menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
**Malam itu**, cukup lama aku menunggu, rasa cemas, bingung, dan takut menyelimutiku. Aku takut bila proses pendonorannya gagal atau bermasalah. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya Bu Ridha keluar dari ruang donor, menandakan proses pendonorannya selesai.
Wajah lelah terpancar di wajahnya, namun ia berusaha untuk tetap tersenyum lembut. Aku menghampiri Bu Ridha dan memeluknya lagi, kali ini dengan rasa terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih banyak ya, Bu. Aku nggak tahu gimana cara balesnya,” kataku dengan suara yang bergetar penuh haru.
Bu Ridha hanya menggeleng lalu mengusap lembut kepalaku. “Apaan sih, udah-udah. Kebaikan itu seperti benih. Kamu nggak perlu repot-repot membalasnya. Jadi anak yang baik dan sayang sama orangtuamu, buat Mba itu udah lebih dari cukup. Semoga ayahmu bisa segera pulih. Jangan lupa jagain ayahmu ya.”
Aku hanya bisa mengangguk. Sambil memeluknya, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku untuk mengabadikan momen ini. Dengan cepat, aku mengabadikan pelukan itu dalam sebuah foto, seolah ingin menjaga memori itu agar tetap hidup.
Saat itu, kebersamaan kami terpaksa berakhir sejenak karena Bu Ridha izin pamit untuk beristirahat. Aku pun mempersilahkannya dan kembali ke ruang ICU, menunggu perkembangan kondisi ayahku.
Waktu berjalan lambat, tapi harapan dalam hatiku mulai tumbuh. Sesekali, aku melihat foto ku bersama Bu Ridha. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa, perasaan yang sulit tergambarkan. Yang pasti, setiap kali aku menatapnya, hatiku merasa tenang.
Tak lama setelah itu, dokter datang dengan kabar yang ditunggu-tunggu. “Nurra, kondisi ayahmu mulai stabil. Transfusi darah berhasil dan tubuhnya merespon dengan baik. Kami optimis dia akan segera siuman.”
Perasaan lega yang begitu besar menyelimuti diriku. Air mataku tak bisa lagi ditahan. Aku tidak pernah menyangka, di titik terendahku, Tuhan mendatangkan sebuah keajaiban. Dengan hati penuh syukur, aku masuk ke ruang ICU untuk menemani ayahku.
Beberapa jam kemudian, pelahan ayahku mulai membuka matanya. Wajahnya yang tadinya begitu pucat kini mulai tampak lebih hidup. Aku, yang tak lepas dari sisi tempat tidur, segera menggenggam tangannya. “Ayah... Ayah sudah bangun?” kataku dengan suara yang bergetar.
Ayah tersenyum lemah, namun matanya memancarkan kehangatan yang sama seperti dulu. Aku sangat bahagia dengan keadaan ayahku yang mulai membaik. Namun, aku kemudian teringat pada Bu Ridha yang sudah mendonorkan darahnya untuk ayahku. Aku menoleh ke arah pintu, berharap bisa mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan hidup ayahku. Tapi, saat aku keluar, aku tidak melihat Bu Ridha. Aku mencari ke ruang istirahat, tetap tidak ketemu.
Aku pun mencari ke semua tempat, dari kamar mandi hingga parkiran, tapi Bu Ridha tak kunjung terlihat. Wanita yang seperti malaikat itu benar-benar telah pergi, seolah ia tak ingin mengganggu kebahagiaanku bersama sang ayah. Kini, satu-satunya yang bisa ku kenang hanyalah foto saat berpelukan. Tak ku sangka, momen berfoto saat itu adalah cara Bu Ridha mengucapkan perpisahan. Lewat foto ini, aku bisa membuktikan bahwa keajaiban bisa datang dalam bentuk yang tak terduga, dan kadang, seseorang yang hanya singgah sebentar bisa membawa perubahan besar.
Saat itu dengan perasaan sedikit kecewa, aku kembali ke kamar ayahku. Aku memberitahu Bu Sari agar menyampaikan pada ibuku bahwa ayahku sudah siuman dan kondisinya semakin membaik.
Bu Sari pun menyampaikan pada ibuku. Mendengar kabar baik itu, ibuku seakan mendapatkan kekuatan baru. Dengan dibantu Bu Sari, ibuku berjalan menuju kamar ayahku di rawat. Terlihat dari kejauhan, ibuku berjalan dengan kondisi lemas, tapi wajahnya penuh haru. Aku pun segera menghampiri ibuku dan menggandengnya, membawanya menuju ruang ICU. Hati ku berdegup kencang, momen ini akan jadi awal dari kebahagiaan yang baru.
Ketika pintu ruang ICU terbuka, ayahku menoleh perlahan, terlihat tatapan penuh cinta dengan senyum tipisnya. Ibuku, yang sebelumnya selalu terlihat pucat dan kehilangan kekuatan, tiba-tiba berlari kecil menuju tempat tidur. Dengan isak tangis bahagia, ibuku memeluknya, seolah tak ingin melepaskannya lagi. “Aku takut kehilangan kamu... aku takut...” ucapnya di sela tangis haru.
Meski masih lemah, ayahku mengangkat tangannya yang gemetar dan mengusap lembut rambut ibuku. “Maaf sudah membuatmu khawatir...”
Terlihat dengan jelas kedua orangtuaku tenggelam dalam pelukan penuh cinta, perasaan syukur yang begitu dalam membungkus setiap kata yang diucapkan. Aku yang berdiri di samping kemudian ikut memeluknya. Aku tak bisa menahan air mata yang semakin brutal untuk keluar dari kelopak mataku.
Akhirnya, air mataku keluar juga. Tapi kali ini, air mataku ini bukanlah air mata ketakutan akan kehilangan, melainkan air mata kebahagiaan yang selama ini aku dambakan.
Waktu terus berlalu, hari silih berganti, kondisi ayahku semakin lama semakin stabil dan menunjukkan tanda-tanda membaik. Akhirnya, setelah dua minggu dirawat, ayahku diperbolehkan pulang.
Hari itu adalah hari yang dinantikan oleh aku dan ibuku. Aku membantu mengemasi barang-barang ayahku, sementara ibuku tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari suami tercintanya. Perjalanan kali ini dipenuhi rasa haru dan bahagia karena bisa kembali ke rumah.
Ketika tiba di rumah, suasana terasa hangat dan penuh cinta. Rumah yang tadinya dipenuhi oleh ketegangan dan rasa takut kini kembali menjadi tempat perlindungan yang nyaman. Ibuku membantu ayah untuk duduk di sofa, terlihat ibuku terus memeluknya, kali ini dengan senyuman yang penuh rasa syukur.
“Ibu senang, akhirnya kita bisa berkumpul lagi,” bisiknya, dengan mata berbinar-binar.
Ayahku tersenyum, ia kemudian menggenggam tangan ibuku. “Maafin ayah ya, ayah sudah buat kalian khawatir. Haaaahhh... akhirnya ayah bisa kembali dan berkumpul lagi seperti dulu.”
Di suatu malam, kami bertiga duduk bersama di ruang santai, merenungi setiap kejadian yang telah dilalui. Meski penuh duka dan ketakutan, kami telah berhasil melewati semuanya. Kini, aku merasa keluargaku kembali utuh, siap untuk menjalani hari-hari dengan kebahagiaan yang lebih kuat dari sebelumnya.
Aku memandang kedua orangtuaku. Mereka terlihat begitu bahagia. Entah kenapa, di setiap hidupnya, aku merasa ayah dan ibuku selalu mendapatkan hal konyol yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti menantang maut.
Tapi meskipun begitu, aku tetap mencintainya. Kadang terlintas di pikiranku untuk mencoba menerima kenyataan pahit bila suatu saat nanti kedua orangtuaku benar-benar tiada.
Aku senang akhirnya aku bisa melihat ayah dan ibuku tersenyum bahagia.