Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI AMBANG HARAPAN
Sinar matahari Jakarta mulai menyelinap melalui tirai kamar hotel ketika Ayya terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Hari ini adalah hari besar, hari di mana nasib mereka sebagai band akan ditentukan. Seluruh upaya dan kerja keras mereka selama ini seolah memuncak di satu momen ini. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur, matanya beralih ke arah Tiara yang masih terlelap, menghadap ke jendela.
"Tiara..." Ayya berbisik sambil mengusap bahunya pelan. "Bangun, hari penentuan."
Tiara menggeliat sejenak, kemudian membuka matanya yang sedikit sembab. "Udah pagi, ya? Gue ngerasa tidur cuma sebentar..."
Ayya tersenyum tipis, mengerti perasaan Tiara. Malam sebelumnya memang penuh dengan kecemasan, dan meski tubuh lelah, pikiran mereka masih sibuk memikirkan bagaimana hasil penampilan semalam. Ia sendiri hampir tidak tidur, memutar ulang di kepala bagaimana mereka memainkan setiap nada, setiap vokal, setiap detak drum. Tapi, sekarang semuanya sudah terjadi. Mereka hanya bisa menunggu.
"Lo udah siap untuk pengumuman nanti?" tanya Ayya, berdiri di depan cermin sambil menata rambutnya. Matanya sedikit bengkak, hasil dari tidur yang terlalu sedikit dan pikiran yang terlalu berat.
Tiara bangkit, meregangkan tubuhnya. "Siap nggak siap, kita udah kasih semua yang kita punya di atas panggung. Sekarang tinggal nasib yang bicara."
---
Di kamar sebelah, Ferdy, Iqbal, Damas, dan Puji sudah bersiap lebih dulu. Mereka berkumpul di meja kecil dekat balkon, sarapan seadanya. Damas memainkan jarinya di atas meja, mencoba mengalihkan kegugupan yang mulai merambat perlahan.
"Gue nggak bisa tidur sama sekali semalam," gumamnya sambil mengaduk-aduk sisa kopi di cangkirnya. "Gue cuma mikirin... kalau kita nggak masuk sepuluh besar, semua perjuangan kita selama ini jadi apa?"
Iqbal meneguk kopinya dan menatap Damas dengan senyum kecil. "Kita udah sampai sini, Dam. Gue yakin kita punya kesempatan besar buat masuk sepuluh besar. Lagian, penonton gila banget sama kita semalam."
Ferdy mengangguk setuju, tetapi tatapan matanya menunjukkan ia juga sedikit gelisah. "Yang penting kita udah kasih yang terbaik. Gue percaya sama lo semua, sama yang udah kita lakuin di atas panggung."
Puji yang duduk di tepi ranjang sambil menatap ponselnya, sesekali mengetik pesan, mungkin kepada seseorang yang dekat dengannya. Ia tak banyak bicara pagi itu, hanya sesekali ikut tertawa kecil ketika yang lain mulai melontarkan candaan-candaan ringan untuk meredakan suasana.
---
Siang itu, suasana venue mulai ramai lagi dengan peserta dan penonton yang datang dari segala penjuru. Semua band yang ikut bertanding telah berkumpul di depan panggung untuk mendengarkan pengumuman besar. Sorotan lampu-lampu yang terang memantul di wajah-wajah penuh harapan, dan di udara terasa tegang, seolah semua sedang menahan napas menunggu nasib mereka diumumkan.
Ferdy, Ayya, Tiara, Iqbal, Puji, dan Damas berdiri di antara kerumunan, dikelilingi oleh band-band lain. Ada beberapa wajah yang tampak tegang, ada juga yang tersenyum lepas, mungkin karena merasa percaya diri dengan penampilan mereka. Namun, di satu titik, semuanya merasakan hal yang sama: harapan dan ketidakpastian.
"Semua orang udah siap?" terdengar suara MC dari atas panggung, menyulut gelombang sorakan dari penonton yang memenuhi venue.
"Jakarta, mari kita sambut pengumuman yang kita tunggu-tunggu!" lanjut MC tersebut dengan gaya khasnya yang energik. "Hari ini, kita akan tahu siapa band yang berhasil masuk ke sepuluh besar, yang akan melaju ke panggung terbesar Rock Island!"
Sorakan dan tepuk tangan memenuhi ruangan, menciptakan suara bising yang hampir menenggelamkan segala pikiran yang ada di kepala para peserta. Ayya merasakan jantungnya berdegup semakin kencang. Ia melirik Ferdy yang mencoba tersenyum, meski jelas terlihat bahwa ia juga merasakan ketegangan yang sama.
MC kemudian membuka amplop besar yang dipegangnya, memberikan jeda sejenak, menambah intensitas rasa cemas yang melingkupi mereka semua. "Dan... band pertama yang lolos ke sepuluh besar... *The Broto*!"
Sorak-sorai pecah dari arah pojok panggung di mana The Broto berdiri. Akam dan teman-temannya melompat dengan gembira, saling memeluk satu sama lain. Ferdy tersenyum kecil ke arah mereka. "Mereka layak dapet itu," gumamnya pelan.
"Selamat buat The Broto," lanjut MC sambil menunggu tepuk tangan mereda. "Sekarang, band kedua yang lolos ke sepuluh besar... *Dolfin Band*!"
Waktu seolah berhenti bagi Dolfin Band. Sesaat mereka terdiam, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Kemudian, dalam sekejap, mereka pecah dalam tawa dan pelukan. Iqbal yang biasanya pendiam, langsung melompat dan memeluk Ferdy dengan keras, diikuti oleh Damas, Puji, Ayya, dan Tiara yang semuanya tak mampu menahan air mata kebahagiaan.
"Kita berhasil! Kita masuk sepuluh besar!" seru Tiara dengan wajah berseri-seri, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Ferdy menepuk punggung Damas yang hampir terjatuh karena terlalu semangat. "Gue bilang kan, kita bisa!"
Namun, di tengah-tengah kebahagiaan mereka, Ferdy menangkap sosok yang tidak asing. Di tepi panggung, pria dengan jaket kulit hitam yang mereka temui sebelumnya. Kali ini pria itu tersenyum kecil, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Ferdy memperhatikannya sampai menghilang di balik kerumunan, merasa ada sesuatu yang belum selesai antara mereka.
---
Malam harinya, setelah euforia mulai mereda, Dolfin Band kembali ke hotel. Mereka berkumpul di lobi, duduk di sofa panjang sambil memesan minuman. Ayya duduk di sudut dengan Tiara, masih tersenyum lebar sambil memandangi layar ponselnya yang dipenuhi ucapan selamat dari teman-teman kampus mereka.
Damas dan Iqbal berbicara pelan di dekat meja resepsionis, membicarakan rencana mereka setelah final nanti. Puji yang biasanya pendiam, kali ini terlihat lebih ceria dari biasanya. Ia bercanda dengan Ferdy, membicarakan bagaimana mereka harus bersiap untuk final yang akan berlangsung seminggu lagi.
Tapi di tengah kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal di benak Ferdy. Ia belum bisa melupakan pria dengan jaket kulit hitam itu. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa ia selalu ada di sekitar mereka?
Ketika suasana mulai tenang, Ferdy memutuskan untuk keluar sejenak. Udara malam Jakarta masih hangat, dan lampu-lampu kota berkilauan di kejauhan. Ferdy berjalan pelan di sepanjang trotoar, mencoba merenung, mencari jawaban atas kegelisahannya. Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya berhenti. Ia berbalik dan melihat pria itu berdiri di kejauhan, memperhatikannya.
Pria itu melangkah mendekat, dengan wajah yang kali ini lebih serius daripada sebelumnya.
"Apa lo mau sesuatu dari gue?" tanya Ferdy langsung, tanpa basa-basi. Matanya menatap pria itu penuh tanya.
Pria itu tersenyum tipis. "Nama gue Ryan. Gue produser musik."
Ferdy terkejut sejenak. "Produser musik? Terus, kenapa lo ngikutin gue?"
Ryan menatap Ferdy dengan tatapan tajam. "Gue udah ngikutin perjalanan band lo sejak dari Semarang. Gue suka energi lo, semangat lo. Tapi... ada yang kurang."
Ferdy mengernyit. "Kurang? Maksud lo apa?"
Ryan mendekat, suaranya lebih rendah. "Lo punya potensi besar, Ferdy. Band lo bisa jadi sesuatu yang besar, tapi lo harus tau... di industri ini, semangat aja nggak cukup. Lo butuh arah, lo butuh seseorang yang ngerti gimana caranya ngubah lo jadi legenda."
Ferdy terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ryan. Ia tahu ada kebenaran dalam apa yang dikatakan pria itu, tapi ia juga merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Jadi, lo pikir lo bisa bantu gue dan band gue buat sukses?" tanya Ferdy, masih penuh keraguan.
Ryan mengangguk pelan. "Kalau lo siap buat ambil keputusan besar, ya, gue bisa bantu lo. Tapi inget, dunia ini keras, Ferdy. Lo harus siap buat ninggalin sesuatu."
Ferdy mengernyitkan
kening, merasakan sebuah peringatan tersembunyi dalam kalimat itu. "Ninggalin apa?"
Ryan hanya tersenyum samar. "Lo akan tau nanti, kalau lo siap. Gue akan tunggu jawaban lo."
Setelah itu, Ryan berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Ferdy yang berdiri sendirian di bawah cahaya lampu jalan.
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.