koreksinya.
total 1 replies
Filanina
Hari yang panjang... ditambah malam yang panjangkah?
Evrensya: malam yg panjang dgn kesedihan 🥺
total 1 replies
Filanina
Sang multitalenta.
Filanina
udah gede, kenapa nggak pakai baju sendiri?
Evrensya: Harusnya lohh...Pak boss emang banyak tingkah.
total 1 replies
Filanina
sebaper itu ya...
Evrensya: maklum anak poloshh🤭
total 1 replies
Filanina
Adegan seperti ini kayaknya begitu penting di novel wanita.
Evrensya: Kapan lagi ngehalu ngeliat abs cowo cakep klo bukan di novel, plg greget pas nonton Drakor. 🤭
Jadi adegan seperti ini, harus ada😁😁😁
total 1 replies
Cevineine
semangat
Evrensya: yups. makasii....
total 1 replies
Filanina
kalau mandi riasannya luntur dong
Evrensya: nggak mandi, ganti baju seragam cleaning service aja. coz di kritik sama pak Ali karna bajunya kotor abis bersihin taman, 😁
total 1 replies
Filanina
emang Anna bawa baju ganti? 25 menit itu cepat. Dipakai belanja aja habis. masaknya 1 menit apa?
Filanina: iya, baru ingat sempat ganti pakai seragam.
Evrensya: wait.... soal waktu.... aku mau chek2 dulu. emang agak membagongkan. wkwk
total 3 replies
Filanina
kasihan sekali. kerja rodi
Filanina
kebetulan yang masuk akal sih kalau sama suka masakan perancis kayak ibunya.
Filanina
memasak juga? emang OP FL kita. Kirain pilih menu doang.
Filanina
ga ada capeknya dia.
Filanina
Thor, ada sedikit koreksi dari saya tapi sebenarnya khawatir kena mental ngomonginnya. Karena kalau secara penulisan udah cukup oke, biasanya saya melirik unsur lain.

Saya tahu banget kalau kritik dan saran pembaca itu bisa menjatuhkan mental penulis.

kalau kamu cuma sekedar nulis buat hobi dan hiburan diri sendiri ya sudah tidak perlu saya bilang.

kalau kamu mau lebih baik lagi di karya berikutnya atau suka merevisi, saya mau bilang.

for your own good. pilihan di tanganmu.
Filanina: Baiklah saya katakan aja yang mengganjal di pikiran saya adalah kepribadian Anna. Anna terlalu kuat untuk seseorang yang tidak punya support system.

Kecerdasan sosial itu membutuhkan pengalaman interaksi sosial yang cukup dan support system yg bagus. Dan itu Anna tidak punya. Normalnya, sepintar apapun orang, sebanyak apapun buku yang dia baca, ketika dia bertahun-tahun tidak berinteraksi dengan orang lain, dia akan gagap dan gugup ketika bertemu orang secara real life.
Kecuali dia punya support system yang bagus banget, yang meninggikan kepercayaan dirinya, berupa keluarga. Ini justru keluarganya toxic, merendahkan dia.

Jadi dari mana Anna dapat kekuatan?

Sebenarnya kamu bisa siasati bagian plot hole seperti ini dengan menambahkan beberapa elemen atau karakter lain yang menjadi role model Anna.

Semoga bisa mencerahkan, bukan menyuramkan.
Filanina: Panduan nulis yang benar blm tentu laku. Zaman sekarang beda ya. Novel yang laku bukan novel yang bagus, tapi yang sesuai selera pembaca. Dan seperti itulah selera pembaca sekarang, yang kurang literasi.

Saya udah kadung prefesionis dalam hal tulis menulis atau bahkan cerita. Tapi ini blm tentu disukai. Dan sebagian orang menganggap itu tak penting. Toh ini cuma fiksi. Yang saya maksud adalah logika cerita. Bahkan novel fantasi pun ttp punya logika cerita.

Dulu saya nulis buat sinetron, dan logika itu ga laku. Ga seru. Ini cuma cerita, ga usah terlalu berlogika. Itu sih kata orang.
total 6 replies
Filanina
dapat alasan buat manggil Anna tuh.
Filanina
revy itu masih yang dulu atau beda ya
Evrensya: Masih tunangannya yg dlu.
total 1 replies
Filanina
diriku yang buta fashion hanya bisa melongo.
Filanina
/Shame/ Pak Ali, sangat pintar memuji.
Filanina
Hahaha... silau man.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!