Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Demi Jeri
"Jeri belum makan malam." ucap Maudy saat melihat sang putra masih terlelap. Mau dibangunkan, tidak sampai hati.
Maudy duduk di pinggiran tempat tidur sambil memandangi anugerah terindah dalam hidupnya.
Jeri kini tumbuh makin besar dan sehat. Tapi putranya mudah sekali menangis, padahal anak laki-laki.
Saat masih mengandung Jeri, Maudy memang keseringan menangis. Menangis karena putus asa tidak diakui kehamilannya. Bahkan setelah melahirkan Jeri, ia juga masih sering menangis.
Mungkin putranya mudah mewek karena dirinya juga.
"Papa, papa."
Maudy melihat putranya menggeliat dalam pejamnya.
"Papa, jangan pergi! Jangan pergi tinggalin Jeri!" dalam pejamnya Jeri menangis sambil memanggili papanya.
Maudy mengelus kepala Jeri sambil membangunkan. Putranya pasti bermimpi buruk.
"Sayang, ayo bangun." Maudy mengelus pipi gembul itu.
"Mama, papa mana?" tanyanya begitu membuka mata. Ia tidak melihat papa Roni di sekitarnya.
"Papa sudah pulang. Papa masih ada pekerjaan." jelas Maudy dengan suara lembut.
"Papa, papa! Jeri mau sama papa, ma!" anak laki-laki itu pun menangis meraung-raung. Ia ingin bertemu papanya sekarang, takut papanya pergi jauh. Karena dalam mimpinya, papanya pergi meninggalkan dirinya.
Maudy membujuk tapi percuma, Jeri terus menangis. Meski sudah diingatkan kata papa Roni tidak boleh menangis, bocah itu tetap terus menangis. Bahkan makin menjadi tangisannya.
"Maudy, Jeri kenapa?" tanya opa Agus saat masuk ke kamar cucunya. Ia tadi mendengar Jeri menangis dan langsung berlari untuk melihat keadaannya.
"Jeri sepertinya mimpi buruk, pa." ucap Maudy. Putranya baru bangun tidur.
Opa Agus melihat Jeri menangis sambil memanggili papanya.
"Maudy, kamu telepon Roni saja sekarang!" pintanya. Jeri pasti akan diam jika pria itu di sini.
"Ta-tapi, pa-" Maudy merasa berat menghubungi pria itu.
"Kamu mau anakmu menangis terus sampai besok?" tanya opa.
Mau tidak mau Maudy keluar dari kamar Jeri menuju kamarnya. Ia akan mengambil ponsel dan menghubungi pria itu.
Sebelum menelepon, ia membuang nafasnya berkali-kali. Semua ini dilakukannya demi Jeri.
"Halo, Ron." ucapnya begitu panggilan terhubung.
"Hah," jawab suara serak tapi seksi dari seberang sana.
"Kamu bisa ke rumah sekarang?" tanya Maudy. Ia tidak mau berbasa basi. Ini saja ia terpaksa menelepon pria modus itu, menebal-tebalkan wajahnya.
"Apa kamu mau diapeli malam ini?"
Maudy meremat tangannya mendengar perkataan dengan nada mengejek itu.
Huft... Maudy membuang nafasnya dengan kasar.
"Jeri menangis dan ingin bertemu denganmu." ucap Maudy berusaha bicara lembut dan jangan sampai melengking. Ia harus membujuk Roni agar ke rumahnya sekarang.
"Kenapa Jeri menangis?" tanya Roni dengan nada serius.
"Jeri bangun tidur dan tidak melihatmu. Ia juga sepertinya bermimpi buruk." jelas Maudy.
Roni juga mendengar suara tangisan Jeri, walau samar-samar.
"Kamu bisa kemari kan?" tanya Maudy kemudian. Itu intinya sekarang.
Pria itu tampak berpikir. Ia kasihan dengan Jeri, tapi wanita ini,
"Nona."
"Apa?" Maudy menutup mulutnya, ia malah ceplos meninggikan suaranya.
"Iyaaaa." jawab Maudy kembali menurunkan suaranya.
Roni terkekeh pelan, nada wanita itu kini melembut.
"Apa aku modus sekarang?" tanya Roni. Ia tidak mau dituduh mendekati wanita itu.
Sambil menelepon, Roni mengambil kunci mobil lalu keluar kamar. Tidak lupa mengunci pintu kamar kost itu.
Meskipun di kamarnya tidak ada barang berharga, tapi ia tidak mau ada yang masuk atau memeriksa kamarnya.
"Ma-maksudmu apa?" tanya Maudy. Ia tidak ada bilang apapun.
Bugh... Suara pintu mobil tertutup.
"Jika aku ke rumahmu, kamu akan menuduhmu mendekatimu! Mengatakan aku pria modus!" cibir Roni seraya melajukan mobilnya.
Maudy jadi bingung menjawab apa. Ia tidak boleh marah, bisa-bisa Roni tidak jadi datang ke rumahnya.
"Sekarang lain ceritanya!" ucapnya beralasan.
Wanita itu berjalan ke kamar Jeri dan suara tangisan Jeri makin terdengar keras.
"Jeri, papa Roni mau bicara." Maudy pun menyerahkan ponsel pada putranya. Biar Jeri bicara dengan pria itu.
"Papa." Jeri mengusap air matanya dan menerima ponsel itu.
Suara tangisan itu pun kini tidak terdengar lagi.
"Yee... papa mau ke rumah!" sorak Jeri dengan gembira.
Maudy hanya dapat memandangi anaknya. Jeri wajahnya begitu bahagia bicara dengan pria modus itu. Seperti keduanya memiliki ikatan yang kuat. Padahalkan mereka bukan siapa-siapa. Hanya orang lain yang tidak sengaja kenal.
"Maudy, bagaimana hubunganmu dengan Roni?" tanya oma Novia. Putrinya harus memperjelas hubungan mereka.
"Hu-hubungan apa?" tanya Maudy jadi gugup. "Aku tidak memiliki hubungan dengannya!"
Maudy menyanggah perkataan itu. Ia tidak memiliki hubungan dengan pria modus itu.
"Kalian sedang dekat kan? Kapan kalian menikah?"
"Mama! Apa yang mama katakan? Aku tidak seperti yang kalian pikirkan!" maudy membantah tuduhan itu. Ia dan pria modus itu hanya atasan dan karyawan.
Tidak memiliki hubungan apapun. Tidak punya hubungan spesial, sampai harus menikah.
"Jeri-"
"Ma, sudahlah!" Maudy menggeleng. Jangan dilanjutkan lagi.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Di halaman, Jeri mondar mandir menunggu Roni yang akan datang. Kata papa bentar lagi akan segera sampai.
Maudy duduk sambil memandangi putranya. Jeri begitu berharap pada pria itu.
'Menikah?' batinnya memikirkan hal itu.
Maudy kembali mengingat beberapa saat belakangan yang lalu. Saat ia menemui beberapa calon papa untuk Jeri.
Wanita itu akan memutuskan untuk menikah, asalkan pria itu mau menerima putranya. Menyayangi Jeri dengan tulus.
Tapi ia tidak menemukan pria yang benar-benar tulus bisa menerima anaknya.
Dan kini muncul pria yang begitu sangat disukai Jeri, bahkan putranya memanggil dengan sebutan papa.
Maudy memijat pelipisnya, ia pusing dengan pemikiran yang memenuhi kepalanya.
Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Ia ingin melihat Jeri selalu tersenyum bahagia dan tidak pernah menangis lagi. Kebahagiaan putranya adalah kebahagiaannya juga.
"Mama, papa datang!" ucap Jeri begitu melihat mobil masuk ke halaman rumah.
"Papa!" panggil Jeri begitu Roni turun dari mobil. Langsung berlari kecil dan,
Hap,
Roni meraih dan menggendong bocah kecil itu.
"Papa, tadi Jeri mimpi buruk. Jeri mimpi papa pergi tinggalin Jeri!" ceritanya dengan air mata berlinang.
Roni mengusap air mata itu, bocah kecil itu begitu sangat sedih sekali.
"Jeri cuma mimpi itu. Pasti tadi lupa baca doa tidur."
Kepala anak kecil itu mengangguk pelan.
Maudy menatap interaksi mereka. Keduanya begitu sangat dekat.
Wanita itu pun berdiri dan berjalan menghampiri.
"Ada apa, nona?" tanya Roni ketika Maudy diam berdiri di hadapannya.
"Hah," Maudy tersadar dan tampak bingung. Tapi dengan segera menutupi perasaan itu.
"Ron." panggil Maudy saat Roni berjalan melewatinya.
"Ada apa?" tanya Roni membalikkan badan. Tah apa lagi yang mau dituduhkan wanita itu.
Maudy mengatur nafasnya terlebih dahulu, lalu ia berbalik badan. Mata mereka kini saling bertemu dan,
"Ayo, kita menikah!"
.
.
.