Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuan Hiroshi Takeda
Hiroshi membuka matanya perlahan. Suara aliran air terjun yang biasanya menenangkan, kini terdengar lebih jauh dari biasanya, seolah pikirannya masih terjebak di antara alam sadar dan bawah sadarnya. Saat meditasi, dia kembali mengalami kilasan mantera yang tertulis dalam bahasa Jepang—huruf-huruf
"Isen" dan "Magadachi"—yang terasa familiar namun asing di dunia ini. Pikiran-pikirannya terhanyut sebelum akhirnya dia bangkit dan kembali ke rumah Kira.
Ketika Hiroshi tiba di rumah Kira, gadis itu sudah menunggunya di depan pintu. Wajah Kira terlihat serius, berbeda dari biasanya. Dia berjalan mendekat dengan langkah mantap, seolah telah memikirkan sesuatu dengan dalam.
“Kau… dari mana asalmu sebenarnya?” Kira bertanya tiba-tiba, memotong keheningan di antara mereka.
Hiroshi menatapnya tajam, dan dengan satu tarikan napas, dia menjawab dengan nada tenang namun tegas,
“Aku berasal dari dunia lain.”
Mata Kira membesar, terkejut mendengar pengakuan tersebut.
“Dunia lain? Maksudmu bukan dari sini, dari dunia ini?”
Hiroshi mengangguk, menyilangkan tangannya di dada.
“Aku bukan bagian dari dunia ini. Aku berasal dari tempat yang berbeda, dengan aturan dan teknologi yang berbeda pula.”
Kira memandang Hiroshi dengan tatapan bingung namun penasaran. Setelah hening beberapa saat, Kira tiba-tiba teringat sesuatu—sebuah legenda yang pernah ia dengar dari dongeng-dongeng masa kecilnya.
"Pahlawan pelintas dunia lain…" gumamnya pelan.
“Pahlawan pelintas dunia lain?” Hiroshi mengulang, seolah tertarik dengan apa yang diucapkan Kira.
Kira mengangguk cepat. “Ada legenda kuno tentang pahlawan yang datang dari dunia lain untuk menyelamatkan dunia ini dari kegelapan. Aku tak pernah menganggapnya serius, hanya dongeng lama. Tapi… setelah mendengarmu, aku mulai berpikir… mungkin kau adalah bagian dari legenda itu.”
Hiroshi tetap tenang. Baginya, dongeng dan takhayul hanyalah cerita belaka, tetapi ia sadar bahwa di dunia ini, hal-hal semacam itu mungkin memiliki bobot yang lebih serius. Dia tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan.
“Kalau begitu, aku harus membawamu ke seseorang,” kata Kira dengan mantap. “Ada seorang penyihir tua, penjaga kuil kuno, yang tahu lebih banyak tentang dunia lain dan pelintas dunia. Dia bisa menjawab lebih banyak daripada aku.”
Tanpa menunggu jawaban, Kira segera mengajak Hiroshi berjalan bersamanya. Mereka menyusuri jalan setapak yang melintasi hutan kecil, melewati pepohonan raksasa yang menjulang tinggi.
Kira tetap diam selama perjalanan, hanya fokus pada tujuan mereka, sementara Hiroshi melangkah dengan tenang, memerhatikan sekelilingnya.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka tiba di depan kuil tua yang tampak usang. Dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, dan aroma kelembaban bercampur dengan misteri menyelimuti tempat itu.
Di depan kuil, seorang pria tua dengan rambut panjang berwarna perak berdiri, memegang tongkat yang dihiasi ukiran-ukiran kuno.
“Kira, apa yang membawamu ke sini?” tanya penyihir tua itu dengan suara serak namun lembut.
“Guru, aku membawa seseorang dengan kasus yang unik,” jawab Kira sambil melirik Hiroshi. “Dia… datang dari dunia lain.”
Penyihir tua itu mengarahkan pandangannya pada Hiroshi. Mata tuanya yang tajam tampak memindai Hiroshi dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai kebenaran di balik cerita Kira.
“Menarik…” gumam penyihir itu. “Masuklah, kita harus berbicara lebih jauh.”
Mereka pun masuk ke dalam kuil yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak magis. Setelah duduk, Kira menjelaskan situasi Hiroshi—bagaimana ia datang dari dunia lain dan tersesat di dunia ini.
Penyihir tua itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, tapi tatapannya terus tertuju pada Hiroshi.
“Jadi, kau adalah seorang pelintas dunia,” kata penyihir itu akhirnya.
“Meskipun aku telah lama mendengar legenda tentang orang-orang sepertimu, tak pernah sekalipun aku bertemu langsung dengan salah satu dari kalian.”
Hiroshi hanya mengangguk. “Aku bukan pahlawan seperti dalam legenda yang kalian ceritakan. Aku hanya seorang prajurit dari dunia lain, dan aku mencari jalan pulang.”
Penyihir tua itu tersenyum tipis. “Terkadang, pahlawan tidak pernah tahu bahwa mereka adalah pahlawan sampai waktunya tiba. Dan tentang jalan pulang… itu tidak akan mudah. Tapi ada sesuatu yang mungkin bisa membantumu.”
“Apakah itu?” tanya Hiroshi.
Penyihir itu berdiri, lalu berjalan ke sudut ruangan di mana sebuah buku tua tergeletak di atas meja.
Dia membuka buku itu dan mulai membolak-balik halamannya dengan teliti, hingga akhirnya berhenti pada sebuah halaman yang penuh dengan simbol-simbol aneh.
“Portal antar dimensi,” kata penyihir itu. “Ada rumor tentang portal yang bisa menghubungkan dunia ini dengan dunia lain, tetapi portal itu dijaga oleh kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang bahkan para penyihir sepertiku tidak bisa hadapi dengan mudah.”
Mata Hiroshi menyipit, menatap gambar di buku itu dengan seksama. “Di mana portal itu berada?”
“Di suatu tempat yang sangat jauh,” jawab penyihir tua. “Di tengah wilayah kekuasaan Raja Iblis.”
Seketika, suasana ruangan menjadi tegang. Kira menoleh ke Hiroshi, raut wajahnya tampak khawatir.
“Jika kau benar-benar ingin pulang, kau harus menghadapi Raja Iblis itu…”
Hiroshi mengangguk pelan, tanpa sedikit pun terlihat takut. Di benaknya, dia sudah memutuskan bahwa dia akan melakukan apapun untuk kembali ke dunianya, meskipun harus melawan kekuatan terkuat di dunia ini.
“Kalau itu yang harus kulakukan,” Hiroshi berkata dengan suara tenang namun tegas, “maka aku akan melakukannya.”
____
Setelah Hiroshi menyatakan keinginannya untuk mengetahui lebih banyak tentang portal dan Raja Iblis, penyihir tua itu mengangguk sambil menarik sebuah peta besar dari rak tua di belakangnya.
Dia meletakkannya di atas meja batu yang lapuk di depan mereka. Peta itu penuh dengan simbol-simbol misterius dan menunjukkan berbagai wilayah berbahaya di dunia ini, yang ditandai dengan warna merah pekat.
“Ini dia,” kata penyihir tua itu sambil menunjuk ke sebuah tempat di ujung paling jauh dari peta.
“Portal antar dimensi itu berada di wilayah yang dijaga ketat oleh Raja Iblis. Letaknya di pegunungan hitam, di jantung wilayahnya yang dikenal sebagai Lembah Kegelapan. Tidak ada yang pernah kembali setelah mencoba mendekati tempat itu.”
Hiroshi memperhatikan peta dengan teliti, mencatat setiap wilayah berbahaya yang harus dilewati.
Ada gurun pasir yang selalu dilanda badai, rawa penuh makhluk beracun, dan hutan yang terkenal sebagai tempat persembunyian para monster ganas.
Penyihir tua itu melanjutkan, “Untuk mencapai portal itu, kau harus melewati banyak wilayah berbahaya, termasuk Lembah Kegelapan. Setiap langkah akan penuh dengan bahaya. Selain itu, kekuatan Raja Iblis meliputi seluruh wilayah ini. Kau harus siap, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dengan kekuatan magis.”
Penyihir itu berhenti sejenak, menatap Hiroshi dengan tatapan serius.
“Namun, ada sesuatu yang belum kita bicarakan. Mari kita lihat potensi magismu.”
Penyihir tua itu mendekati Hiroshi dan mengulurkan tangannya.
“Aku akan mencoba menguji kekuatan sihirmu dengan transfer sihir. Ini mungkin akan terasa aneh, tetapi percayalah, ini perlu untuk mempersiapkanmu menghadapi apa yang akan datang.”
Hiroshi mengangguk pelan, menerima uluran tangan penyihir itu. Segera setelah itu, dia merasakan aliran energi hangat yang mengalir dari penyihir ke dalam tubuhnya.
Sensasi itu aneh—seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini tersembunyi dan terkunci. Saat sihir penyihir menyusuri jalur energi dalam tubuh Hiroshi, penyihir tua itu mendadak menarik napas tajam, seolah terkejut.
“M-Mustahil,” gumam penyihir itu dengan suara terkejut. “Kau memiliki kekuatan sihir yang sangat dahsyat... namun kekuatan itu terpendam jauh di dalam dirimu. Tenangmu, keteguhanmu, mengunci kekuatan itu sehingga tidak terlihat di permukaan. Namun jika kekuatan itu dilepaskan—”
Dia terdiam sejenak, menatap Hiroshi dengan mata terbelalak. “Jika kekuatan itu keluar, ia akan meledak seperti gunung berapi yang tidak bisa dikendalikan. Ledakannya akan sangat kuat, namun sekarang... sekarang kau seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kekuatan sihir.”
Hiroshi mendengarkan dengan serius, namun wajahnya tetap tenang. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kekuatan bukanlah segalanya.
Pengendalian adalah kuncinya. Mungkin itulah yang membuat kekuatan sihirnya tidak tampak selama ini—karena pengendaliannya atas emosinya.
“Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanya Hiroshi, tanpa sedikit pun tanda kekhawatiran di wajahnya.
“Kau harus belajar mengendalikan kekuatan itu sebelum ia meledak,” jawab penyihir itu tegas. “Aku akan membantumu sejauh yang aku bisa, tetapi selebihnya terserah padamu.”
Setelah jeda sejenak, penyihir itu kembali ke meja dan membuka sebuah buku tua yang penuh dengan catatan kuno.
“Untuk membantu perjalananmu, ada artefak kuno yang bisa meningkatkan kekuatanmu atau melindungimu dari serangan sihir jahat. Salah satunya adalah Pedang Cahaya yang tersembunyi di dalam Kuil Cahaya di hutan utara. Pedang itu dikatakan mampu menembus kegelapan Raja Iblis.”
Hiroshi mendengarkan dengan seksama, mencatat informasi tentang artefak itu. Artefak lain disebutkan: Perisai Aegis yang tersembunyi di pegunungan barat, dan Jubah Tak Terlihat yang tersembunyi di sebuah lembah terpencil.
Artefak-artefak itu akan memberinya kekuatan yang cukup untuk melawan Raja Iblis, namun perjalanan untuk menemukannya tidaklah mudah.
Setelah semua penjelasan selesai, Kira yang sedari tadi diam memperhatikan, angkat bicara.
“Hiroshi, aku akan menemanimu. Kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.”
Namun, Hiroshi menatapnya tajam, lalu menggeleng.
“Ini adalah perjalanan yang harus kulakukan sendiri, Kira. Bahaya yang kita hadapi terlalu besar, dan aku tidak bisa membiarkanmu ikut terseret. Aku menghargai keberanianmu, tapi ini tanggung jawabku.”
Kira terkejut, namun ia tahu bahwa Hiroshi serius. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang tidak bisa ia bantah.
“Tapi—”
“Tidak ada tapi,” potong Hiroshi. “Kau sudah membantuku sejauh ini. Sekarang, aku harus melanjutkan sendiri.”
Kira hanya bisa menunduk, meski hatinya merasa berat. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan Hiroshi masuk akal, namun sulit baginya untuk tidak ikut membantu.
“Aku akan menunggu di sini, Hiroshi,” kata Kira dengan pelan, akhirnya menerima keputusan Hiroshi. “Semoga kau kembali dengan selamat.”
Hiroshi mengangguk. “Aku akan kembali. Itu janjiku.”
Dengan demikian, perjalanan baru Hiroshi dimulai—sebuah perjalanan yang akan membawanya menghadapi kekuatan sihir yang terpendam dalam dirinya, bertemu dengan musuh-musuh yang tak terduga, dan berhadapan langsung dengan Raja Iblis di ujung jalan.
Tapi pertama-tama, dia harus menemukan artefak kuno yang akan membantunya membuka kekuatan sejati yang ada di dalam dirinya.