Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamparan untuk Aryan.
"Nyatanya, yang membuatku terluka adalah diriku sendiri, harapanku pada orang yang hatinya bukan untukku."
--------
Pagi harinya.
Semalam Aira tak menyadari kepulangan suaminya, mungkin karena terlalu lelah menangis, jadi ia tidur dengan nyenyak.
Di meja makan, Aryan maupun Aira tak ada yang bicara. Biasanya, meski hubungan mereka dingin dan kaku Aira tetap menyapa, tapi kali ini tidak ada sapaan.
"Maaf, pak, ada temen bapak di luar," ujar bu Imas menghampiri Aryan yang baru saja selesai sarapan.
Aryan mengangguk, lalu bergegas menemui teman yang dimaksud bu Imas.
"Siapa, bu?" tanya Aira penasaran. Tidak biasanya ada yang berkunjung pagi-pagi begini.
"Eum, itu, mbak Diana mau ketemu pak Aryan, " jawab bu Imas ragu. Aira pun memilih menyudahi sarapannya, lalu pergi untuk melihat. Ia ingin tau, seperti apa sebenarnya hubungan Aryan dan Diana.
Di luar sana, Diana tampak ingin menyentuh tangan Aryan, namun laki-laki itu langsung memundurkan langkahnya.
"Maaf, Iyan. Aku gak ada maksud apa-apa kok. Aku cuma pengen ngejelasin sama mbak Aira, biar dia gak khawatir."
"Aku udah pernah bilang, Na, bahkan kamu kayaknya masih ingat prinsip aku kan. Jangan pernah sentuh barang pribadi aku, termasuk ponsel aku. Kamu bicara ke istri aku, disaat aku pulang telat. Dia lagi hamil, kalau dia syok atau mikir aneh-aneh, nanti dia sakit, aku juga yang susah." Aira yang mendengar itu dari balik pintu mencoba menahan air matanya.
Aira kira, Aryan sedang memikirkan perasaannya karena ia adalah istri laki-laki itu, tapi ternyata Aira terlalu percaya diri.
"Iya, aku tau. Makanya aku ke sini mau minta maaf sama mau ngejelasin ke mbak Aira, " sahut Diana dengan suara yang memelas.
"Gak perlu, yang ada nanti situasi makin kacau. Mendingan kamu pulang aja sekarang."
"Aku tadi naik taksi," ucap Diana sembari merapikan hijabnya. "Aku mau ke kampus, tapi ke sini dulu buat minta maaf. Mobil di pakai sama papa, ke rumah sakit," lanjut Diana terlihat menundukkan kepalanya.
Aryan terlihat menghela nafas, lalu menoleh ke arah pintu. Untung Aira memilih tempat yang strategis, jadi suaminya pasti tidak bisa melihatnya.
"Masuk ke mobil, tunggu di sana, biar aku anterin."
"Makasih, Iyan." Diana tersenyum manis, lalu pergi ke mobil Aryan yang akan di pakai ke tempat kerja.
"Bu Imas, kita ke kebun belakang yuk," ajak Aira mengusap kedua matanya.
"Ayo, non. Kayaknya cabe yang waktu itu juga udah berbuah, mungkin ada yang bisa di panen," sahut Bu Imas menggengam tangan Aira. Mungkin dengan melakukan aktivitas lain, bisa membuat Aira menenangkan pikirannya.
Halaman belakang.
Aira memindahkan bibit cabe dari tempat penyemaian, ke pot yang besar. Air matanya tak kunjung berhenti mengalir meski ia mencoba mengalihkan pembicaraan. Dadanya terasa sesak, karena menahan tangis tanpa suara.
"Kalau lelah, non berhak kok buat nyerah. Toh yang rugi juga pak Aryan," tutur bu Imas mengelus punggung Aira dengan lembut.
"Kalau nyerah, berarti Aira kalah dong," sahut Aira tertawa pelan, lalu menghapus air matanya yang membasahi pipinya.
"Pak Aryan kemari, non," seru bu Imas. Tumben sekali laki-laki itu menyusul Aira, padahal sebelumnya Aryan akan pergi kerja meski tanpa pamit padanya.
"Saya berangkat kerja dulu, kamu jangan lupa minum obatnya," ujar Aryan setelah sampai di dekat Aira.
"Gak usah khawatir, mas. Aku bakalan minum obat biar gak sakit, biar gak nyusahin mas sama yang lain," sahut Aira tanpa menatap suaminya yang ada di belakangnya.
"Baguslah kalau gitu." Setelah mengatakan itu, Aryan pun pergi meninggalkan Aira dan bu Imas di halaman belakang.
"Non? Non Aira, kenapa?" tanya bu Imas panik saat melihat Aira seperti menahan sesuatu. Seketika bu Imas berteriak memanggil orang-orang, termasuk Aryan yang baru saja sampai di pintu utama, saat Aira jatuh tak sadarkan diri.
"Dia kenapa, bu Imas?" tanya Aryan langsung menggendong Aira. Diana bahkan ikut keluar juga dari mobil karena penasaran.
"Saya gak tau, pak." Tanpa banyak tanya lagi, Aryan langsung membawa Aira ke mobil, untuk dibawa ke rumah sakit.
"Aku ikut, Iyan," pinta Diana saat Aryan sudah memasukkan istrinya ke mobil.
"Kamu diantar pak Amir aja, Na. Bu Imas yang bakalan ikut," sahut Aryan membuat Diana langsung cemberut.
"Iyan."
"Maaf ya." Setelah itu Aryan langsung masuk ke mobil, lalu melajukan mobil menuju rumah sakit.
"Ck!"
Beberapa jam kemudian.
Aira baru saja membuka matanya dan yang ia lihat pertama kali adalah mama Elisa, ibu mertuanya
"Pa, Aira udah bangun," panggil mama Elisa. Papa Heri pun bergegas mendekati tempat tidur Aira, lalu meminta bu Imas memanggil dokter.
"Ada yang sakit, nak?" tanya papa Heri khawatir.
Semua terlihat khawatir dengan keadaannya, tapi ia merasa sedih karena suaminya tak ada di dekatnya.
"Mas Aryan dimana, ma?" tanya Aira dengan suara pelan. Kepalanya benar-benar pusing rasanya, membuat ia sesekali memejamkan mata.
"Aryan tadi pamit bentar, Ra. Dia ada rapat pagi ini, makanya minta mama sama papa buat datang nemenin kamu di sini," jelas mama Elisa lembut. Aira pun menghela nafas pelan, lalu kembali memejamkan matanya.
Sepenting apa sih rapat itu? Kenapa suaminya selalu rapat setiap hari. Apa benar-benar rapat membahas kerja atau mungkin, rapat dengan Diana membahas masa depan mereka.
Ingin berpikir positif pun rasanya sangat sulit.
Siang harinya.
Aira kini tengah makan di bantu mama Elisa. Karena kondisi Aira sangat lemah, jadi Aira disarankan untuk di rawat inap sementara waktu.
Pintu kamar rawat terdengar di buka, Aira dan mama Elisa langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, terlihat Aryan masuk dengan membawa tas kerjanya. Wajah Aryan terlihat murung, dengan bekas luka di sudut bibirnya.
"Muka kamu kok kayak habis di pukul, Yan. Itu bibir juga kok bisa luka? Kamu habis berantem tadi?" tanya mama Elisa dengan kening yang berkerut. Aryan ingin menjawab, namun papa Heri langsung menyela saat baru saja masuk ke ruang rawat.
"Papa yang pukul, ma." Sontak hal itu membuat kedua wanita tadi kaget. Ada apa gerangan sampai papa Heri memukul putranya sendiri.
"Kenapa, pa? Aryan salah apa?" tanya mama Elisa penasaran, begitu juga dengan Aira ikut penasaran.
"Entah! Coba tanya Aryan, apa kesalahannya sampai papa pukul," sahut papa Heri meletakkan pakaian ganti Aira yang ia ambil dari rumah. Pakaian itu sudah di siapkan art di sana, sebelum papa Heri tiba di rumah.
"Kamu ngelakuin apa sampai papa kamu marah, Yan?" tanya mama Elisa menatap Aryan yang sedari tadi hanya diam.
"Dia ketemu sama mantannya, padahal istrinya lagi sakit! Katanya rapat, tapi malah ngapelin mantan ke kampus, " jelas papa Heri geram karena Aryan hanya diam.
Sontak mendengar itu, mama Elisa langsung menatap tajam putranya. Aira pun hanya bisa menghela nafas saja dan memilih membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya.
"Ikut mama!" Mama Elisa menarik tangan Aryan keluar dari ruang rawat.
Satu tamparan kembali melayang di pipi kiri Aryan, menambah rasa perih di sudut bibirnya.
"Kamu bilang, kamu bakalan ngejauhin dia, Yan! Tapi ini apa? Disaat Aira berjuang dengan rasa sakitnya, kamu malah ketemuan sama dia!" Mama Elisa mencengkram kuat baju Aryan, melampiaskan amarahnya. Tidak habis pikir dengan tingkah putranya ini.
"Aryan bener-bener rapat, ma. Tapi, sewaktu jalan mau ke sini, Diana nelpon Aryan, katanya dia gak ada mobil, jadi gak bisa pulang," jelas Aryan membuat Mama Elisa semakin geram, begitu pula dengan papa Heri yang sudah ada di dekat mereka.
"Kampus Diana itu bukan di hutan, Aryan! Kampus dia ada di tengah kota, jadi, taksi pasti selalu lewat di sana. Dia juga bukan orang miskin, sampai mobil atau motor gak punya! Dia bisa nelpon saudaranya buat jemput dia! Ini semua cuma alasan kalian berdua biar bisa bareng lagi kan!" teriak mama Elisa tertahan. Rasanya sangat kecewa melihat tingkah putranya yang semena-mena begini.
"Maaf," ucap Aryan pelan. Mama Elisa pun melepaskan cengkramannya, lalu lanjut menatap sinis putra semata-wayangnya itu.
"Kamu yang setuju sama pernikahan ini dan mutusin Diana. Kami gak pernah maksa kamu buat nikahin Aira dan mutusin Diana. Kamu kan bisa milih masuk penjara aja, daripada nikahin Aira. Kamu yang memilih, jadi kamu yang harus bertanggung jawab. Kalau sampai kami dengar kamu masih berhubungan dengan Diana lagi, mama gak akan anggap kamu sebagai anak! Jangan cari mama, walaupun mama udah mati! Camkan itu!" Setelah mengatakan itu, mama Elisa pun memilih masuk kembali ke ruang rawat.
"Minta maaf ke Aira, kalau kamu memang laki-laki," ucap papa Heri, lalu ikut masuk juga menyusul istrinya.
Aryan pun menatap pintu yang sudah tertutup, lalu menghela nafas berat. Ia tidak bermaksud menjalin hubungan lagi dengan Diana, hanya saja ia tak bisa berhenti peduli dengan wanita yang pernah mengisi hatinya dan mungkin masih ada di hatinya.
Aryan udah tobat
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak