"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 | Aku Ingin Memperingatkan Kamu
"Iya," aku akhirnya mengaku, suaraku terdengar lebih pelan dari biasanya. "Aku ingin memperingatkan kamu. Sebaiknya ... jangan terlalu dekat denganku."
Aku bisa melihat Ryan terdiam sejenak, seolah kata-kataku itu benar-benar mengejutkannya. Aku memang jarang bicara serius seperti ini, apalagi soal perasaan atau batasan. Biasanya aku lebih suka menghindari hal-hal semacam itu. Kalau bisa, aku lebih memilih tetap berada di zona nyaman, jauh dari segala komplikasi.
"Kenapa?" tanya Ryan, nada suaranya kini terdengar lebih lembut, tapi aku bisa merasakan ada sedikit rasa penasaran yang muncul.
Aku bisa melihat raut wajahnya yang mencoba memahami, yang membuat hatiku sedikit tersentuh, meskipun aku berusaha keras untuk tidak menunjukkan apa-apa.
Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela lagi, menatap daun-daun yang terus berjatuhan satu per satu. Rasanya seperti kehidupan yang terus bergerak maju tanpa memberi ruang untuk berhenti, untuk meresapi.
Semua terasa begitu cepat, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa diputar balik. Seperti daun-daun yang jatuh, ada saatnya kita harus melepaskan dan aku takut, jika aku terlalu dekat dengan Ryan, aku akan terlambat untuk melepaskan diri.
Aku ingin mengatakan lebih banyak, tapi kata-kata itu terasa sulit keluar. Kenapa rasanya aku selalu merasa canggung jika harus berbicara tentang hal-hal seperti ini? Tentang perasaan. Tentang hubungan. Tentang hal-hal yang melibatkan orang lain. Aku tidak terbiasa, dan itu membuatku merasa terjebak.
Aku ingin menjaga jarak, tapi di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang menarikku untuk lebih dekat dengan Ryan. Sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi jelas ada di sini, mengikatku pada setiap tatapannya, pada setiap senyumannya. Aku tidak tahu apakah itu cinta, atau hanya perasaan yang datang karena kedekatan kami yang tak terhindarkan.
"Aura?" Ryan memanggilku lagi, kali ini lebih lembut.
Suaranya tak lagi menggoda seperti tadi, namun ada keseriusan yang baru.
"Kenapa kamu merasa begitu?"
Aku terdiam sejenak. Aku ingin menjelaskan, tapi rasanya kata-kata itu terlalu rumit untuk diungkapkan. Aku tahu Ryan tidak akan mengerti sepenuhnya, dan aku juga tidak ingin dia merasa bersalah. Aku hanya ingin menjaga segala sesuatunya tetap berjalan seperti biasa, tanpa perubahan yang besar. Tanpa risiko.
"Kadang ... kalau terlalu dekat dengan seseorang, aku merasa akan ada penyesalan ketika kita berpisah nanti," jawabku akhirnya, dengan suara yang pelan, hampir berbisik. "Aku hanya ingin tetap sendirian saja."
Aku berharap dengan itu, semuanya akan selesai. Bahwa Ryan akan mengerti dan pergi begitu saja, tanpa banyak pertanyaan. Tapi aku tahu, ini tidak akan semudah itu. Ryan bukan tipe orang yang mudah mundur, dia selalu berusaha mencari tahu lebih dalam, bahkan ketika aku berusaha menutup diri.
Ryan terdiam. Dia duduk diam, tampaknya merenung sejenak. Aku bisa melihat ekspresinya yang berubah, seolah berpikir keras tentang apa yang baru saja kukatakan. Aku tahu dia bukan tipe orang yang suka memaksakan sesuatu, tapi aku juga bisa merasakan bahwa dia mungkin merasa sedikit bingung dengan apa yang baru saja kukatakan.
"Aura," Ryan akhirnya membuka mulutnya lagi, dan kali ini suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Apa kamu berencana untuk pindah sekolah?"
Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan kalimatnya. Mungkin, hanya mungkin, dia benar-benar bisa mengerti. Tapi rasanya terlalu berat untuk mengungkapkan semuanya begitu saja. Terlalu banyak hal yang harus aku jelaskan, dan aku tidak yakin aku bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat.
"Mungkin saja," aku berkata pelan, mencoba menguatkan diri.
Aku merasa seperti berada di ujung jurang, bingung apakah aku harus melangkah mundur atau maju, antara keinginan untuk menjaga jarak dan dorongan untuk lebih dekat dengan Ryan.
“Aura, aku mencintaimu. Hanya mencintaimu, apa berat bagimu untuk menerimaku?” tanyanya dengan sungguh-sungguh.
Aku merasa tubuhku kaku. Ada rasa hangat yang menyebar di dadaku, tapi aku berusaha menahannya. Aku tahu, kata-kata itu bukan sekadar angin lalu. Ada perasaan yang nyata di baliknya, perasaan yang selama ini tak bisa kuabaikan. Aku hanya tidak siap untuk itu. Tidak siap untuk menerima kenyataan bahwa mungkin aku juga merasa hal yang sama, tapi aku tidak ingin mengakuinya.
Aku berusaha untuk tidak mendengarkan, seolah dengan menutup telinga aku bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam diriku. Tapi meskipun aku berusaha keras untuk menahan diri, pikiranku terus dipenuhi dengan kata-katanya yang terus terngiang-ngiang di telingaku.
“Aura, kenapa kamu nggak bisa menerima perasaanku?” Ryan bertanya lagi, suaranya kini terdengar penuh keputusasaan, seolah mencari jawaban yang tidak bisa aku beri.
Aku menggigit bibir, berusaha keras untuk tetap tenang. Ini bukan hal yang mudah bagiku. Aku sudah terbiasa menjaga jarak dari semua orang, sudah terbiasa sendiri. Kenapa harus sekarang, kenapa harus dengan Ryan? Dia terlalu baik untukku. Terlalu perhatian, terlalu hangat, dan aku takut, jika aku terlalu dekat dengannya, aku akan kehilangan diriku sendiri.
"Aura, kamu tidak perlu takut," kata Ryan pelan, lebih lembut daripada sebelumnya. "Aku tidak akan memaksamu untuk menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku ada di sini. Kalau kamu butuh seseorang."
Aku menatapnya, merasa sedikit terharu dengan kata-katanya. Ryan mungkin tidak tahu seberapa berat perasaan ini bagiku. Tapi aku juga tahu, mungkin aku terlalu banyak menutup diri. Mungkin aku harus memberi kesempatan, walaupun aku takut.
"Aku ..." Aku mulai membuka mulut, tapi kata-kataku tersangkut di tenggorokanku.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, apa yang harus kulakukan. Akhirnya, aku hanya bisa diam, berharap ada jawaban yang datang dengan sendirinya.
Ryan duduk di sampingku, diam, hanya menatapku dengan penuh pengertian. Aku merasa seperti ada yang mengikat kami berdua, meskipun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirku. Aku tahu, kami sedang berada di titik yang sulit, dan aku harus memilih.
Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa ragu, seakan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Perasaan ini membingungkan. Di satu sisi, aku ingin menjauhkan diri, menjaga jarak. Namun, di sisi lain, ada bagian dari diriku yang ingin sekali berada lebih dekat dengan Ryan.
"Maafkan aku, Ryan. Hanya itu yang bisa aku katakan," gumamku, suara hampir tak terdengar, saat aku menatap dedaunan yang berguguran di luar jendela.
Aku merasa semakin takut dengan setiap kata yang terucap. Takut karena aku merasa seperti menyakiti Ryan, takut karena aku tidak tahu bagaimana melanjutkan semuanya.
Hingga pulang sekolah, Ryan hanya terdiam. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan di sampingku dengan ekspresi wajah yang sulit aku baca. Aku merasa lega karena tidak risih dengan perlakuannya padaku sebelumnya. Tidak ada tanya jawab yang menekan atau situasi canggung yang harus kutanggung. Namun, entah kenapa, hatiku terasa berat menerima perlakuan Ryan.
Apa benar perasaannya itu cinta? Mungkin itu hanya kata-kata candaan yang biasa diucapkan anak SMA yang baru saja puber, terlalu muda untuk benar-benar mengerti tentang cinta.
...»»——⍟——««...