"Aku akan membantumu!"
"Aku akan mengeluarkan mu dari kehidupanmu yang menyedihkan itu! Aku akan membantumu melunasi semua hutang-hutang mu!"
"Pegang tanganku, ok?"
Pada saat itu aku masih tidak tahu, jika pertemuan ku dengan pria yang mengulurkan tangan padaku akan membuatku menyesalinya berkali-kali untuk kedepannya nanti.
Aku seharusnya tidak terpengaruh, seharusnya aku tidak mengandalkan orang lain untuk melunasi hutangku.
Dia membuat ku bergantung padanya, dan secara bersamaan juga membuat ku merasa berhutang untuk setiap bantuan yang dia berikan. Sehingga aku tidak bisa pergi dari genggamannya.
Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Ketika kamu menerima, maka kamu harus memberi. Tapi bodohnya, aku malah memberikan hatiku. Meskipun aku tahu dia hanya bermaksud untuk menyiksa dan membalas dendam. Seharusnya aku membencinya. Bukan sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon little turtle 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Toxic
...[Bab ini mengandung kekerasan!]...
.......
.......
.......
Tin tin~
Sebuah mobil melaju perlahan di samping Luna. Kaca jendela yang perlahan turun itu menampilkan sosok wanita cantik dari dalam sana.
"Ayo naik.." teriak Erika dari dalam mobil.
"Enggak, kamu duluan aja," jawab Luna.
Mobilnya berhenti seketika. Erika turun dari mobil dan menyeret Luna untuk masuk. Tanpa memiliki kesempatan untuk meronta, tiba-tiba saja Luna sudah di dalam mobil. Dia menghela napas pasrah.
"Makasih.." lirihnya.
"Kau kayak sama siapa aja. Berlagak sungkan seperti ini bukanlah gayamu.." tutur Erika.
"Tidur aja, nanti kalo udah sampe ku bangunin..." lanjutnya.
Luna tersenyum tipis. Lalu mencari posisi yang nyaman dan menutup matanya. Hari ini cukup melelahkan. Ya, hal paling melelahkan adalah berinteraksi dengan orang.
Mobil berhenti di lampu pemberhentian. Erika menoleh menatap Luna yang telah terlelap. Mengingat beberapa hari yang lalu dia masih cukup terkejut dengan apa yang di ucapkan pria yang menghampirinya.
"Ternyata kita tidak sama. Hidupmu lebih berat dariku.." gumam Erika.
Erika menyiah rambutnya dan menatap kosong pada lampu berwarna merah di atas sana.
"Pria itu.." gumamnya.
"Apa yang dia tau tentang bocah ini,"
"Apapun itu, aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya. Aku sudah menganggap nya seperti adikku sendiri,"
"Aku tidak ingin dia bernasib sama seperti adik kandung ku.."
"Mati di tangan orang yang berselisih dengan Ibuku,"
...****************...
"Lun.."
"Luna, bangun!!" seru Erika.
Luna membuka matanya perlahan, lalu menguceknya untuk mengembalikan pengelihatannya yang kabur.
"Maaf, aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Kelihatannya mobilku tidak muat untuk masuk ke dalam gang mu," tutur Erika.
"Tak apa. Maaf sudah merepotkan mu.."
Luna turun dari mobil Erika.
"Terima kasih atas tumpangannya. Hati-hati di jalan.." ucap terakhirnya lalu berlalu pergi.
Luna menyeberangi jalan dan berjalan masuk menuju gang di mana rumahnya berada. Tidak seperti biasanya gang itu tampak gelap. Semua lampu padam.
Luna menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. Dia masih berharap semua akan baik-baik saja meskipun dalam kepalanya pikiran aneh terus menyerangnya. Sampai sebuah tangan membekap mulutnya.
"Ummpphh~" serunya.
"Diam kau jalang!"
Pria itu menyeret Luna masuk kedalam rumah Luna. Mendorongnya hingga tersungkur ke lantai dan menghadap sosok yang duduk di kursi.
Tangannya berhadapan dengan sepatu kulit milik orang yang sedang duduk itu. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Karena dia sangat tahu siapa pemilik sepatu itu.
"Lama tidak bertemu, gadis manis.."
"Ternyata kau sudah dewasa.."
Marco, pria 45 tahun itu adalah bos rentenir dimana Ibu Luna berhutang. Pada pria itu juga Ibu Luna menyerahkan putrinya sebagai jaminan.
"Ayolah, tunjukkan wajah cantikmu itu padaku. Aku sangat merindukanmu.." tutur Marco sambil mencubit dagu Luna dan mendongakkan nya.
"Wow, tatapan seksi mu itu masih tetap sama," ucap Marco dengan tawa yang terdengar menjijikkan di telinga Luna.
Tatapan tajam dan penuh kebencian itu Luna tujukan pada Marco. Pria dengan mata menjijikkan itu, sampai kapanpun Luna tidak akan bisa melupakannya. Sampai kapanpun kejadian hari itu tidak akan pernah bisa hilang dari ingatannya. Itu akan terus menghantuinya seperti mimpi buruk.
"Menjijikkan!" tegas Luna.
Marco menaikkan sebelah alisnya. Lalu mulai melayangkan tangannya dan mendaratkan nya di wajah Luna. Kejadian yang begitu cepat itu membuat Luna tidak sempat untuk menghindar.
Tamparan yang cukup keras hingga membuat hidungnya mengeluarkan darah.
"Sepertinya selama ini aku sudah terlalu baik padamu, ya?" ucap Marco.
"Apa kau sadar berapa banyak hutang Ibumu itu padaku?" anya Marco.
"Kau dan Ibumu sangat tau bagaimana membuat orang kesal. Sepertinya memang menurun di keluarga mu!"
"Atau mungkin tidak?"
"Bajingan itu tidak sedarah dengan mu, kan? Tapi mungkin karena satu asuhan. Anggap saja seperti itu.."
"Sialan! Seperti perampok bajingan itu meminjam banyak uang untuk biaya kuliahmu!" gerutu Marco seraya menyalakan rokoknya.
"Apa maksud mu?!" tanya Luna dengan tegas.
Marco menghisap rokoknya dan menyemburkan asapnya ke wajah Luna.
"Sial, apa si bajingan itu telah membohongi ku?" gumam Marco.
"Bajingan itu meminta 500 juta! kau tau kan berapa persen bunga dari setiap pinjaman?"
"Itu bukan urusanku! aku hanya perlu membayar hutang Ibuku. Hutang bajingan itu tidak ada urusannya denganku!" teriak Luna.
Marco bangkit dari kursinya dan berjongkok di hadapan Luna. Lalu menarik rambutnya hingga Luna menatap matanya.
"Ada hal yang harus kita luruskan.."
"Yang kau bayar tiap bulan itu hanya cukup untuk menutupi bunganya! Dan yang masih harus kau lunasi adalah pokoknya!" tegas Marco.
"Lepas!" bentak Luna.
Marco membuka pisau lipatnya, lalu mengacungkan nya di wajah Luna.
"Ow~ maafkan aku, tanganku tergelincir.."
Pisau itu menggores pipi Luna. Mengundang darah segar untuk keluar dan menghujani bajunya.
"Tapi masih ada cara mudah untuk mengatasinya.."
Kini Marco mengacungkan pisau ke perut Luna dan menekannya.
Ketenangan yang sedari tadi di jaga nya kini hancur. Tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersengal-sengal.
Luna menutup matanya dan merasakan benda tajam itu sedang mengancam kulitnya. Jika di tekan sedikit lagi mungkin benda itu akan benar-benar menembus perutnya.
"Kita bisa jual salah satu dari ini.."
"Atau jual saja dirimu padaku. Aku akan memberimu 50 juta setiap kali melakukan sex!"
Semua anak buah Marco tertawa. Tawa menjijikkan yang memenuhi kepala Luna. Dia sangat muak, benar-benar muak. Dunianya saat ini benar-benar menjijikkan. Bagaimana bisa dia terlibat dengan orang-orang mengerikan itu.
Luna mengepalkan tangannya, ingin sekali dia merampas pisau itu dan membunuh mereka semua. Namun semua itu hanya di angan.
"Kau tidak melupakan ucapan Ibumu sendiri, kan?"
"Bahkan jika aku membunuhmu dan mengambil semua organ mu, tidak akan ada yang mencarimu ataupun yang melaporkan ku!"
"Jangan lupa kalau aku berbaik hati padamu hanya karena aku menyukai wajah cantikmu. Jadi jangan kurang ajar!"
"Apa kau mengerti?!" bentak Marco.
Luna mengangguk dengan paksa. Dia tidak ingin menangis di hadapan orang-orang itu. Tapi Marco telah mengingatkan Luna pada kejadian dimana Ibunya menyerahkannya sebagai jaminan.
Air mata keluar dari matanya yang terpejam. Suara tangisan yang di tahan pun perlahan mulai terdengar.
Marco mendekatkan wajahnya, membelai rambut Luna dan berbisik di telinganya.
"Kau tau, penampilan mu saat ini membuat milikku terbangun.."
"Manusia menjijikkan!" teriak Luna seraya melayangkan tinjunya.
Amarah yang sejak tadi ditahan dalam kepalan tangannya, Luna lampiaskan. Pukulan penuh amarah itu cukup membuat Marco terlimbung dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
Tanpa memikirkan konsekuensinya. Ya, Luna telah melakukan kesalahan besar. Secepatnya dia bangun dan berlari saat semua anak buah Marco lengah.
Dia berlari ke jalan raya untuk mencari pertolongan. Namun keberuntungan tidak ada bersamanya hari ini.
Dia tertangkap.
Tanpa ampun, tanpa memandang dia seorang gadis kecil. Dua orang anak buah Marco memukulinya di tepi jalan.
Tubuhnya terasa semakin ringan. Pukulan yang awalnya terasa sakit, kini tak dapat dia rasakan. Dia tidak bisa merasakan setiap titik di tubuhnya. Bahkan untuk menggerakkan jarinya pun dia tak mampu.
'Sepertinya aku benar-benar tidak akan pernah bisa melihat wajah Papa lagi..' batin Luna.
Orang-orang itu telah pergi. Dan hujan deras pun mengguyur. Seolah ikut menangis akan keadaannya. Luna tersenyum, dan perlahan matanya mulai terpejam.
mampir juga dong ke karya terbaruku. judulnya "Under The Sky".
ditunggu review nya kaka baik... 🤗