DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM11
Tak lama berkendara, kami sampai di rumah orang tua Mas Rama. Memang rumah Bulek Darmi masih 1 desa dengan rumah mertua ku itu. Kami semua berkumpul di ruang tamu.
Aku segera masuk ke dapur untuk membuatkan minum sebelum ada pembicaraan lebih lanjut.
"Bapak ingin kita sudahi kebencian antar saudara di keluarga kita ini. Mungkin kalian, terutama Rama, merasa agak terlambat akan sikap bapak ini. Tapi, selama kita masih hidup, tentunya kesempatan masih ada, tidak ada kata terlambat."
Ibu masih diam dengan wajah marahnya.
"Raya, mulailah menganggap Rama ini adikmu. Bapak tahu kamu tidak membencinya, Bapak juga tau kalian tidak dekat satu sama lain juga karena didikan ibumu. Kalau bukan saudaramu, terus siapa yang mau kamu anggap keluarga?"
Mbak Raya hanya diam menunduk. Aku tak dapat menerka apakah kakak iparku itu akan menerima nasihat bapak.
"Kalau nanti Bapak dan Ibumu ini sudah tidak ada, siapa lagi yang bisa menolong kalian kalau bukan saudara. Ingat ya, Nak ... darah lebih kental dari air. -- Budi juga. Meski Rama ini ipar, anggap saja sebagai adik kandung. Kalian ini kan sama-sama keluarga kecil. Budi cuma anak tunggal. Jadi kalau punya saudara mestinya disambut dengan senang hati."
"Mengerti pak," kata Mas Budi pelan.
"Dan kamu, Bu, coba redakan sedikit amarahmu kepada anakmu ini. Anak kandungmu sendiri, Bu. Coba buka hati, apa yang Bapak katakan tadi di rumah Darmi salah? -- Apa Rama yang menyebabkan bapakmu meninggal? Apa salah Rama lahir lalu beberapa jam kemudian kakeknya meninggal ?" suara Bapak terdengar bergetar.
"Kalau tidak sedang mengandung dan melahirkan anak itu, aku pasti bisa merawat bapakku dengan lebih baik, sehingga bapak tidak sampai meninggal?" Kata Ibu sambil menuding Mas Rama.
"Kalau pikiranmu begitu, mestinya kesialan itu dimulai dari lahirnya Raya dong. Kan Bapak mulai sakit saat ibumu meninggal, dan ... itu terjadi tak lama setelah Raya lahir. Kalau semua mau dipas-paskan, akhirnya semua orang pembawa sial, Buuuu. Setiap saat bersamaan dengan orang lahir, pasti ada yang meninggal."
"Aku gak peduli dengan orang lain yang meninggal, Pak. Aku cuma peduli sama bapakku, dan ... aku tidak bisa melihat bapak untuk terakhir kalinya gara-gara anak itu!" Teriak ibu sambil menuding Mas Rama, kemudian ibu beranjak dan melangkah masuk ke kamar.
BRAKK!
"Astaga!"
"Ya Allah!"
Kata kami bersamaan.
Segitu bencinya ibu sama anak kandungnya sendiri.
Kulihat Mas Rama mendung sekali. Suamiku ini sedang menahan tangisnya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding ditolak orang tua sendiri.
Kuelus punggungnya, Mas Rama melihatku sambil tersenyum sendu.
"Maafkan ibumu, Ram. Butuh waktu dan doa yang lebih banyak supaya ibumu bisa menerima kenyataan. Memang almarhum kakekmu itu sangat dekat dengan ibumu. Kalau almarhumah nenek, dekatnya sama bulekmu."
"Iya, Pak. Sudah biasa ibu begitu," sahut Mas Rama dengan suara pelan dan bergetar.
Kami semua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Pak, Raya dan Mas Budi pamit dulu ya, takut anak-anak nyari," pamit Mbak Raya.
"Oh ya, sebelum Mbak Raya pergi, Rama mau ngasih kabar baik untuk semua yang ada di sini. Alana sedang isi, usia kandungannya sudah 6 minggu." Mas Rama memberi kabar itu dengan senyum bahagia.
"Iya kah?! Syukurlah, Ram! Akhirnya penantian dan doa-doa kalian terjawab sudah. Kalian jaga betul kandungannya ya," ujar Bapak dengan wajah cerah.
"Selamat ya, Alana, semoga lancar. Berarti ... nanti melahirkannya berdekatan dengan Marni ya," Mbak Raya juga tersenyum.
"Selamat Ram, Al. Sehat-sehat ibu dan bayinya. Siap-siap melayani ibu ngidam ya, Ram. Yang sabar ya nanti hahahaha." Mas Budi memberi selamat sembari terkekeh.
"Istri hamil itu susah-susah gampang, Ram. Gampang tersentuh perasaannya, apa ya istilahnya sekarang itu?" tanya Bapak.
"Sensitif maksud Bapak?" jawab Mbak Raya.
"Nah iya, sensitif. Padahal biasa aja, nanti bisa sedih, tersinggung, atau malah bisa seneng banget. Suaminya yang mesti ngerti dan lebih sabar ya. Pokoknya ingat, saat kamu pikir istrimu berlaku tidak biasanya, kemungkinan besar karena kehamilannya. Jangan malah berantem gara-gara itu." Bapak menjelaskan panjang lebar ke Mas Rama.
"Iya, Pak. Rama mengerti," Mas Rama tersenyum.
"Kamu juga, Alana, makan yang bergizi. Jangan terlalu capek. Kamu yang punya badan, kamu ukur sendiri kemampuan badanmu. Jangan dipaksa kalau sudah capek. Jangan nunggu tidak sanggup sampai sakit dulu baru berhenti," giliran wejangan untukku.
"Iya, Pak. Alana paham, terimakasih untuk nasihat nya. Sekarang, untuk jualan juga sudah dibantu tetangga kontrakan," jawabku.
"Syukurlah kalau begitu. Bapak tenang."
"Lho, Alana jualan toh, jualan apa?" tanya Mbak Raya.
"Jual aneka bolu dan kue-kue tradisional, Mbak. Beberapa macam juga dijual dalam betuk frozen, mulai besok baru jual di lapak platform oren."
"Bisa diantar sampai daerahku?"
"Bisa, Mbak. Kebetulan daerah Mbak juga masuk dalam jangkauan kurir langganan. Tapi, ada minimalnya nanti biar gratis ongkos kurirnya."
"Ya sudah, nanti bisa dikirim ya daftar menunya. Soalnya kan sekolah dan kantor Mas Budi suka ada acara, siapa tahu bisa pesan di tempatmu. Kan lumayan."
"Lumayan banget itu, Mbak. Makasih ya, Mbak. Nanti kukirim sampel juga buat Mbak Raya sekeluarga untuk dicicip. Kemarin hanya kirim untuk Bapak dan Ibu hehehe."
Mbak Raya tersenyum seraya mengangguk. "Ya sudah, kami pamit ya, Pak, Ram, Al. Sehat-sehat ya, jangan lupa kirim daftar menunya." Pamit Mbak Raya sembari mencium tangan Bapak dengan takzim.
Setelah Mbak Raya pergi, Mas Rama masih berbincang-bincang dengan bapak. Aku ke dapur sambil membawa gelas kotor. Setelah mencuci, kuhampiri Mas Rama di depan.
"Sudah selesai, Yank? Kita pamit juga, yuk. Nanti kamu kesorean nyiapin adonan besok." ajak Mas Rama.
"Iya, Mas. Ayo!"
Mas Rama lekas beranjak dan menatap bapak lekat.
"Rama pamit ya, Pak. Bapak baik-baik di rumah ya, tiap minggu Rama usahakan berkunjung." Mas Rama mencium tangan bapak.
Aku juga melakukannya.
"Alana pamit ya, Pak. Mohon doa restu untuk kehamilan dan usaha kami, Pak."
"Iya, Nak. Doa restu Bapak untuk kalian anak-anak bapak. Ibumu ini anggap aja bagian dari riak kehidupan, supaya kita semua tidak lupa diri. Hati-hati di jalan ya. Hati-hati dalam bekerja dan bergaul." Nasihat Bapak sebelum motor kami melaju.
Kami boncengan dalam diam. Mungkin Mas Rama masih merasa aneh sekaligus senang, dengan penerimaan bapak dan Mbak Raya tadi. Seumur hidup dibilang sial dan tidak diperlakukan tidak adil oleh sang ibu, tanpa ada yang membela. Tahu-tahu, sekarang dibela bapak sendiri dan juga akur dengan saudara kandung. Pasti ada perasaan haru. Kubiarkan saja Mas Rama menikmatinya sendiri. Nanti kalau sudah siap, biasanya dia akan cerita-cerita sendiri.
"Mas, makan malamnya beli aja yuk. Udah gak keburu kalau harus masak lagi. Alana udah laper, Mas," Ku pecah keheningan kami.
"Boleh, baru Mas mau ngajak makan pecel ayam, eh udah keduluan."
"Sehati kita, Mas. Ngomong-ngomong, Mas pingin pecel ayam? Ngidam ya?" godaku.
"Mungkin ya, Yank. Pokoknya Mas kebayang nyocol sambelnya itu pake ayam goreng yang masih panas. Serasa mau netes ini liur, hahahaha."
"Awas muncrat ke belakang, Mas!" Aku terbahak.
Kami berhenti di pecel ayam dekat alun-alun. Dari rumah bapak ke kontrakan memang melewati alun-alun kecamatan ini. Kalau sore, rame warung tenda dan gerobak jajanan.
...****************...
Aku mulai merekap ulang pesanan untuk besok, kemudian memeriksa stok frozen di kulkas. Aku ingin beli freezer khusus untuk menyimpan makanan beku ini, biar tidak bercampur dengan stok makanan pribadi. Target berikutnya mixer kapasitas besar. Nanti kulihat lagi, mana yang lebih butuh.
Ting Ting ting
Ada pesan masuk. Kulihat ternyata pesan dari Mbak Raya. Sebuah pesan yang membuat bola mataku membeliak.
"Hah?!?! Ya ampun ... ya ampuunnn, Maasss!" Aku membaca sambil menjerit histeris.
*
*
Bersambung~
akhirnya ya rama 😭