Membaca novel ini mampu meningkatkan imun, iman dan Imron? Waduh!
Menikah bukan tujuan hidup Allan Hadikusuma. Ia tampan, banyak uang dan digilai banyak wanita.
Hatinya telah tertutup untuk hal bodoh bernama cinta, hingga terjadi pertemuan antara dirinya dengan Giany. Seorang wanita muda korban kekerasan fisik dan psikis oleh suaminya sendiri.
Diam-diam Allan mulai tertarik kepada Giany, hingga timbul keinginan dalam hatinya untuk merebut Giany dari suaminya yang dinilai kejam.
Bagaimana perjuangan Allan dalam merebut istri orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BSMI 8
Waktu bergulir begitu cepat. Tiga bulan berlalu tanpa terasa. Hari ini, enam bulan sudah usia kehamilan Giany. Ia akan ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya.
Wanita itu tampak sedang bersiap-siap. Ia masih ingat pesan Dokter Allan untuk membawa serta sang suami untuk menemaninya. Namun, sudah pasti Desta tidak akan mau menemani Giany.
Semalam, Giany sudah meminta Desta untuk menemaninya, akan tetapi Desta hanya memberi uang. Sedikit pun ia tidak tertarik untuk tahu tentang kondisi janin yang dikandung Giany.
Sejak hubungan dengan Aluna memburuk, sikap Desta kepada Giany semakin kasar. Bahkan, beberapa hari lalu Desta pernah mabuk dan memukuli Giany hingga harus dilarikan ke sebuah klinik tak jauh dari rumahnya. Beruntung kandungan Giany tak bermasalah, sehingga tidak perlu mendapat perawatan intensif.
Giany memperhatikan wajahnya yang kebiruan melalui sebuah cermin. Sudah hampir satu jam ia berusaha menyamarkan lebam di wajah dengan riasan seadanya, namun tetap saja bekas lebam itu terlihat.
“Bagaimana ini? Aku kan malu kalau dokter melihatnya. Masa setiap memeriksa kandungan ada memar di wajah.”
Giany mendesahkan napasnya pelan. Jika seperti ini, Dokter Allan pasti akan tahu bahwa dirinya habis dipukuli suaminya.
“Sudahlah, lagi pula aku dipukul atau tidak, bukan urusan dokter itu.”
Giany bergegas keluar kamar. Begitu di teras, bersamaan dengan Desta yang juga baru akan keluar. Laki-laki itu sudah terlihat rapi dengan pakaian kerjanya.
"Se-selamat pagi, Mas ..." sapa Giany dengan ragu.
Bukannya menjawab, Desta hanya melirik Giany dengan raut wajah tak tertebak, seperti menahan sesuatu. Pandangannya mengarah ke perut Giany yang sudah mulai terlihat membesar. Di sanalah Desta kecil sedang tumbuh. Seorang anak yang kehadirannya tak pernah diharapkan oleh Desta.
Setiap kali menatap perut sang istri, ada rasa yang sulit ia jabarkan. Pandangannya kemudian mengarah ke wajah Giany, dimana jejak tangannya tertinggal di sana. Desta pun menghela napas panjang.
Menyadari Desta sedang menatap ke arah perut, Giany pun gemetar ketakutan. Perlakuan buruk Desta telah menggali luka yang dalam. Ia mulai ketakutan hanya dengan bersitatap dengan Desta saja.
"Kamu naik apa ke rumah sakit?"
"Na-ik tak-si online, Mas."
"Oh ... Sudah pesan?"
Giany menjawab dengan anggukan.
"Ya sudah."
Setelahnya, Desta berlalu meninggalkan Giany. Dan hal itu membuat wanita itu terheran. Entah itu bentuk kepedulian atau bukan, Giany tidak tahu. Selama ini, Desta sangat jarang berbicara dengan lembut kepadanya.
*****
Giany baru saja tiba di rumah sakit. Hari ini ia tidak ditemani Bibi Sum, karena wanita paruh baya itu sedang minta izin libur menghadiri acara keluarganya. Wanita itu sengaja datang lebih pagi agar antrian tidak terlalu jauh.
Baru memasuki ruangan saja, bola mata Dokter Allan sudah membulat. Setiap kali bertemu dengan Giany, wanita itu selalu datang dengan lebam di wajahnya. Sang dokter hanya dapat geleng-geleng kepala. Iba sekaligus heran, mengapa wanita itu dapat bertahan dengan seorang suami kasar seperti Desta.
Tak ingin mengulur waktu, Dokter Allan segera melakukan pemeriksaan USG dan lain-lain. Sambil menggeser alat di atas perut Giany, laki-laki itu menjelaskan kondisi janin.
“Bu Giany … Ini plasentanya ada di bawah dan menutup sebagian jalan lahir.”
“Apa saya masih bisa lahiran normal, Dok?” Giany tampak khawatir menatap ke layar monitor.
“Seharusnya masih, kecuali jika plasenta menutup seluruh jalan lahir, maka harus diambil tindakan SC. Untuk kondisi Bu Giany masih bisa, tapi harus dengan pengawasan dan pemeriksaan teratur. Dalam kondisi ini, peran suami sangat dibutuhkan.”
Giany akhirnya bungkam jika sang dokter sudah menyebut kata suami. Setelah melakukan pemeriksaan USG, Giany kembali duduk di kursi.
“Bu Giany kemari sendiri?” tanya Allan.
“Iya, Dokter,” jawabnya sambil menundukkan kepala. “Suami saya sedang keluar kota.”
Sebuah jawaban yang sama kembali terucap di bibir Giany. Dokter Allan hanya mengangguk, tentu saja ia tahu Giany sedang berbohong. Bahkan luka lebam di wajahnya saja terlihat masih baru. Namun, Dokter Allan tidak ingin melewati batasnya dengan ikut campur masalah rumah tangga pasien.
“Baiklah, tidak apa-apa. Semoga berikutnya suami Ibu bisa menemani, agar tahu kondisi Kesehatan Bu Giany dan calon bayi.”
“Baik, Dokter. Saya akan coba memberitahu suami saya nanti.”
*******
Sudah pukul dua siang ketika Giany keluar dari gedung rumah sakit. Saat melewati taman, tiba-tiba sesosok gadis kecil menabrakkan tubuhnya, memeluknya erat.
"Maysha ...?"
Wanita itu tersenyum ramah, sambil membelai wajah si kecil Maysha.
"Maysha sama siapa di sini, Sayang?" tanya nya.
Maysha hanya menjawab dengan menunjuk Oma nya yang sedang duduk di sebuah kursi taman.
"Oh, sama Oma, ya?" ucap Giany, walau sedikit heran, mengapa gadis kecil itu selalu muncul saat dirinya berkunjung ke rumah sakit. Mungkin Maysha adalah anak dari salah satu dokter yang bekerja di rumah sakit. Begitu pikir Giany.
Maysha menunjuk ke arah danau, yang sudah dapat diartikan sendiri oleh Giany. Artinya si kecil Maysha sedang ingin ditemani berjalan-jalan di sekitar danau.
"Maysha mau jalan-jalan ke danau, ya?"
Maysha menjawab dengan anggukan.
"Kakak temani, ya? Tapi kakak tidak bisa lama-lama. Maysha tidak apa-apa, kan?"
Giany selalu menyempatkan waktu untuk menemani gadis kecil itu berjalan-jalan dan kadang hingga lupa waktu. Walau pun Maysha tidak pernah berbicara dan hanya menyahut dengan anggukan, namun Giany selalu mengerti apa maksud gadis kecil itu.
Tanpa Giany sadari sepasang mata sedang menatap ke arah mereka sambil tersenyum tipis. Beberapa bulan belakangan, Allan selalu menyaksikan interaksi antara Maysha dan Giany.
"Allan ..." Suara seorang wanita mengagetkan laki-laki itu.
"Ibu?"
"Kenapa ngintip dari jauh?"
"Ah, siapa yang ngintip, Bu? Kebetulan lihat mereka dari sini, sekalian mengawasi. Takut ada apa-apa sama Maysha."
"Giany itu hebat, ya ... Dia bisa membuat Maysha nyaman. Beda sama ..." Wanita itu tak lagi meneruskan ucapannya saat menyadari wajah putranya yang mendatar.
"Sayang Giany sudah menikah. Kalau tidak ..." lanjut Bu Dini.
"Kalau tidak, kenapa, Bu?"
"Ya kamu dekati, siapa tahu jodoh."
"Ah ibu ini. Aku tidak ada keinginan menikah lagi, Bu. Kita sudah bahagia seperti ini. Ada ibu, Maysha, sudah cukup."
Wanita dengan tatapan teduh itu mengusap bahu Allan. "Tapi kamu masih muda. Kamu juga butuh seorang istri, Nak."
"Belum ada yang pas, Bu!"
"Memang yang pas seperti apa?"
Allan balas tersenyum. "Yang baik akhlaknya, halus dalam bertutur, dan yang pasti ..." Allan menjeda, kemudian melirik ke arah taman belakang. "bisa meluluhkan Maysha."
**********