Bukan aku tidak mencintainya. Tapi ini sebuah kisah kompleks yang terlanjut kusut. Aku dipaksa untuk meluruskannya kembali, tapi kurasa memotong bagian kusut itu lebih baik dan lebih cepat mengakhiri masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Aku udah nyembunyiin senjataku, dan bareng kelompok penyelenggara, kami udah latih semua koreografinya. Semua baju buat kontes kecantikan juga udah siap di stand kami di ruang belakang.
Pertama, ada acara makan malam, di mana semua siswa, guru, tamu, dan beberapa pejabat yang datang buat ngerayain hari jadi sekaligus nonton penobatan ikut hadir.
Aku hampir nggak bisa makan karena gugup. Jam-jam ini bakal jadi penentu buat menghentikan kejahatan. Sebelum makan malam selesai, kami yang bakal ikut kontes dikasih isyarat buat pergi lebih awal dan siap-siap.
Begitu makan malam selesai, semua orang menuju tempat acara. Mereka duduk di kursi masing-masing dan bisa liat dekorasinya. Di tengah panggung bagian belakang, ada patung dewi Yunani, Themis, yang jadi simbol keadilan paling terkenal. Di bagian bawah panggung, dia siap buat diambil foto sama semua orang, dari para Ratu Martir.
Ketua kelompok penyelenggara terus keluar buat kasih sambutan.
"Malam ini, sebagai kelompok penyelenggara dan mahasiswa tahun terakhir, kami pilih tema keadilan. Ini alasan dari profesi kami. Karena itulah, kita yang ada di sini berjuang setiap hari, belajar, dan yang udah pakai lencana bekerja tanpa henti buat nyari mereka yang melanggar hukum. Tahun ini, kontes diadakan buat mengenang para ratu yang udah dibunuh dan belum mendapatkan keadilan. Pada kesempatan ini, kami ingin sampaikan ke sanak saudara mereka yang masih menderita, kalau mereka nggak dilupakan. Kami tetap berjuang buat mereka. Buat menghentikan orang yang udah mengakhiri hidup mereka dengan begitu cepat."
Setelah itu, dia turun dari panggung, dan semua orang yang hadir bertepuk tangan.
Musik mulai mengalun, dan lampu bergerak mengikuti irama lagu yang dipilih. Kami yang berkompetisi keluar buat nariin koreografi pertama, pakai gaun putih sambil pegang timbangan di tangan kiri dan pedang di tangan kanan.
Setelah lagu dan koreografi selesai, kami baris di belakang. Begitu nama kami dipanggil, kami memperkenalkan diri ke penonton sambil berjalan di atas catwalk untuk pertama kalinya.
Anak-anak di kelasku semua bersorak. Karena lampu yang terang, aku nggak bisa lihat si pembunuh di mana.
Setelah itu, kami cepat-cepat balik ke belakang, karena giliran tampil dengan pakaian renang. Bagian ini susah banget buatku. Aku nggak punya keberanian kayak kakakku, tapi aku tarik napas dalam-dalam, dan pas tiba giliranku, aku coba keras buat nginget gimana Lucía berjalan dengan percaya diri di situ. Banyak tepuk tangan dan siulan, mengagumi tubuh indahnya.
Setiap peserta yang jalan di runway, namanya disebut dan ukurannya diumumkan.
Pas giliranku, aku coba buat nggak terburu-buru. Aku takut banget tersandung dan jatuh. Aku tahu, aku harus tetap tenang dan anggun setiap saat. Nggak cuma keindahan, setiap detail di kontes ini juga diperhitungkan.
Alih-alih merasa gugup, aku memutuskan buat bangga sama penampilanku. Bahkan, aku bisa tersenyum. Tapi pas aku mau pergi, senyumanku tiba-tiba membeku. Aku lihat instruktur berdiri di depanku, dengan ekspresi wajah yang cuma mencerminkan kejahatan dalam jiwanya. Aku coba untuk nggak peduli dan terus maju.
Setelah itu, ada jeda buat kami siap-siap menampilkan bakat masing-masing. Aku tampil terakhir karena mereka harus nyiapin piano dulu. Aku mainin lagu yang sama kayak yang dibawain Lucía waktu dia menangin mahkota.
Itu momen yang penuh nostalgia buatku, tapi bikin hatiku hangat pas dengar tepuk tangan mereka. Karena jauh di dalam hati, semua inspirasiku datang dari dia, jadi aku merasa tepuk tangan itu seperti penghormatan buat mengenang hidupnya. Pendek, tapi penuh keindahan.
Akhirnya, tiba giliran buat berdandan dan tampil lagi di catwalk, lalu jawab pertanyaan-pertanyaan yang penting dan serius.
Kami jalan keluar dengan penuh percaya diri, seperti para ratu agung. Kami sadar sebagai perempuan istimewa yang berusaha menonjol di berbagai bidang, bangga dengan setiap pencapaian, sekecil apa pun itu. Buatku, pencapaianku sederhana tapi berharga; yang paling penting, aku masih hidup setelah dikelilingi kematian.
Aku tahu bahwa, entah bagaimana, si pembunuh selalu tahu di mana aku berada, tapi dia nggak pernah mencoba membunuhku. Hal itu memberiku keyakinan kalau aku punya sesuatu yang lebih kuat daripada naluri pembunuhnya. Bahkan kalau aku akhirnya mati, aku merasa udah menang. Aku berjalan seolah-olah melayang di antara awan, seperti yang Sofia bilang padaku, feminin dan anggun, seperti seorang ratu sejati.
Tibalah saatnya memilih para finalis. Mereka mulai dengan memilih Miss Sympathy, cewek paling ramah dan lucu, tapi tetap cantik. Yang terpilih adalah seorang siswa tahun kedua.
Selanjutnya, karena bakatnya sebagai penyanyi opera dan keanggunannya, seorang siswa tahun ketiga terpilih sebagai putri ketiga. Ketika memilih putri kedua, karena sosoknya yang spektakuler dan keberaniannya, seorang siswa tahun keempat dipilih.
Lalu tibalah giliran dua kontestan terakhir, dan kata mereka, keputusan juri udah hampir final.
“Dalam beberapa hal, dua yang terakhir ini punya banyak kemiripan,” kata pembawa acara. Mereka menyebut nama siswa tahun ketiga dan berharap yang terpilih lainnya adalah aku.
Saat kami berdiri berdua menunggu keputusan akhir, aku mulai takut. Cewek di sebelahku mirip banget secara fisik denganku, dan aku nggak pernah kepikiran kalau mereka bisa memanfaatkannya. Aku khawatir si pembunuh malah menculiknya, bukan aku. Aku benci diriku sendiri karena nggak mempertimbangkan hal sepenting ini, yang bisa ngorbanin nyawa cewek muda yang berdiri polos di sampingku, menunggu mahkota. Jantungku berdetak kencang karena takut. Kalau dia yang jadi target, aku nggak tahu gimana caranya melindunginya.
Aku begitu fokus mikirin rencanaku yang hampir gagal dalam hitungan detik, sampai aku berhenti dengerin apa yang dikatakan pembawa acara. Aku cuma bisa memandangi cewek di sebelahku dengan penuh kecemasan, berharap dia nggak menang dan nggak jadi target si monster itu. Karena kalau itu terjadi, aku yakin nggak akan bisa melindunginya.
Di tengah ketakutanku dan jantungku yang nggak terkendali, aku tiba-tiba merasakan pelukan hangat dari cewek cantik ini. Darahku seperti berubah jadi es. Aku menunggu saat mereka akan memasang mahkota di kepalanya. Tapi dia hanya berdiri membatu, nggak bisa bereaksi. Sampai aku lihat mereka memasangkan pita bertuliskan "Putri Pertama" padanya, dan hatiku sedikit lega. Aku akhirnya bisa menarik napas dalam-dalam.
“Bangun, cewek, kamu menang!” kata salah satu kontestan.
“Kasihan, dia masih nggak percaya!” celetuk yang lain sambil tertawa.
Semua orang berdiri sambil bertepuk tangan. Teman-teman sekelasku bersorak kegirangan, meneriakkan namaku. Mereka memberiku karangan bunga dan memasangkan selempang ratu. Di tanganku, aku memegang buket itu, sementara cewek yang mengenakan mahkota berdiri di sebelahku.
Aku berhasil. Aku udah jadi pusat perhatian si pembunuh. Kalau semua berjalan sesuai rencanaku, aku akan menjadi ratu terakhir.
Setelah acara selesai, aku menghampiri teman-temanku dan bertanya apakah mereka melihat instruktur pergi. Tapi katanya, dia nggak bergerak sepanjang malam dan selalu ada di depan mereka.
Aku nyuruh mereka tunggu dulu. Aku mau lihat di belakang panggung, kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan.
Acara berakhir larut malam, dan semua kontestan mulai beres-beres barang buat tidur. Aku kelilingin tempat itu, tapi nggak ada yang kelihatan mencurigakan. Aku bahkan belum lepas gaun ratu ini, cuma ingin memastikan nggak ada cewek lain yang bakal diculik.
Saat itu, email udah dikirim, tapi masalahnya hampir nggak ada orang yang tersisa di tempat itu, dan nggak ada apa-apa yang terjadi.
Aku nggak tahu harus mikir apa. Apa aku salah? Apa mungkin si instruktur sebenarnya bukan pembunuh? Pas nggak ada orang lagi, kami ucapkan selamat tinggal ke Bradley dan aku pergi ke kamar bareng Rebeca.